Wednesday 10 March 2010

Tuhan, Negara dan Manusia

Telah Diterbitkan pada ADIL Jurnal Hukum dan Hak Asasi Manusia. IAIN SMHB Vol 1. No 1 Januari-Juni 2008.

Wazin Baihaqi
Tuhan, Negara dan Manusia
Abstrak
Tulisaan ini mencoba merangkum pemikiran Iqbal tentang Tuhan, Manusia dan Negara. Dari penjelasan-penjelasan tentang konsep ketuhanan dan manusia, maka dicoba dicari kaitan anatara kedua konsep tersebut. Setelah itu barulah berkait dengan konsep bernegara
Perkembangan pemikiran Iqbal dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, Iqbal berpendapat bahwa tuhan adalah Keindahan Abadi yang menyatakan diriNya di langit dan di bumi serta melingkupi segala sesuatu. Tahap kedua, Iqbal berpendapat bahwa Tuhan sebagai Ego (pribadi) yang menyatakan diriNya lewat pibadi yang terbatas dan karena ini mendekatkan diri padaNya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Manusia harus mencari dengan kekuatan dan kemauannya sendiri. Tuhan menurut Iqbal adalah Ego Mutlak atau Ego Terakhir yang meyatakan diriNya lewat pribadi (ego, individualitas). Setiap benda memiliki ego dengan derajat yang berbeda. Ego tertinggi dari semua mahluk Tuhan adalah manusia. Dalam pada itu Tuhan sebagai Ego Mutlak hanya bisa dicapai oleh ego manusia yang dengan berproses menyerap sifat-sifatNya
Tahap ketiga pemikiran Iqbal tentang filsafat perubahan. Bahwa Tuhan sebagai Ego atau Pribadi, oleh karena ini dapat menanggapi ego-ego terbatas (manusia) melalui sholat dan do’anya. Dengan demikian Tuhan adalah kekuatan keratif tidak terbatas. Menurut Iqbal, Tuhan tidak pernah berhenti berkreasi dan mencipta. Maka tuhan memiliki sifat perubahan. Tetapi, perubahanNya terlepas dari konteks ruang dan waktu atau perubahan serial dalam pengertian perubahan dari belum sempurna kepada lebih sempurna. Sifat perubahan dalam diri Tuhan semata-mata adalah kekuatan kreatif yang tidak terbatas
Manusia sebagai Ego Tertinggi diantara semua mahluk diharapkan dapat mendekati Tuhan hingga mencapai Insan Kamil (Manusia Unggul) yang mampu menjadi khalifah Bangsa dan Negara sehingga mempu membentuk peradaban yang lebih baik
Kata kunci : Iqbal, Tuhan, Negara, Manusia





A. Pendahuluan
Iqbal berpendapat bahwa esensi alam semesta adalah suatu kekuatan kreatif. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah dunia ini diarahkan oleh sesuatu kekuatan dari dalam dirinya ataukah suatu diri yang cerdas yang cerdas yang melaksanakan suatu rencana. Hipotesis pertama tak mungkin dipertahankan sebab menggiring suatu kebebasan sebuah khayalan dan wujud akhir yang ada sulit ditentukan menjadi suatu keabadian. Sebaliknya, wujud ini sendiri secara nyata tidaklah menjadi pencipta materi sebab ia juga adalah materi. Oleh karena itu perlulah manusia menerima alternatif kedua dan menganggap keseanteroan alam semesta mempunyai suatu pusat rujukan suatu zat pribadi (Luce dan Maitre, 1985:54) .
Iqbal menolak pendirian yang dinyatakan oleh Nadwi (1985:83) bahwa Super Ego itu lepas dan berada di ego-ego terbatas. Menurut Iqbal pernyataan tersebut membuka sebuah jurang antara yang terbatas dan yang tak terbatas. Yang tak terbatas yang dicapai melalui penolakan yang terbatas adalah ketidakterbatasan palsu. Ia menolak sama tegasnya terhadap intuisi diri mengungkapkan bahwa ia mempunyai eksistensi dan peranan Tuhan.
