Monday 24 May 2010

EKSISTENSI ILMUWAN DALAM MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Diantara mahluk hidup hanya manusia yang memiliki kemampuan menalar. Penalaran adalah kemampuan untuk menghubungkan satu fakta dengan fakta lainnya menjadi sebuah konsep. Manusia dianugerahi kemampuan berfikir untuk bertanya tentang eksistensi dirinya, lingkungan dimana ia hidup dan cara-cara mengatasi kehidupan itu sendiri. Manusia yang menggunakan unsur rasanya akan mencari kriteria apa keindahan itu (estetika). Manusia yang menggunakan nuraninya akan mencari kriteria bagaimana seharusnya kehidupan itu (etika), sedangkan manusia yang mengandalkan rasionya akan mencari fakta-fakta bagaimana kehidupan itu sebenarnya (logika).
Dalam kualitasnya, manusia memiliki tiga atribut yang saling berkaitan yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas . Kualitas ini tidak dimiliki mahluk hidup manapun. Kesadaran diri adalah pengalamannya tentang kualitas dan esensi dirinya, dunianya dan hubungan dirinya dengan alam. Kemauan bebas dimaksudkan sebagai kemampuan untuk memilih bagi dirinya sendiri dan apa yang ia pilih bisa saja bertentangan dengan instingnya atau dorongan-dorongan fisiologis dan psikologisnya. Kemauan bebas ini tentu saja tidak dimiliki oleh hewan yang bergerak hanya berdasarkan dorongan instingnya. Kreativitas yang dimiliki manusia adalah kemampuan mencipta yang lebih dari sekedar yang disediakan oleh alam. Manusia dapat membuat atau menciptakan barang-barang yang belum terdapat di dalam alam. Tiga atribut manusia ini saling melengkapi secara terpadu. Kesadaran diri menuntun manusia untuk memilih (kemauan bebas). Kemampuan memilih menuntun manusia untuk mencipta (kreativitas).
Dengan berfikir dan mengamati, manusia senantiasa berkembang dan mengalami perubahan. Kehidupan tidak hanya dapat diatasi tetapi juga dapat dikendalikan dalam batas-batas tertentu oleh manusia. Khusus mengenai bagaimana kemudian manusia yang mengandalkan rasionya dapat menghasilkan sesuatu dalam kehidupan, dapat dilihat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan.
Langkah awal dari ilmu pengetahuan adalah menentukan kaidah ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan membatasi hal-hal yang rasional dan dapat diamati panca indera, ilmu pengetahuan berkembang pesat dan menghasilkan teknologi. Pada masanya proses mengamati dengan menggunakan rasio ini menjadi lebih superior dari pada etika dan estetika. Ini karena ilmu pengetahuan dapat lebih konkrit menunjukkan keunggulannya dalam mengatasi dan mengendalikan kehidupan manusia. Tetapi pada akhirnya ilmu pengetahuan tanpa sentuhan etika dan estetika dalam prakteknya justru menghancurkan manusia. Peradaban manusia tidak hanya cukup dibangun oleh ilmu pengetahuan (science) tetapi juga oleh etika dan estetika.
Dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka perlu dirumuskan kembali agar penguasaan ilmu (science) dan pemahaman terhadap etika serta estetika berjalan lebih sinkron. Sinkronisasi antara ilmu, etika dan estetika terasa lebih urgent bagi parailmuwan dalam rangka pembentukan karakter ilmuwan dan eksistensi mereka dalam masyarakat.

B. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah, maka perlu ditemukan jawaban-jawaban dari permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab ilmuwan dalam masyarakat?
