Thursday 18 March 2010

MU’TAZILAH; SEJARAH TIMBUL, TOKOH-TOKOH, DAN PEMIKIRAN PEMIKIRANNYA

Telah Diterbitkan pada TSAQOFAH Jurnal Agama dan Budaya IAIN SMHB. Vol. 1 No. 2. Januari-Juni 2003

Oleh: Wazin Baihaqi

A. Pendahuluan
Timbulnya suatu aliran pemikiran pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, perbedaan penafsiran terhadap suatu prinsip pokok (ayat-ayat Al Qur’an atau ideologi tertentu), peristiwa sosial dan politik yang terjadi pada saat aliran tersebut tumbuh dan budaya atau pemikiran luar yang bersentuhan dengan masalah-masalah pokok tertentu yang menimbulkan reaksi perdebatan, pertentangan ataupun bentuk akulturasi (gabungan).
Seperti sebuah keharusan yang tak terhindarkan ketika di dalam Islam --pada perkembangan selanjutnya -- melahirkan beberapa aliran. Di dalam Islam tumbuhnya berbagai aliran tidak pernah sampai kepada “inti Islam” yaitu keesaan Allah, kemurnian Al Qur’an dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Pada umumnya perbedaan aliran itu mengarah pada bentuk aplikasi keimanan kepada Allah dan Al Qur’an dalam realitas kehidupan sehari-hari. Diantara berbagai aliran yang tumbuh pada masa antara Bani Umayyah dan Bani Abbasiah adalah aliran Mu’tazilah.

B. Sejarah Timbulnya Aliran Mu’tazilah
Berbagai mazhab dan aliran tumbuh dan berkembang setelah sistem kekhalifahan (khalifah rasyidah) telah kehilangan eksistensinya dan sistem kerajaan yang berdiri -- setelah masa kekhalifahan tersebut -- kurang memiliki wibawa . Berbagai mazhab dan aliran mulai tumbuh dalam sebuah setting politik ketika Sayyidina Usman pada akhir masa kekuasaanya, menimbulkan ketidakpuasan berbagai pihak menyangkut kondisi politik dan administratif.
Setelah terbunuhnya Sayyidina Usman sebagai akibat dari pemberontakan, maka pertikaian-pertikaian secara terbuka mulai timbul dan berkembang menjadi perang saudara pada masa pemerintahan Sayyidina Ali. Secara beruntun kemudian timbul perang Jamal (Onta) , perang Shiffin dan peristiwa Tahkim .
Dengan pertikaian yang terjadi pada waktu itu maka timbullah pemikiran-pemikiran yang mempertanyakan: Siapakah yang berada di atas kebenaran dan siapakah yang bathil? Kenapa tetap bertahan di atas kebathilan dan atas dasar apa seseorang disebut bathil? Apabila seseorang bersikap netral maka argumentasi apakah yang dipegangnya dalam pilihannya itu? Pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan pemikiran-pemikiran yang pada mulanya bersifat politis semata-mata. Tetapi kemudian pemikiran-pemikiran tersebut dikonfirmasi dengan dalil-dalil keagamaan sehingga timbullah kelompok-kelompok mazhab atau aliran-aliran yang mencoba menafsirkan dalil-dalil agama atas masalah-masalah yang timbul pada waktu itu. Perbedaan suatu masalah menimbulkan firqah-firqah (kelompok). Kadangkala satu firqah terpecah lagi menjadi aliran “sempalan” yang lebih kecil.
Perang Jamal (Onta) dan perang Shiffin terjadi di Negeri Irak. Karena itu perbedaan pendapat dan pemikiran banyak terjadi di Negeri itu. Firqah-firqah yang bermacam-macam pada hakekatnya berakar pada empat kelompok besar yaitu Syi’ah, Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah .
Syi’ah adalah pendukung Sayyidina Ali dalam kancah politik. Demikian pula Khawarij pada awalnya adalah pendukung Sayyidina Ali sebelum peristiwa Tahkim. Peristiwa Tahkim inilah yang menyebabkan Khawarij melepaskan dukungannya dari Sayyidina Ali dan mengemukakan konsep-konsep tentang kekufuran. Sebagai reaksi dari perdebatan antara Syi’ah dan Khawarij maka timbullah kelompok Murji’ah yang menyusun penafsiran-penafsirannya sendiri. Pada masa perdebatan tersebut lahirlah sebuah kelompok pemikiran baru yang disebut I’tizal. I’tizal adalah faham yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Walaupun pada awalnya konsep-konsep yang diperdebatkan adalah penafsiran Al Qur’an untuk pembenaran dan penyangkalan terhadap situasi politik pada waktu itu, tetapi kemudian perdebatan meluas kepada masalah-masalah ketuhanan dan filsafat .