Lebih-lebih lagi pengalaman mistik membawa kepada pengokohan pribadi manusia daripada penolakannya; penyerapan mistik dari Tuhan adalah tingkat emosional dan bukan eksistensial. Oleh karena itu manusia mesti berkesimpulan bahwa Super Ego mengandung ego-ego terbatas dalam wujudnya, tanpa menghapuskan eksistensi mereka.
Naib atau Manusia Unggul adalah Khalifah Tuhan di muka bumi dengan EgoNya yang paling sempurna, puncak kehidupan, mental maupun fisik. Kemampuan tertinggi bersatu bersatu dalam dirinya menjadi pengetahuan teringgi. Dalam dirinya pikiran dan perbuatan, naluri dan nalar menjadi satu, sebagai “buah” terakhir dari “pohon” kemanusiaan dan semua percobaan dari suatu evolusi yang penuh kepedihan dibenarkan, sebab ia datang di saat akhir. Ia adalah penguasa umat manusia yang sebenarnya; kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka bumi (Azzam, 1985:117). Iqbal sangat membela pandangannya terhadap suatu negara yang dianggap sebagai miniatur kekuasaan tuhan. Hal ini sangat jelas terungkap tentang kekuasaan suatu negaradunia yang di dalamnya seluruh kaum muslimin akan membentuk satu rumah yang tak terbagi-bagi. Iqbal juga sangat memimpikan suatu dunia yang diatur oleh agama dan bukan oleh politik. Ia sebagai mengecam Machiavelli sebagai penyembah-penyembah tuhan-tuhan palsu (Iqbal, 1985:xiii).
Tidaklah mengherankan, karenanya, apabila dalam berbagai karyanya Iqbal banyak mengungkapkan pikirannya tentang Tuhan, Negara dan Manusia. Pembahasannya yang menarik ialah betapa ia menghubungkan ketiga komponen itu secara holistik dimana secara vertikal yang “bawah” menjadi cerminan yang “atas”.
B. Konsepsi Tuhan menurut Iqbal
Proses berfikir merupakan proses yang tidak pernah selesai. Jika seseorang memiliki sebuah pendapat maka mungkin pada masa berikutnya pendapatnya akan berubah atau berkembang. Demikian juga yang terjadi pada konsep-konsep atau teori-teori termasuk di dalamya konsep-konsep yang dihasilkan dari pemikiran Iqbal
Konsep ketuhanan menurut Iqbal dibagi dalam tiga masa yang sangat dipengaruhi oleh proses berfikirnya dan pengetahuannya. Pada masa pertama (1901-1908) Iqbal meyakini Tuhan sebagai Keindahan Abadai. Yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu. Dia menyatakan diriNya di langit dan di bumi, pada bumi, matahari, bulan dan semua fenomena alam. Keindahan Abadi menurut Iqbal adalah sumber, esensi dan ideal. Tuhan bersifat universal dan melingkupi segala sesuatu. Iqbal membuat analogi dengan kalimat bahwa tuhan seperti lautan dan manusia hanya setetes air. Demikianlah pula Tuhan seperti matahari dimana manusia hanya nyala lilin yang hilang di tengah cahaya matahari.
Masa perkembangan pemikiran Iqbal yang kedua (1908-1920) mengungkapkan bahwa Tuhan, Sang Hakikat Terakhir adalah Pribadi Mutlak, Ego Tertinggi. Tuhan menyatakan Dirinya bukan dalam dunia yang terindra, tetapi pada pribadi yang terbatas dan karena itu mendekatkan diri kepadaNya hanya dimungkinkan lewat pribadi. Mendekati Tuhan haruslah konsisten dengan ketinggian martabat pribadi. Manusia harus mencari dengan kekuatan dan kemauannya sendiri. Ia harus menangkap Dia dengan cara yang sama sebagai mana seorang pemburu menangkap buruannya. Tetapi Tuhan juga menginginkan diriNya tertangkap. Ia juga mencari manusia seperti halnya manusia mencari Dia. Dengan menemukan tuhan, seseorang tidak boleh terserap dalam tuhan dan menjadi tiada. Sebalimknya manusia harus menyerap Tuhan kedalam diriNya menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan kemungkinan ini tidak terbatas. Dengan menyerap Tuhan kedalam diri, timbulah ego, ketika ego tumbuh menjadi Super Ego ia naik ke tingkatan wakil Tuhan.