2. Bagaimanakah menjaga konsistensi antara kegiatan ilmiah dan moral ilmuwan?
3. Bagaimanakah sikap moral ilmuwan berkaitan dengan penggunaan ilmu dalam masyarakat?
4. Bagaimanakah posisi ilmuwan dalam kelas sosial di masyarakat?
5. Bagaimanakah karakter ilmuwan yang digambarkan dalam Al Qur’an?

C. Pembahasan
1. Pengertian Ilmu
Semua hal yang diketahui manusia disebut pengetahuan (knowledge). Sedangkan ilmu (science) adalah bagian dari pengetahuan yang memiliki kriteria-kriteria tertentu. Jadi tidak semua pengetahuan bisa dikatakan ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu memiliki kriteria bahwa ia merupakan bagian dari pengetahuan. Pengetahuan adalah kesan dari fikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indra. Karena itu bukan kepercayaan atu perenungan yang bersifat spekulatif. Ilmu juga harus bersifat sistematis, artinya merupakan urutan-urutan tertentu dari unsur-unsur yang merupakan satu kesatuan. Selain itu cara ilmu menangkap fakta disekelilingnya adalah dengan menggunakan pemikiran. Fakta diindera oleh manusia dan diterima oleh otak manusia. Kemudian fakta tadi disusun secara sistematis sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan. Hasil ilmu pengetahuan itu harus bersifat obyektif sehingga dapat dikontrol secara kritis atau diuji oleh orang lain .
Filsafat ilmu adalah salah satu cabang filsafat yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Filsafat ilmu merupakan telaah filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakekat ilmu seperti apa yang dikaji ilmu pengetahuan (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan itu digunakan (aksiologi) .
Aspek ontologis menyangkut beberapa pertanyaan seperti obyek apakah yang ditelaah ilmu? Bagaimana hubungan obyek dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa, mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Aspek epistemologis menyangkut beberapa pertanyaan seperti bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar didapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut dengan kebenaran itu? Apa kriteria kebenaran? Cara/ teknik/ sarana apa yang membantu dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?
Aspek aksiologis menyangkut beberapa pertanyaan seperti untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan profesional?
Semua pengetahuan apakah itu ilmu, seni atau pengetahuan apa saja, pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek itu diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya telah jauh berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.

Ketiga landasan keilmuan menurut filsafat ilmu tidak hanya digunakan untuk mengetahui apakah suatu pengetahuan termasuk ilmu atau bukan, tetapi juga membedakan jenis pengetahuan ilmiah (ilmu) dalam khasanah kehidupan manusia. Secara metodologis, filsafat ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial namun karena permasalah-permasalahan yang bersifat khas, maka filsafat ilmu dibagi dalam filsafat ilmu sosial dan filsafat ilmu alam. Dari ruang lingkup filsafat ilmu, kemudian terperinci menjadi beberapa ilmu yaitu ilmu matematis, fisis, biologis, psikologis, sosial (kemasyarakatan), linguistik dan ilmu-ilmu interdisipliner .
Ilmu membatasi penjelajahannya pada batas pengalaman manusia dan mempelajari alam sebagaimana adanya (das sein). Dalam batas pengalaman manusia ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar salahnya suatu pernyataan menyangkut suatu fakta yang dikaji. Sedangkan tentang baik dan buruk dinilai oleh sumber moral (etika), tentang indah dan jelek berpaling pada kajian estetika. Ditambah lagi metode yang dipergunakan oleh ilmu dalam menyususn dan menguji kebenaran bersifat empirisme . Jadi ilmu tidak dapat mengkaji suatu objek di luar batas pengalaman manusia termasuk hal-hal yang gaib.

2. Identitas dan Tanggung Jawab Ilmuwan
Ilmuwan adalah orang yang konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Semua pengkajian tentang masyarakat dan alam didasarkan pada rambu-rambu ilmiah yang telah ditetapkan. Penelaahan dilakukan untuk mencapai gambaran fakta yang sebenarnya (das sein) bukan yang seharusnya (das sollen).
Sikap ilmuwan adalah mempelajari obyek dengan cara yang benar dan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar. Dari sinilah akan ditemukan apakah fakta yang terjadi memerlukan pemecahan masalah atau pengembangan lebih lanjut. Pada tahap selanjutnya ilmuwan dan para profesional lainnya akan berbicara bagaimana seharusnya (das sollen) kondisi ideal suatu obyek. Pada tahap ini ilmuwan memasuki aspek aksiologis, dimana penggunaan dan pemanfaatan ilmu menuntut untuk berhubungan langsung dengan masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai moral (etika) yang bersumber dari agama maupun tradisi budaya.