Pendiri Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha’ yang kemudian diikuti oleh Umar bin Ubaid. Pusat perkembangan Mu’tazilah pada awalnya di kota Basrah kemudian berkembang pesat pula di Baghdad.
Washil bin ‘Atha’ termasuk golongan dari Bani Machzum yang lahir di Madinah pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibn Mirwan (65-86H/ 684-705M) dari Daulat Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Mirwan II (127-132H/ 744-750M), yaitu dua tahun menjelang Daulat Umayyah yang berkedudukan di Damaskus tumbang.
Washil bin ‘Atha’ adalah seorang ahli pidato yang hebat. Akan tetapi ia tidak pandai melafazkan huruf ra, yang selalu ia bunyikan seperti ghain, padahal yang seperti ini merupakan aib bagi orang Arab. Akan tetapi aib ini dapat diubahnya menjadi satu kemahiran, yaitu menukar kata-kata yang menggunakan huruf ra dengan kata-kata lain yang sama maknanya sehingga Washil dapat berpidato selama berjam-jam tanpa menyebutkan huruf ra. Sehingga seorang ahli syair bertamsil: “Engkau jadikan aku sebagai ra yang tak dibunyikan, engkau tindas aku seolah-olah engkau Washil bin ‘Atha’.
Pada mulanya Washil adalah seorang murid dari Imam Hasan Basri. Adapun yang menjadi pokok perdebatan antara Imam Hasan Basri dengan Washil adalah tentang tempatnya seorang yang berdosa besar di akhirat kelak.Washil berpendapat bahwa tempat orang yang berdosa besar di akhirat kelak ialah antara seorang muslim yang saleh dan seorang kafir, akan ditempatkan pada suatu tempat khusus antara sorga dan neraka yang dalam istilahnya dikenal dengan nama “tempat diantara dua tempat” (Manzilat bainal manzilatain). Orang muslim yang berdosa besar itu disebut fasik.
Peristiwa keluarnya Washil dari kelompok Imam Hasan Basri terjadi ketika dalam sebuah majelis di Masjid Agung Basrah seseorang bertanya kepada Imam Hasan Basri: “Ya Imam Agama, dewasa ini lahir suatu kelompok yang menyatakan para pelaku kejahatan berat (al-Kabiar) adalah kafir. Setiap kejahatan berat itu menyebabkan kufur sehingga menyebabkan keluar dari lingkungan agama. Itulah aliran Waidi didalam sekte Khawarij. Dengan begitu darahnya halal untuk dibunuh. Kemudian lahir satu kelompok lagi yang berpendapat bahwa “amal” bukanlah salah satu sendi (rukun) bagi “iman”. Keimanan tidaklah rusak dengan melakukan kemaksiatan, seperti juga kebaikan tidak akan ada faedahnya di akhirat kelak bagi seorang kafir. Yang demikian itu adalah pendapat aliran Murjiah. Maka bagaimanakah pendapat anda tentang semuanya itu?”.
Imam Hasan Basri berdiam diri, sebelum mampu memberikan jawaban pada saat itulah seorang muridnya yang bernama Washil bin ‘Atha’ berkata: “Menurut pendapatku pelaku suatu kejahatan besar (al-Kabair) itu bukan mukmin murni dan bukan kafir murni, tetapi berada pada satu posisi diantara dua posisi (manzilat bainal manzilatain).” Setelah memberikan jawaban tersebut, Washil memisahkan diri ke salah satu tempat di Masjid Agung Basrah itu dan menguraikan pokok pendiriannya pada jama’ah yang mengerumuninya. Pada saat itulah Imam Hasan Basri berkata “I’tazala ‘anna Washil” yang artinya “Telah berpisahlah Washil dari kita.” Setelah terjadinya peristiwa itu maka lahirlah satu kelompok yang disebut dengan Mu’tazilah. Mereka yang disebut dengan Mut’tazilah adalah orang-orang yang sependirian dengan Washil bin ‘Atha’, yang berpisah dari paham Ahlusunnah yang dipandang resmi pada waktu itu .