Masa ketiga perkembangan pemikiran Iqbal tentang Tuhan (1920-1938) dicirikan dengan filsafat perubahan. Walaupun ide tentang Hakikat sebagai pribadi masih cukup kental dalam pemikirannya, tetapi pemikirannya tentang filsafat perubahan merupakan ide utama dalam masa ketiga perkembangan pemikirannya ini. Tuhan adalah “Hakikat sebagai suatu keseluruhan”. Ia dianggap ego karena seperti pribadi manusia, Dia adalah “suatu prinsip kesatuan yang mengorganisasi, suatu paduan yang terikat satu sama lain yang berpangkal pada fitrah organismeNya untuk suatu tujuan konstruktif”. Ia adalah ego karena menanggapi refleksi dari sholat dan do’a-do’a hambaNya. karena ciri ego (pribadi) adalah apakah ia memberi tanggapan pada pribadi yang lain. Tepatnya Dia adalah Ego Mutlak yang meliputi segala sesuatu. Dia adalah jiwa kreatif, kemauan dinamis atau tenaga hidup dan karena tidak ada sesuatupun selain Dia yang membatasiNya, maka sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. Dia juga tidak terbatas. Yang perlu digarisbawahi dari ide ini bahwa sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan, karena ketidakterbatasan ruang tidak bersifat kekal. KetidakterbatasanNya bersifat intensif bukan ekstensif dan mengandung kemungkinan aktifitas kreatif yang tidak terbatas. Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas mempunyai arti bahwa Dia Maha Kuasa. Dengan demikian Ego Terakhir adalah tenaga yang maha kuasa, gerak kedepan yang merdeka dan suatu gerak kreatif. Karena Ego Terakhir aadlah gerak yang meliputi semua, maka Dia berubah terus-menerus. Tetapi perubahan yang disifatkan padaNya bukan perubahan serial seperti perubahan suatu keadaan ke keadaan berikutnya yang menyiratkan ketidaksempurnaan. Perubahan yang disifatkan padaNya bukanlah perubahan sebagai gerak dari keadaan tidak sempurna kepada keadaan yang lebih sempurna. Oleh karena itu Dia adalah perubahan dalam arti kata kreasi yang terus-menerus atau suatu aliran energi. Perubahan yang terus-menerus seperti ini tidaklah menyiratkan ketidaksempurnaan.
Jadi, perkembangan pemikiran Iqbal tentang Tuhan mengalir dari Tuhan sebgai keindahan abadi yang menyatakan diriNya melalui fenomena alam. Kemudian Tuhan sebagai Ego Mutlak, sebai pribadi yang menanggapi dan mendekatkan diri padaNya dimungkinkan oleh ketinggian martabat pribadi. Selanjutnya Tuhan sebagai Ego yang berkreasi terus-menerus merdeka.
C. Konsep Manusia menurut Iqbal
Tema sentral filsafat Iqbal adalah manusia. Ada tiga ide utama dari filsafat Iqbal tentang manusia yaitu interpretasi Iqbal tentang kisah Adam, filsafat Iqbal tentang khudi ( ego) dan filsafat Iqbal tentang Insan Kamil
Berbeda dengan pandangan kebanyakan umat Islam yang mempercayai Adam sebagai tokoh historis dan bahkan menganggapnya sebagai manusia pertama yang turun ke bumi, Iqbal mempunyai pandangan yang berbeda sama sekali. Menurut Iqbal nama Adam dipergunakan oleh Al-Qur’an bukan dimaksudkan sebagai sebuah nama seorang manusia yang konkret tetapi merupakan sebuah konsep. Dari interpretasi tersebut Iqbal memandang “ kejatuhan Adam dari surga” bukan sebagai awal kemunculan manusia di muka bumi tetapi justru merupakan “kebangkitan” yaitu kebangkitan manusia dari keadaan primitif kepada kesadaran diri yang mampu berdikap ragu dan membangkang. Tindakan pembangkangan pertama oleh manusia adalah tindakan pertamanya untuk melakukan pilihan bebas dan itulah sebabnya mengapa menurut Al-Qur’an pelanggaran Adam yang pertama ini diampuni. Berkaitan dengan pilihan bebas ini, maka kebaikan bukanlah keterpaksaan tetapi seharusnya merupakan pilihan bebas manusia pada cita-cita moral. Sedangkan “jannah” dalam legenda Adam bukanlah “surga” yang dijanjikan untuk orang-orang beriman, karena surga ketika Adam diturunkan ke bumi menggambarkan kondisi keprimitifan. Adam akan kembali tetapi bukan pada surga yang semula melainkan surga baru setelah Adam merasakan pengalaman dalam perjalanan ego atau individualitasnya dalam pencapaian kualitas manusia tertinggi.