Bagaimanapun seorang ilmuwan bersikap netral (bebas nilai) dalam mengkaji dan menyimpulkan suatu fakta tetapi pemanfaatan ilmu tersebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuwanlah yang memberinya nilai .
Ilmuwan adalah bagian dari masyarakat. Tetapi ilmuwan adalah sekelompok orang yang melihat masyarakat dengan mata yang berfikir. Komitmennya pada masyarakat justru ditunjukkan dengan memisahkan dirinya secara emosional dengan komunitasnya dan melihat masyarakat sebagai obyek. Ilmuwan mengamati dan mengukur masyarakat seolah-olah mereka terlepas dari masyarakat dan terbebas dari kepentingan pribadi serta semata-mata menyandarkan diri pada kebenaran-kebenaran obyektif yang dihasilkan dari penelitian ilmiah.
Pada saatnya ilmuwan akan kembali kepada masyarakat dengan segala keterikatannya terhadap komunitasnya, mengkomunikasikan hasil kajiannya untuk bersama-sama membangun masyarakat ke arah yang lebih baik.
Ilmuwan memiliki tanggung jawab profesional dan tanggung jawab sosial atas peran yang disandangnya. Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada komunitas ilmuwan dalam pertanggungjawaban moral yang berkaitan dengan landasan epistemologis. Tanggung jawab profesional itu menyangkut asas-asas antara lain: kebenaran, kejujuran, tanpa kepentingan langsung, menyandarkan diri pada kekuatan argumentasi, rasional, obyektif, kritis, terbuka, pragmatis dan netral .
Dalam melakukan kegiatan keilmuan, seorang ilmuwan harus mendasarkan diri pada kebenaran yang menyangkut kenyataan faktual. Kebenaran itu tidak boleh ditutup-tutupi oleh suatu kepentingan tertentu. Untuk itulah diperlukan sikap jujur seorang ilmuwan. Apa yang akan dilakukan oleh seorang ilmuwan apabila hasil penelitiannya membuktikan bahwa sebuah lokasi tidak layak dipakai untuk sebuah proyek pemerintah, misalnya pembangunan pabrik dalam suatu proses industrialisasi? Bagaimana jika seorang ilmuwan melacurkan profesinya dengan memanipulasi data untuk melegitimasi sebuah kebijakan ekonomi yang merugikan pihak lain atau suatu keputusan politik yang sewenang-wenang? Penghianatan terhadap tanggung jawab profesional seorang ilmuwan akan berdampak luas terhadap proses pembangunan masyarakat. Setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk menemukan kebenaran yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepantingan langsung berdasarkan kekuatan argumentasi. Ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan, oleh karena itu ilmu di Indonesia sukar berkembang selama kita suka bohong .
Ilmuwan bersemboyan kebenaran adalah untuk kebenaran. Hasil pemikiran ilmiah semata-mata bertopang pada kekuatan argumentasi ilmiah dan tidak bersandar pada kekuatan sosial dan politik. Dalam menyandang tanggung jawab profesional ilmuwan kadangkala bersebarangan dengan politikus, para tokoh agama dan para profesioanal lainnya. Pengadilan penguasa agama terhadap Galileo (1564-1642) membuktikan bahwa tanggung jawab profesional yang disandang para ilmuwan kadang-kadang mengakibatkan suatu resiko tersendiri . Ketika argumentasi ilmiah bersebarangan dengan kepentingan politik pun kadangkala para ilmuwan dibuat untuk tidak banyak bicara. Hanya para ilmuwan yang mampu mendukung penguasa yang banyak mendapat kesempatan dan kedudukan. Ali Syari’ati seorang pemikir Iran (1960-1977) pernah mengkritik para ilmuwan yang takut mengungkapkan kebenaran karena penindasan dan ancaman .