C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pemikiran pemikirannya.
Washil bin ‘Atha memiliki pergaulan yang luas, sehingga pengikut aliran Mu’tazilah meluas dari kalangan elit sampai rakyat jelata. Washil bin ‘Atha’ mengutus Abdullah ibn Alharist untuk wilayah Barat Jauh (Mahrib al-Aqsh). Untuk wilayah Khurasan (Asia Tengah) ia menutus Hafsah ibn Salim. Selanjutnya ia mengutus Al Qasim untuk wilayah Yaman dan Al Ayub untuk wilayah Aljazirat dan Al Hassan ibn Zakwani untuk wilayah Kaufah serta Utsman Al Thawil untuk wilayah Armenia.
Terdapat lima thesis sebagai prinsip-prinsip dari aliran Mu’tazilah yaitu:
1. Qaulun bit Tauhidi (Kesaan Ilahi)
2. Keadilan Ilahi yang menyangkut tiga permasalahan pokok yaitu masalah kebajikan dan kebajikan lebih (shilah dan ashlah), masalah baik dan buruk (hasnun dan kabhun) serta masalah kemauan bebas (ikhtiar fil insan).
3. Al wa’du wal wa’di (anjuran dan ancaman).
4. Manzilat bainal manzilatain (tempat diantara dua tempat).
5. Amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran.)
Tauhid sebagai ajaran pokok dan yang pertama dalam Islam tidaklah diciptakan oleh faham Mu’tazilah. Mu’tazilah mengungkapkan prinsip keesaan Allah untuk menanggapi golongan Syiah Rafidah yang menggambarkan Allah itu dalam bentuk yang berjisim dan dapat diindera. Kelanjutan dari prinsip keesaan yang murni itu adalah:
1. Tidak mengakui sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang qadim selain dari pada zatNya.
2. Mengatakan bahwa Qur’an itu mahluk. Kalamullah mahluk juga, yang dijadikan oleh Allah pada waktu dibutuhkan. Kalamullah tidak ada pada zat Allah tetapi berada di luarNya.
3. Mengingkari bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala.
4. Mena’wilkan ayat-ayat yang mengesankan adanya persamaan Allah dengan manusia.
Tentang keadilan Allah, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Selanjutnya dalam menafsirkan keadilan Mu’tazilah berpendapat: “Allah tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya. Allah hanya memerintahkan apa yang dikehendakiNya. Allah hanya menguasai kebaikan dan memerintahkan itu kepada manusia dan tidak campur tangan dalam keburukan-keburukan yang dikerjakan manusia.”
Prinsip tentang janji dan ancaman adalah kelanjutan dari prinsip keadilan. Mu’tazilah yakin bahwa Allah akan memberikan pahalaNya dan ancamanNya di hari kiamat nanti. Siapa yang keluar dari dunia dengan segala ketaatan dan penuh taubat maka ia akan mendapat pahala. Sedangkan mereka yang melakukan perbuatan dosa tanpa taubat akan dimasukkan ke dalam neraka sesuai janji Allah, sekalipun lebih ringan siksaannya dibanding dengan orang-orang kafir. Karena itu Mu’tazilah mengingkari adanya “syafaat” di hari kiamat dengan mengenyampingkan ayat-ayat yang menetapkan syafiat (baca Al Baqarah 254 dan 45), karena syafaat menurut mereka berlawanan dengan janji dan ancaman (al wa’du wal wa’id) .
Menurut Mu’tazilah seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik (mempersekutukan Allah) bukan lagi menjadi mu’min tetapi juga tidak menjadi kafir, melainkan menjadi fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “iman” dan “kufur”. Tingkatan orang fasik adalah berada di bawah orang mu’min dan di atas orang kafir. Penafsiran demikian merupakan penafsiran dari prinsip manzilat bainal manzilatain.
Prinsip amar ma’ruf nahi munkar banyak bertalian dengan amalan lahir dan lapangan fiqh dari pada lapangan kepercayaan dan ketauhidan. Karena itu pengikut aliran Mu’tazilah termasuk orang-orang yang giat menyiarkan agama dan memberi petunjuk kepada yang sesat.