Filasafat Iqbal tentang khudi merupakan salah satu konsep dasar filasafatnya. Secara harfiah khudi berarti kedirian (selfhood) yang biasa diterjemahkan sebagai ego, pribadi atau individualitas. Bagi Iqbal kesadaran diri, individualitas adalah segalanya, yang dalam bukunya yang berjudul Asrar-i Khudi Iqbal menggambarkan proses evolusi menuju pencapaian tingkat individualitas yang lebih kaya.
Menurut Iqbal semua benda memiliki individualitas dan tingkat keadaan benda itu pada hakikatnya meruapakan derajat-derajat dari individualitasnya. Tingkat-tingkat individualitasnya digambarkan Iqbal sebagai tangga nada yang meninggi. Individualitas harus berjuang untuk mencapai tingkat realitas dirinya. Tingkat terendah individualitas adalah materi atau benda mati, sedangkan tingkat tertinggi adalah individualitas manusia. Istilah individualitas ini sama pengertiannya dengan ego atau khudi yang disebut secara bergantian dalam buku Iqbal yang berjudul “ The Recontruction of Religious Thought in Islam”
Garis perkembangan individualitas dari keadaan sederhana menjadi kompleks dan sempurna dapat dilihat pada perkembangan organisme hidup.
Benih tumbuhan yang berbentuk biji akan berkembang menjadi batang dan daun yang semakin besar dan bertambah jumlahnya. Begitupun dengan individualitas manusia yang menjadi pusat perhatian Iqbal.
Sifat dari ego manusia ialah bahwa ia berpusat pada dirinya sendiri mempunyai lingkungan individualitas khusus yang tidak memungkinkan ego-ego lain ada didalamnya. Ini berarti ego itu unik, tidak mungkin sama dengan ego lain, tunggal dan tidak mungkin digantikan. Sifat lain dari ego ialah bahwa ia mampu mengadakan kontak dengan ego-ego yang lain, mengadakan interaksi dan tanggapan. Hanya dengan begitu ego bisa mencapai derajat yang lebih tinggi. Apabila interaksi dengan ego lain mencapai titik koordinasi tertentu maka ia muncul sebagai ego yang derajatnya lebih tinggi.
Seperti sudah disebutkan, ego manusia mempunyai tingkat realitas tertinggi dari mahluk Tuhan yang lain. Dan karena impuls kreatifnya manusia dapat mengembangkan egonya pada derajat yang tinggi. Kemana tujuan perkembangan individualitas atau ego ini? Tujuan perkembangan ini hanya mungkin dengan menumbuhkan sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya. Tetapi tidak mungkin ego itu lebur kepada Ego Terakhir karena ego bersifat unik dan tunggal.
Membahas pemikiran Iqbal tentang khudi (ego, individualitas), tidak akan mencapai pemahaman menyeluruh sebelum membahas konsep insan kamil. Mengapa? Karena konsep khudi dann konsep insan kamil emmiliki kauitan yang erat dan sistematis. Insan Kamil menurut Iqbal adalah sang mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur dalam wujudnya yang tertinggi adalah akhlak nabawi. Insan Kamil menurut Iqbal adalah mahluk moralis yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi; yang untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya itu ia senantiasa meresapi dan menghayti akhlak ilahi.