Hambatan lain yang menyebabkan terabaikannya tanggung jawab profesional ilmuwan adalah keterikatan yang sangat kuat terhadap kepentingan golongan, penguasa atau partainya. Dapat diringkas disini, faktor-faktor yang menyebabkan seorang ilmuwan mengabaikan tanggung jawab profesionalnya yaitu:
1. Mentalitas ilmuwan yang menghianati tanggung jawab profesional semata-mata untuk kepentingan pribadi.
2. Penindasan dan ancaman yang menyebabkan ilmuwan takut mengungkapkan kebenaran.
3. Keterikatan yang kuat terhadap suatu kelompok (agama, nasionalisme, dsb).
Khusus untuk butir yang ketiga dijelaskan kembali, bahwa keterikatan ilmuwan pada suatu kelompok tidak boleh bercampur baur dengan aspek ontologis dan epistemologis ilmu yang harus dipertahankan konsistensinya oleh para ilmuwan.
Hasil kajian ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan manusia dengan berdasarkan asas-asas antara lain: mementingkan kodrat manusia, mementingkan martabat manusia, mementingkan keseimbangan dan kelestarian alam, komunal, dan universal . Ilmu pengetahuan berasas komunal artinya ilmu tersebut menjadi milik bersama dan siapapun dapat memanfaatkannya. Asas universal memiliki pengertian bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial seperti ras, ideologi atau agama.
Sekalipun ilmu dikaji secara individual – oleh ilmuwan – tetapi hasil kajiannya adalah milik masyarakat. Ilmuwan tidak boleh menyimpannya seperti sebuah hak paten. Inilah salah satu tanggung jawab sosial ilmuwan. Tanggung jawab sosial ilmuwan juga menyangkut asas moral mengenai pilihan etis terhadap obyek penelaahan ilmuwan dan penggunaan pengetahuan ilmiah. Ada perbedaan sikap di antara para ilmuwan tentang pilihan obyek telaah dan penggunaan pengetahuan ilmiah tersebut. Pertama, kelompok ilmuwan yang bersikap netral dan menyerahkan kepada masyarakat tentang obyek apa yang ditelaah dan digunakan untuk apa. Kedua, kelompok ilmuwan yang berpendapat bahwa ilmuwan harus memiliki sikap formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah dengan alasan bahwa ternyata ilmu bukan saja mampu meningkatkan kehidupan manusia namun dapat juga menghancurkan manusia. Pendapat kelompok ilmuwan seperti ini merujuk pada asas mementingkan kodrat manusia, martabat manusia dan menjaga kelestarian serta keseimbangan alam. Kasus pembuatan dan penggunaan bom atom telah menciptakan bencana kemanusiaan.
Pada zaman ini, dimana bioteknologi sedang mengalami revolusi genetik diawali dengan penemuan spektakuler yang berhasil menggambarkan molekul DNA (Asam Deoksiribo Nukleat), memungkinkan teknologi merekayasa jenis kelamin, IQ, rupa dan ciri kepribadian janin . Kemampuan mengawetkan sperma dalam bank sperma, menyumbang (jual beli) sel telur untuk wanita mandul dan lain-lain akan menohok aspek hukum yang bertumpu pada bentuk keluarga alamiah. Mistik keibuan akan dikacaukan ketika sel telur seorang wanita ditanam ke rahim wanita lain dan dibuahi oleh sperma laki-laki yang bukan suaminya . Seorang homoseks yang mandul dapat menjadi orang tua tunggal dengan membeli sel telur dan sperma serta menyewa rahim seorang wanita. Bahkan sebuah perusahaan pun dapat melakukannya.
Di masa depan seorang wanita dapat membekukan embrionya dan dapat ditanam dalam rahim kapanpun mereka kehendaki, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi setelah tiba masa pensiun dari karir. Demikian pula diramalkan manusia akan mampu membuat rahim buatan dalam bentuk tabungan yang disimpan dalam laboratorium yang fungsinya sama seperti rahim. Bagaimanakah aspek hukum dan agama mengantisipasi fenomena yang akan terjadi di masa depan? Jika menurut ilmuwan fenomena seperti ini akan meruntuhkan kodrat dan martabat manusia, maka sikap formal ilmuwan haruslah ditunjukkan dengan menghentikan atau membatasi penggunaan pengetahuan ilmiah semacam itu. Di negara-negara Barat percobaan dan penggunaan penemuan bioteknologi terus berlanjut dan menimbulkan kontroversi antara ilmuwan yang bersikap netral dengan ilmuwan yang memiliki sikap formal dan para tokoh agama.