Tokoh Mu’tazilah yang lain adalah Umar bin Ubaid (90-140H/699-757) lahir pada masa Walid I (86-96H/ 705-715M) dari daulat Umayyah dan wafat pada masa pemerintahan Al Manhur (136-158H/754-77M) dari daulat Abassiah. Umar adalah sahabat Washil bin ‘Atha’ dan bersama-sama Washil memisahkan diri dari gurunya Imam Hasan Basri. Ia aktif mendalami dan mengembang lima prinsip dari aliran Mu’tazilah.
Umar dan Washil adalah pembangun aliran Mu’tazilah. Dari kedua tokoh tersebut lahir murid-murid besar yang mendukung dan menyebarkan aliran Mu’tazilah. Washil dan Umar bersama-sama murid-muridnya yang terdiri dari empat generasi (empat angkatan) disebut aliran Basrah. Mereka adalah:
1. Angkatan pertama: Ustman Al Thawil, Hafash bin Salim, Al Hassan bin Zakwan, Khalid bin Shafwan, Ibrahim bin Yahya Al Madani.
2. Angkatan kedua: Abu Bakar Al Assham, Mu’ammar bin ‘Ibad, dan yang paling menonjol adalah Abu Huzail Al Allaf.
3. Angkatan ketiga: Abu Ali Aswari, Abu Jaakub Al Syahham, Hisyam Al Fuwathi, dan yang paling menonjol adalah Al Nazzham. Tokoh yang lain yang dianggap sebagai pembangun aliran Bagdag adalah Bisyri bin Mu’tamir.
4. Angkatan keempat: Ibad bin Sulaiman, Abu Ali Al Jabbai dan yang paling menonjol adalah Al Jahidz. Tokoh lainnya adalah Abu Hassan Al Asy’ari yang kemudian membangun aliran Alkalam, dan diakui sebagai tokoh ahlusunnah.
Sekalipun Umar bin Ubaid adalah termasuk pembangun pertama aliran Mu’tazilah bersama Washil bin ‘Atha’ tetapi tidak ditemui karya-karyanya hingga kini. Sebuah peristiwa tercatat dalam sejarah ketika terjadi dialog antara Umar bin Ubaid dengan Bakr bin Hamdani seorang pembesar kehakiman pada masa Al Mansur. Peristiwa itu berkaitan dengan dialog tentang apakah si Pencuri dapat terbebas dari hukuman apabila si Tercuri mengampuninya? Maka dalam hal ini Umar bin Ubaid menyatakan bahwa “Tiada siapapun yang dapat mengampun si Pencuri kecuali Penguasa Tertinggi.” Pendirian ini berdasarkan pada alasan bahwa pencurian itu kalau sudah terbukti bukan cuma merupakan kejahatan kepada si Tercuri tetapi merupakan perbuatan kejahatan kepada Ummat (masyarakat), dan hanya Penguasa Tertinggi (Sultan) yang dapat meninjau hukumannya karena ditangan Penguasa tersebut diwakilkan kedaulatan Ummat.
Berkenaan dengan pendapat Umar bin Ubaid tersebut Bakr bin Hamdani mengemukakan sebuah hadist yang saluran terakhir (sanad) dinyatakan berasal dari Shafwan bin Umayyah yang menyatakan bahwa si Tercuri berhak membebaskan si Pencuri dari hukuman jika memaafkan . Tetapi kemudian Bakr bin Hamdani tidak menyanggupi mengangkat sumpah atas pendapatnya itu sedangkan Umar berani mengangkat sumpah atas pendapatnya yang berlawanan dengan pendapat Bakr bin Hamdani.
Tokoh Mu’tazilah yang lain adalah Abdul Hauzail Muhammad bin Al Huzail Al ‘Allaf (135-226H/852-840M). Ia berguru pada Ustman at Tawil murid dari Washil. Puncak kebesarannya dicapainya pada masa Al Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam soal agama. Ia banyak membaca buku-buku dan mahir menghafal syair-syair Arab serta banyak berhubungan dengan filosof-filosof dan buku-buku filsafat. Karena ketekunannya membaca buku-buku filsafat maka Al ‘Allaf sanggup menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membuka pembahasan baru yang belum pernah dimasuki orang sebelumnya. Hal ini disebabkan Al ‘Allaf seringkali berdebat dengan orang zindiq (orang yang pura-pura Islam), skeptik, Majusi dan Zoroaster. Menurut riwayat ada sekitar 3000 orang yang masuk Islam ditangannya.
Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazzham (wafat 231H/845M) adalah tokoh Mu’tazilah yang terkemuka dan banyak mendalami filsafat serta menghasilkan banyak karya-karya. Ia adalah murid Al ‘Allaf, yang kemudian menciptakan alirannya sendiri. Banyak pendapatnya yang berbeda dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya. An Nazzham memiliki otak yang luar biasa sehingga pemikirannya melampui masanya. Ia mengemukakan tentang metode keraguan (methode of doubt) dan empirika (percobaan-percobaan) yang menjadi dasar kebangkitan baru di Eropa (renaisance). An Nazzham berpendapat bahwa:” Tiap-tiap keyakinan harus didahului dengan keraguan. Setiap kali orang beralih dari satu kepercayaan kepada kepercayaan lain, harus didahului oleh keraguan.”
Percobaan yang dilakukan oleh An Nazzham tidak berbeda dengan seorang ahli ilmu alam atau ahli kimia. Ia pernah meminumkan tuak (khamar) kepada berbagai macam jenis hewan untuk mengetahui pengaruh reaksi minuman keras itu. Karena itu ia sangat bebas berfikir dan berani menyerang para ahli hadist serta tidak banyak percaya kepada kesahihan hadist-hadist. Ia sangat menjunjung Al Qur’an dan sedikit percaya kepada hadist yang diriwayatkan para mufassirin.
Salah seorang murid An Nazzham adalah Abu Ustman Amru ibn Bahar Al Jahidz (159-255H/775-867M). Karya-karya Al Jahidz diantaranya adalah Al Bukhalak yang berisikan kisah-kisah jenaka bercampur sinis mengenai watak para tokoh yang terpandang pada masanya. Karyanya yang lain bernama Al Hayawani dan Tibyan yang berisikan pendapat-pendapatnya mengenai bidang kesusasteraan dan ilmiah serta permasalahan filsafat melalui pembahasan mendalam atas setiap permasalahan beserta hasil-hasil penelitian melalui berbagai percobaan (eksperimen). Karya-karya Al Jahidz dalam bidang keagamaan diantaranya adalah Al I’tizal wa Fadhlihi ‘ala Fadhilati (Keistimewaan jasa aliran I’tizal), Al Istitha’atu ‘ala Khalqi’l Al’ali (Masalah Kemampuan dan Penciptaan Tingkah Laku), Khalq’il Qorani (Perihal Qur’an itu suatu Ciptaan) serta Fadhilatu’l Mu’tazilati (Keistimewaan jasa-jasa Tokoh-tokoh I’tizal).
Karya Al Hayawani berisikan banyak risalat (essei). Karya-karyanya dalam bidang seni antara lain Risalat fil Qiyani (Essei tentang bunyi-bunyian) dan Risalat fil Ghinak (Essei tentang lagu). Sedangkan risalatnya yang berjudul Al Tarbi’ wal Tadwir (Bidang dan Bundaran) berisi permasalahan-permasalahan ilmiah dan filsafat yang sangat hangat diperbincangkan pada masanya.
Abu Ali Muhammad bin Ali Al Jubbai (wafat 303H/915) adalah seorang tokoh Mu’tazilah Basrah. Al Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasyim Al Jubbai, mencerminkan akhir masa kejayaan aliran Mu’tazilah. Al Jubbai adalah guru Al Asy’ari tokoh utama aliran Ahlusunnah. Ia membantah buku karangan Ar Rawandi yang menyerang aliran Mu’tazilah, juga membalas serangan Al Asy’ari ketika Al Asy’ari keluar dari barisan Mu’tazilah. Walaupun pikiran-pikirannya tidak banyak dikenal tetapi diduga pemikiran Al Jubbai banyak diambil oleh Az Zamakhsyari. Sedangkan anaknya, Abu Hasyim, menjadi tokoh Mu’tazilah dengan alirannya yang terkenal dengan nama “Bahasymiah”. Aliran ini banyak tersebar di Rai (Iran), karena mendapat dukungan dari Sahib bin ‘Abad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.
Bisyri bin Al Mu’tamir (wafat 226H/840M) adalah pendiri Mu’tazilah di Baghdad. Bukunya yang berjudul Bayan wat Tabyin berisi pandangannya tentang kesusasteraan dan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah. Ia adalah orang yang pertama-tama mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Diantara murid-murid Al Mu’tamir yang besar pengaruhnya dalam penyebaran faham Mu’tazilah di Baghdad ialah Abu Musa Al Mudar, Tsumamah bin Al Asyras dan Ahmad bin Abi Fu’ad.