Proses untuk “menjadi” insan kamil bukanlah terjadi begitu saja. Ia harus dilakukan dengan berusaha mengikuti secara teliti kehidupan nabawi. Lahirnya insan kamil menurut Iqbal memlalui 3 tahap yaitu: Ketaatan pada hukum; Penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadran diri tentang pribadi; Kekhalifahan ilahi.
Nabi adalah khalifah Tuhan di muka bukmi. Dia adalah khudi yang paling lengkap dalam tujuan kemanusiaan, puncak kehidupan rohani maupun jasmani. Pada dirinya kepincangan mental – yuang pada umumnya dialami orang-orang – mencapai keselarasan. Dalam dirinya pikiran dan perbuatan, naluri dan nalar menyatu. Ia adalah buah terakhir dari pohon kemanusiaan. Dialah penguasa manusia sejati, kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka bumi. Terhadap insan kamil seperti ini Iqbal mengelu-elukan kedatangannya dengan puisinya dalam Asrar-i-khudi.
Datanglah hai sang penunggang kuda nasib.
Datanglah hai sinar dunia perubahan yang gelap gulita
Sorotkan cahaya ke tempat peradaban.
Padamkan kegaduhan bangsa-bangsa.
Penuhi telinga kami dengan musikmu
Bangkitlah dan petiklah kecapi persaudaraan.
Beril;ah kami kembali cawan anggur cinta.
Sekali lagi, anugerahi dunia hari-hari damai.
Kirimkan perdamaian pada si gila perang.
Umat manusia adalah ladang tempat menyemai.
Kaulah Sang penuai.
Kaulah tujuan khalifah kehidupan.

D. Konsep Negara Menurut Iqbal
Sifat hukum Islam pada kenyataannya sebegitu jauh ditentuklan oleh sejarah hukum Islam itu sendiri yang didominasi oleh pertentangan teori dan praktek. Pembahasan berikuti ini dimaksudkan untuk melengkapi pembahasan hukum Islamdari sudut pandangan sistematis yang bersifat sejarah. Hukum Islam tidak memiliki validitas universal; daya ikatnya hanya berlaku secara penuh dalam wilayah pemerintahan Islam. Yang lebih penting lafi bahwa hukum Islam itu mempunyai ciri yang mengandung ide-ide kaeagamaan. Perkambangannya mengalami kemunduran yang terus menerus sejak periode kahlifah-khalifah Mdinah, dan penyimpangan yang terjadi berikutnya merupakan satu hal yang tidak dapat dielakkan. Kecenderungan serupa nampak dalam pembahasan yang dilkukan oleh Iqbal, dalam penerapan kajian scara historis. Hal yang melatarbelakangi pemikiran tersebut, membawa dampak terhadap struktur gerak yang positif dan menyeluruh terhadap ijtihad.
Ijtihad didefnisikan sebagai pelaksanaan usaha untuk mendapatkan suatu ketentuan atas suatu masalah sari syari’ah dengan satu tingkat kemungkinan. Stiaptermasuk penalaran analogi, merupakan penyebab mengapa banyak sarjana menganggp qias sebagai bentuk khusus ijtihad. Al Qur’an dan Sunnah memberikan hukum-hukum yang kekal pada syari’ah, sedangkan ijtihad dan ijma membuat syari’ah lebih dinamis (lihat Sardar, 1987:112-116). Penggunaan ijtihad mencakup pemusatan persepsi-persepsi hukum dan etika Al Qur’an serta rumusan praktisnya yang diberikan dalam Sunnah, mengenai masalah-masalahpraktis dan etika masa kini. Tetapi sebelum hasil ijtihad mendapat keabsahan syari’ah lebih dahulu harus mendapat ijma dari para sarjana dan cendekiawan muslim. Begitulah sayari’ah ditambah dan berkembang serta menyesuaikan drir dengan perubahan yang berlangsung terus menerus.
Penerimaan secara finak kesadarab tentang nilai-nilali seperti talh ditetapkan oleh Islam, mungkin menimbulkan pertanyaan, apakah yang akan menjadi prinsip gerak dalam struktur masyarakat Islam? Menurut Iqbal prinsip gerak itu adalah ijtihad.