Dalam konteks keindonesiaan, sikap yang manakah yang harus dimiliki para ilmuwan Indonesia? Bersikap netral atau memiliki sikap formal terhadap telaah dan penggunaan ilmu? Konflik peran terjadi pada siapa saja, tidak terkecuali kepada para ilmuwan yang memiliki tanggung jawab profesional untuk selalu menyatakan kebenaran ilmiah. Konflik peran inilah yang kadangkala mengakibatkan pengabaian tanggung jawab profesional ilmuwan.
Apa yang akan dilakukan masyarakat keilmuan apabila melihat seorang ilmuwan melakukan ketidakjujuran dalam melakukan kegiatan ilmiah? Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmuwan yang tidak jujur harusnya mendapatkan sanksi konkrit dan sanksi moral . Sanksi moral diberikan kepada ilmuwan yang tidak jujur dengan pengucilan secara moral dari masyarakat keilmuan.
Di Indonesia sanksi moral untuk para ilmuwan yang tidak jujur, belum membudaya. Hal ini disebabkan kegiatan ilmiah belum mentradisi di kalangan masyarakat. Masyarakat keilmuan hanya merupakan sebagian kecil dari masyarakat keseluruhan. Kondisi ini tidak terlepas dari perkembangan pendidikan di Indonesia yang secara kuantitatif belum dapat banyak menjaring generasi muda untuk masuk dalam perguruan tinggi negeri dengan biaya murah. Selain itu pendidikan di Indonesia nampaknya berorientasi kepada keahlian/ keterampilan bukan pada pembentukan karakter. Kondisi seperti ini menghasilkan sarjana yang lebih berorientasi kepada pasar tenaga kerja dibandingkan kepada keinginan untuk menggali keilmuan lebih luas dan mendalam. Sarjana dalam kondisi pendidikan Indonesia menjadi seseorang yang kurang inovatif dan kurang kontlempatif sekaligus kurang memiliki kadar idealisme untuk berfikir lebih luas yang tidak sebatas kepentingan dan kehidupan pribadinya. Mungkin perlu dikaji kembali kadar pelajaran dan mata kuliah apa yang lebih menekankan kepada pembentukan karakter ilmuwan intelektual seperti penekanan pada pendidikan budi pekerti, filsafat ilmu yang membahas hubungan ilmu dan moral atau bentuk praktek kerja yang mengarahkan mahasiswa untuk lebih berfikir altruistik. Hal ini perlu, untuk antisipasi ditengah arus modernisasi yang membawa hampir semua anggota masyarakat menjadi lebih individualistik.
Dalam masalah tanggung jawab profesional, para ilmuwan harus saling berkomunikasi dalam bentuk asosiasi-asosiasi. Asosiasi ilmuwan tidak hanya dapat memberi sanksi kepada ilmuwan yang melanggar aturan ilmiah tetapi dapat juga menjadi satu kekuatan sosial agar ilmuwan dapat lepas dari “keterpasungan” karena kepentingan kekuasaan. Asosiasi ilmuwan juga dapat memberi kontrol agar para ilmuwan dapat menempatkan dirinya dalam kegiatan ilmiah sehingga dapat melepaskan diri dari kepentingan kelompok, kesukuannya, rasnya dan sebagainya. Dengan terbentuknya asosiasi ilmuwan, bukan berarti dapat menyelesaikan semua kasus terhadap pengabaian tanggung jawab profesional. Masyarakat yang mengerti pentingnya peranan ilmuwan dalam peningkatan tatanan kehidupan di segala aspek, akan ikut menjadi kontrol dan faktor pendukung kegiatan-kegiatan ilmiah para ilmuwan. Untuk itulah diperlukan komunikasi antara ilmuwan dengan masyarakat agar masyarakat dapat mengerti peranan ilmuwan yang sebenarnya. Inisiatif awal tentu saja harus dari pihak para ilmuwan dengan memperkanalkan diri mereka melalui beberapa kegiatan keilmuan yang dapat mendekatkan diri mereka pada masyarakat sehingga terasa benar oleh masyarakat keberfungsian ilmuwan tersebut. Jika ini berhasil maka masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat menengah bawah akan merasa membutuhkan ilmuwan intelektual seperti mereka membutuhkan ulama dan pemimpin informal yang secara konkrit dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.