Abu Al Husein Al Khayyat (wafat 300H/912M) termasuk tokoh Mu’tazilah Bagdag yang mengarang buku Al Intisar. Buku ini dibuat untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu Ar Rawandi. Al Khayyat hidup di masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
Al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024M) hidup pada masa kemunduran akiran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim oleh Ibnu ‘Abad. Diantara karangannya adalah ulasan tentang pokok-pokok ajaran Mu’tazilah yang terdiri dari beberapa jilid.
Abul Qasim Muhammad bin Umar atau disebut juga dengan nama Az Zamakhsyari (476-538H/ 1075-1144M) adalah tokoh Mu’tazilah yang mendalami ilmu tafsir, nahwu (gramatika) dan sastra seperti yang dapat dilihat dalam bukunya Al Kassyaf, Al Faiq, Assalul Balaghah dan Al Mufassal. Disamping kemu’tazilahannya Al Kassyaf menunjukkan kekuatan pengarangnya dalam segi bahasa, balaghah, ilmu stylistika/ gaya bahasa (ilmu uslub) dan kemu’jizatan Al Qur’an, sehingga golongan mufassirin banyak menggunakannya dan tidak dapat melepaskannya sampai sekarang ini .
Golongan Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 20 golongan kecil, yang masing-masing golongan diberi nama sesuai dengan nama pemimpinnya .Golongan-golongan kecil tersebut adalah:
1. Washilliyah pengikut Washil bin ‘Atha’.
2. ‘Umariyah pengikut ‘Umar bin ‘Ubaid.
3. Hudzailiyah pengikut Abu Hudzail Al ‘Allaf.
4. Aswariyah pengikut Al-Aswari.
5. Askafiyah pengikut Abu Ja’far Al Askafi.
6. Dja’fariyah pengikut Daja’far bin Mubsyir Al Harb.
7. Basyariyah pengikut Basyar bin Al Mu’tamar.
8. Mazdariyah pengikut Abu Musa Isa Shabieh Al Mazdar.
9. Hisyamiyah pengikut Hisyam bin Umar Al Ghuthy.
10. Shalihiyah pengikut As Shalihy.
11. Haitiyah pengikut Ahmad bin Haith.
12. Hudabiyah pengikut Hudaby.
13. Mu’amariyah pengikut Mu’amar bin ‘Ibadi-silm.
14. Tsamamiyah pengikut Tsamamah bin Asjaras.
15. Khaijatiyah pengikut Abu Husein bin Abu ‘Umar Al Khaijath.
16. Ka’biyah pengikut Muhammad Al Ka’by.
17. Djubaiyah pengikut Abu ‘Ali Al Djubai.
18. Bahasymiyah pengikut Abu Hasyim.
19. Djahiziyah pengikut ‘Umar bin Bahr Al Djahiz.
20. Nadzamiyah pengikut Ibrahim bin Saiyar An Nadzam.
Aliran Mu’tazilah pada mulanya lahir di Basrah (pada masa Bani Umayyah), tetapi kemudian berkembang pula dengan pesat di Bagdag. Perkembangannya yang pesat diantaranya didukung oleh pemerintahan pada masa Khalifah Al Makmun dari Bani Abbasiah. Karena itu jika dilihat dari wilayah berkembangnya, Mu’tazilah terbagi ke dalam 2 macam yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dalam peran-perannya di pemerintahan dan masyarakat serta pokok-pokok masalah yang dibahas.
Amru Al Jahidz adalah generasi kelima sejak aliran Mu’tazilah muncul di tangan Washil Bin ‘Atha’. Ia merupakan tokoh aliran Mu’tazilah Basrah.Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah Basrah yang lain diantaranya adalah Abu Ali Aswari, Abu Jaakub Al Shaham dan Hisyam Al Fauthi serta Abu Ali Al Jabbai.
Sejak masa Al Jahidz ini tokoh-tokoh Mu’tazilah Basrah tidak tampil ke depan dan menonjol seperti masa-masa sebelumnya. Karena itu tokoh-tokoh Mu’tazilah Basrah melakukan kegiatan yang terbatas dan melakukan diskusi-diskusi dalam lingkup yang terbatas. Dari sinilah timbul istilah Ikhwan Al Shafa yaitu kelompok ahli yang membahas persoalan-persoalan filsafat yang dirumuskan mereka melalui risalat (essei) yang dikenal dengan Risalat Ikhwan Al Shaffa. Himpunan risalat ini meliputi cabang-cabang ilmiah , metafisika dan ilahiat (teologi).