Perkataan ijtihad ini secara harfiah memiliki berarti “usaha yang penuh kesungguhan”, akan tetapi dalam peristilahan syari’ah Islam ia berarti berusaha secara sugguh-sungguh dengan tujuan merumuskan suatu ketentuan yang bebas mengenai masalah-maslah legal “menurut kaidah-kaidah tertentu”.
Iqbal mengingikan usaha-usaha menuju pembangunan peradaban muslim dimulai dengan anggapan akan “kehidupan sebagai suatu kesatuan organis” yang cara demikian diperkenalkan gagasan saling ketergantungan masa kini dan suatu pengertian yang mendalam tentang realitas waktu’. Penyesuaian pada perubahan harus dilakukan melalui usaha yang tak henti-hentinya untuk memahami sifat dinamis Al-Qur’an dan konsep-konsep dasar islam, misalnya ijtihad. Di dalam kerangka futuristik ini, Iqbal ingin menyelidiki kembali segala sesuatunya. Argumen-argumennya untuk memandang syari’ah dalam suatu perspektif futuristik, misalnya, mendorongnya untuk menyatakan beberapa hal yang menarik.
Bagi mereka yang sudah mempelajari sejarah Islam cukup menyadari, bahwa dengan meluasnya Islam, pemikiran hukum yang sistimatis sudah menjadi keharusan mutlak. Ajaran hukum itu, menurut Iqbal, mengenal tiga macam tingkatan ijtihad : 1). Kekuasaan yang sumpurna dalam pembentukan undang-undang yang prakteknya dihubungkan kepada ketua-ketua mazhab; 2) .Kekuasaan yang nisbi yang akan dipakai dalam batas-batas suatu mazhab tertentu; 3). Kekuasaan khusus yang dihubungkan pada penetapan undang-undang yang berlaku, bagi sesuatu perkara yang belum ditetapkan oleh pembentuk-pembentuk mazhab itu.
Secara teori tingkatan ijtihad ini, menurut pandangan Iqbal, kemungkinannya dapat diterima oleh kaum Sunni, tetapi prakteknya sejak dibentuknya mazhab-mazhab ijtihad itu selalu ditolak, sebab pikiran tentang ijtihad yang sebenarnya sudah dipagari/dibatasi dengan pelbagai keadaan yang hampir tidak mungkin dilaksanakan oleh perseorangan. Sikap demikian tampaknya memang aneh sekali dalam suatu sistem hukum yang sebagian besar didasarkan kepada sendi yang sudah diberikan oleh Al-Qur’an yang pada pokoknya mengandung suatu pandangan hidup dinamis (lihat Iqbal , 1947:171-2).
Muhammad Iqbal melihat bahwa susunan hukum Islam itu memberi kemungkinan atas adanya suatu penafsiran baru tentang prinsip itu, atau dengan kata lain soal yang ingin-Iqbal – kemukakan ialah assimilasi jiwa Islam itu lebih nyata lagi dalam bidang hukum. Iqbal yakin, bahwa dengan adanya penyelidikan yang lebih dalam tentang sumber hukum islam yang begitu luas; pasti dapat menghilanhkan pandangan para orientalis yang begitu picik bahwa hukum Islam itu katanya beku dan tak dapat berkembang. Sayang sekali, masyarakat muslim yang konservatif dalam negeri ini belum bersedia mengadakan pertukaran pikiran yang kritis tentang “Fiqh” yang bila terlaksana mungkin kebanyakan orang measa tidak senang hati dan menimbulkan pertentangan-pertentangan mazhab. Iqbal mengemukakan beberapa pendapat dalam hal ini :
1. Sejak dahulu kala sampai pada masa Abbasiah, praktis tidak pernah ada sesuatu hukum Islam secara tertulis disamping Al-Qur’an
2. Sejak kira-kira pertengahan abad pertama sampai pada awal abad keempat, tidak kurang dari 19 aliran sudah timbul dalam Islam. Kenyataan ini saja cukuplah sudah menunjukan betapa ahli-ahli hukum dahulu tak putus-putusnya bekerja untuk disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan peradaban yang terus tumbuh.