Dalam mengungkapkan pandangan ilmiahnya mengenai suatu fakta, ilmuwan dapat memiliki penafsiran yang berbeda dengan penguasa terutama dalam konteks kepentingan nasional. Tetapi ilmuwan bukanlah kekukatan politik yang mampu memberikan keputusan. Ilmuwan berperan untuk memberikan alternatif-alternatif sebagai pertimbangan dalam menentukan keputusan politik . Jadi ilmuwan tidak sepantasnya diperlakukan sebagai lawan politik oleh kekuatan politik yang mempunyai pendapat berbeda dengan sikap ilmuwan. Di Indonesia setelah memasuki orde reformasi, ternya menghadapi berbagai maslah sosial akibat dari krisis ekonomi berkepanjangan ditambah dengan goncangan karena perubahan besar kondisi politik. Ancaman disintegrasi, kerusuhan antar etnis dan meningkatnya prosentase kemiskinan di Indonesia membutuhkan pemecahan segera. Dalam kondisi seperti ini penguasa perlu kiranya mendengarkan apa yang dikemukakan para ilmuwan, seperti sosiolog, antropolog, psikolog dan pengamat ekonomi untuk mengkondisikan kembali masyarakat ke arah yang lebih baik. Tentu saja pemecahan masalah ini diawali dengan pengamatan yang mendalam terhadap problem yang ada sehingga ditentukan jalan pemecahan yang sistematis dan bertahap. Karena itulah kemampuan ilmuwan intelektual tidak hanya sebatas kemampuan berfikir inovatif tetapi juga antisipatif. Ilmuwan memiliki kepekaan tersendiri sehingga mereka memiliki kemampuan prediksi. Pada dasarnya sebelum sebuah kerusuhan etnis terjadi, hal ini sudah dapat diprediksi oleh para ilmuwan dan karena itu dapat segera diantisipasi sebelum timbul konflik yang lebih jauh. Tetapi nampakya usaha ke arah sana belum maksimal, entah karena pihak penguasa yang kurang mendengar atau memang kemampuan ilmuwan Indonesia yang belum mampu berbicara karena berbagai alasan. Sebuah contoh kasus, kerusahan etnis antara penduduk asli dan masyarakat pendatang, sebetulnya tidak dapat diselesaikan hanya dengan perjanjian perdamaian antara dua pihak yang hanya melibatkan segelintir orang. Kerusuhan etnis lebih merupakan benturan budaya, adat-istiadat dan nilai-nilai sosial yang secara keseluruhan merupakan kegagalan proses akulturasi antar dua budaya . Dalam hal ini para ilmuwan sosial perlu berbicara terutama untuk merekayasa sebuah bentuk masyarakat heterogen yang harmonis.
Berkaitan dengan tanggung jawab profesional dan tanggung jawab sosial, maka ilmuwan harus memiliki sikap politik formal. Sikap politik formal adalah konsisten dengan asas moral keilmuan yang seharusnya dimiliki seorang ilmuwan. Asas moral ini adalah: kebenaran, kejujuran, tidak mempunyai kepentingan langsung, menyandarkan diri pada kekuatan argumentasi dalam menilai kebenaran atau dengan kata lain tidak mempunyai ikatan primordial secara moral, psikologis san politik dalam pengambilan keputusan . Keempat asas moral ini bersifat penunjang terhadap sikap politik formal yang berorientasi terhadap kepentingan nasional.