Walaupun kemudian pada masa pemerintah Kahlifah Al Ma’mun tokoh-tokoh Mu’tazilah diberi kesempatan untuk duduk di pemerintahan tetapi tokoh-tokoh Mu’tazilah Basrah lebih memilih untuk melepaskan diri dari kekuasan dan dengan begitu mereka dapat membahas pokok-pokok masalah tanpa ada keterikatan dengan kekuasaan.
Bisyri bin Mu’tamir adalah tokoh pendiri aliran Baghdad. Ia termasuk generasi keempat Mu’tazilah yang seangkatan dangan An Nazham. Ia belajar di Basrah dan kemudian menetap di Baghdad. Bisyri bin Mu’tamir seperti juga tokoh Mu’tazilah yang lainya sangat produktif dalam meneliti dan menciptakan karya-karya buku. Bisyri termasuk seorang tokoh yang menjauhkan diri dari kekuasaan dan senantiasa menolak jabatan dari pemerintah. Demikian juga muridnya Abu Musa Al Murdar, ia mewarisi sikap gurunya untuk menolak setiap jabatan yang ditawarkan. Tetapi Abu Musa Al Murdar sangat ekstrim terhadap paham yang dianutnya dan melawan dengan ekstrim pula paham-paham di luar Mu’tazilah. Sikapnya ini menimbulkan antipati dari beberapa tokoh aliran lain bahkan dari kalangan orang-orang Mu’tazilah sendiri.
Tokoh Mu’tazilah yang lain adalah Tsumamat bin Asyras dan Ahmad bin Abi Daud. Berbeda dengan tokoh-tokoh pendahulunya, keduanya berpandangan bahwa jabatan di pemerintahan merupakan kesempatan bagi keduanya untuk menyebarkan paham Mu’tazilah. Pada saat itulah Khalifah Al Ma’mun (atas pengaruh Abi Daud) mengumumkan bahwa Mu’tazilah sebagai aliran resmi dan menekan aliran-aliran-aliran lainnya serta “memaksakan” keyakinannya melalui gerakan “Al Mihnat” . Al Mihnat kemudian berlanjut pada masa Khalifah Al Mu’tashim dan Kahlifah Al Watsiq. Kondisi “pemaksaan” ini menmbuhkan sikap antipati di sementara kalangan. Menjelang wafat Ahmad bin Abi Daud (240H/875M) yaitu pada masa pemerintahan Kahlifah Al Mutawakkil, ia masih sempat menyaksikan akibat dari “pemaksaan” paham Mu’tazilah tersebut sehingga, Al Mutawakkil mengganti Mu’tazilah dengan aliran Sunni sebagai aliran resmi. Pada masa Ahmad bin Abi Daud ini berakhirlah dominasi Mu’tazilah dalam pemerintahan maupun masyarakat.

C. Kesimpulan
Mu’tazilah adalah aliran yang timbul pada masa antara kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Timbul dan berkembangnya Mu’tazilah disebabkan karena beberapa faktor yaitu:
1. Sebagai reaksi dari aliran-aliran yang timbul sebelumnya.
2. Berkaitan erat dengan konflik-konflik politik yang terjadi pada masa timbulnya aliran Mu’tazilah.
3. Pembahasannya berkembang dikarenakan mendapat tentangan dari aliran-aliran yang lain.
4. Pembahasannya berkembang karena pengaruh luar, misalnya filsafat-filsafat Yunani dan dialog dengan kepercayaan-kepercayaan lain seperti Majusi dan Zoroaster serta orang-orang zindiq (orang yang pura-pura Islam).
5. Tokoh-tokoh Mu’tazilah merupakan orang-orang yang produktif dalam penelitian baik ilmiah, filsafat maupun kesusasteraan, sehingga pembahasan kemu’tazilahan meluas dari segi konsep maupun penyebaran.
6. Berkembang dan surutnya aliran Mu’tazilah dari satu masa ke masa dipengaruhi juga oleh faktor kekuasaan politik.

No comments:

Post a Comment