3. Bila mempelajari keempat sumber hukum Islam yang sudah diterima dan alasan-alasan dikemukakan maka hilanglah mazhab-mazhab yang sudah diakui, yang diduga kaku itu, dan jelaslah ada kemungkinan kearah evolusi lebih lanjut.
Negara menurut Muhammad Iqbal adalah realitas beberapa prinsip kemanusiaan yang progresif eksistensi dan sifatnya, negara adalah suatu upaya untuk mewujudkan kerohanian dalam organisasi manusia. Untuk itu seluruh kaum muslimin membentuk suatu ummah yang tidak terbagi-bagi, hingga ada satu dunia muslim yang diatur oleh agama.
Wilayah negara Islammenurut Iqbal adalah tidak terbatas pada geografi dan toritorial tertentu, sebagaimana juga tidak membatasi diri pada warna kulit dan rasial, dan didasari atas kesatuan ummat manusia membentuk “keluarga” Ilahi sehingga merupakan satu bangsa yang tunggal. Ikatan dari kesatuan internasional, merupakan suatu wawasan untuk menjaga kesatuan nasional sangat diperlukan, hal ini bisa efektif dengan mengirim seorang “Nabi” untuk semua bangsa di dunia. Hanya ini yang bisa menjadi ide penyatuan ummat manusia yang dibawa ke kesempurnaan.
Pimpinan negara menurutnya ialah Khalifah Tuhan di muka bumi. Khalifah itu merupakan Ego yang paling sumpurna, puncak kehidupan, mental maupun fisik. Rakyat dan negara Islam menurut pandangannya adalah penyatuan dan bersifat universal yang sama sekali tidak mengelompokkan dan memencilkan diri. Ciri-ciri ini mempunyai sentuhan spiritual yang penting dan membuat seluruh dunia akrab.
Kedudukan negara terletak pada satu dunia yang diatur oleh agama dan bukan politik. Kecendrungan Muhammad Iqbal kepada struktur (Islam) yang membawanya mengenal politik. Sedangkan hukum dan konstitusinya adalah dasar kesatuan dunia dalam prinsip Tauhid. Islam sebagai konstitusi untuk menjadikan prinsip ini hidup dalam kehidupan intelektual manusia. Dan mengakui bahwa hukum dan konstitusi menuntut kesetiaan pada Tuhan, karena Tuhan adalah basis hukum dan konstitusi yang tinggi di setiap kehidupan; kesetiaan kepada Tuhan pada hekekatnya berarti kesetiaan manusia pada fitrahnya sendiri.
E. Kesimpulan
Proses berfikir Iqbal memiliki arah yang jelas dan bertujuan. Awal proses berfikirnya adalah mencoba memahami Tuhan dalam wujud dan eksistensinya. Kemudian membahas pencapaian manusia kepada Tuhan dan bermuara pada sebuah pribadi unggul yang mampu menjadi khalifah Tuhan di muka bumi. Dari titik inilah Iqbal banyak berbicara masalah negara. Kerangka berfikirnya berpangkal pada konsep filsafat ketuhanan, kemudian secara sistematis mengarah pada konsepfilsafat manusia, mengalir pada gambaran karakter manusia (individu) yang berkualitas dan berakhir pada konsep pembentukan komunitas muslim yang dipimpin oleh manusia unggul (karakter khalifah yang memiliki akhlak nabawi)
Seperti telah dibahas sebelumnya ego manusia adalah realitas tertinggi dari semua mahluk Tuhan. Perkembangan ego manusia memiliki tujuan dan mengarah pada Ego Mutlak atau Ego Terakhir. Semuanya bisa dicapai apabila ego manusia itu telah berproses dan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Tapi karena ego itu unik maka ia tidak melebur ke dalam Tuhan. Dengan kualitas ego yang tinggi maka sampailah pada titik tertentu yaitu mewujud menjadi Insan Kamil (Manusia Unggul). Pribadi manusia unggul inilah yang berhak menjadi khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi, memimpin komunitas muslim dunia dan membentuk peradaban.
Filsafat Iqbal tentang Tuhan, Manusia dan Konsep Negara sekaligus mengungkapkan harapan Iqbal tentang pembentukan kehidupan peradaban yang lebih baik.

No comments:

Post a Comment