Sikap politik yang mendasarkan diri pada pendekatan ilmiah akan mendorong sikap politik yang bersifat demokratis. Apabila pada kondisi tertentu ilmuwan berperan sebagai birokrat atau teknokrat hendaknya tidak mengabaikan tanggung jawab profesioanalnya yang berlandaskan asas moral ilmuwan. Jadi keterlibatan ilmuwan secara langsung maupun tidak langsung dalam ranah politik, hendaknya tidak meninggalkan tanggung jawab profesionalnya sebagai seorang ilmuwan yang mencintai kebenaran dan kejujuran.
Era reformasi di Indonesia menyebabkan keterlibatan ilmuwan dalam dunia politik seperti tidak terhindarkan. Perubahan cakrawala politik Indonesia menyebabkan para ilmuwan yang semula bergerak sekitar kampus dan lembaga penelitian kemudian terjun ke dunia politik praktis. Apabila profesionalisme ilmuwan tetap dipertahankan dalam peran-peran politiknya, diharapkan tercipta kondisi politik yang demokratis, yang berpihak pada rakyat.
Keterlibatan ilmuwan di dunia politik kemungkinan menimbulkan masalah apabila keterikatannya terhadap partai atau kelompok dapat menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil tidak berdasarkan pada kebenaran faktual, tetapi berdasarkan sentimen-sentimen kelompok. Untuk menghindari masalah ini diperlukan kontrol dari pada ilmuwan lain atau masyarakat, karena pada dasarnya semua keputusan adalah untuk kepentingan semua rakyat (kepentingan nasional).
Seorang ilmuwan muslim tidak akan pernah dapat melepaskan nilai-nilai keislaman. Nilai adat-istiadat atau nilai budaya dapat ditanggalkan, tetapi keterikatan terhadap agama memiliki konsekuensi dan sanksi-sanksi tertentu yang berhubungan dengan keyakinan kehidupan setelah mati. Dalam hal ini, ilmuwan muslim hendaknya menghindarkan diri dari salah tafsir tentang keterikatan seorang ilmuwan terhdap nilai-nilai yang diyakininya.
Mencari kebenaran faktual dianjurkan oleh Islam. Dalam kegiatan ilmiah, kenyataan obyektif berlaku bagi siapapun, tetapi ketika suatu ilmu diterapkan, ilmuwan harus mempertimbangkan pemanfaatan ilmu tersebut dalam sebuah lingkup masyarakat. Dalam kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai tradisi dan agama seperti Indonesia, bagaimanakah seorang ilmuwan harus bersikap dalam penelaahan dan penggunaan ilmu pengetahuan? Netralkah atau harus memiliki sikap formal?
Di negara-negara sekuler, nampaknya sudah jamak seorang wanita lajang dapat mengandung tanpa melakukan hubungan intim, yaitu dengan membeli sperma di bank sperma. Seorang wanita memberikan sel telurnya kepada wanita lain untuk dibuahi oleh sperma sang suami. Bagaimanakah hukum dapat mengantisipasi tentang hak pengasuhan, waris dan definisi zina? Penggunaan teknologi hasil penemuan para ilmuwan merupakan aspek aksiologis dari hakekat ilmu tersebut. Karena itu jika sebuah teknologi siap dimanfaatkan perlu kiranya memperhitungkan cara penggunaan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah sains mempunyai pengaruh sosial bahkan menjadi alat perubahan sosial. Pemenang hadiah nobel Joshua Lederberg adalah salah seorang ilmuwan yang merasa khawatir dengan terjadinya revolusi biologi . Ia mempertanyakan aspek etis, moral dan politis yang ditimbulkan oleh biologi baru tersebut. Karena itu moral harus senantiasa dilihat dari medium ideologi bukan dari dunia ilmu pengetahuan. Apa yang sedang berkembang dalam bioteknologi harus dianalisis dalam konteks ideologi, moral dan agama. Etika dan tata moral harus senantiasa mengatasi teknologi untuk melindungi manusia dari kehancuran akibat penggunaan ilmu yang membabi buta. Hal ini berarti tidak harus moral yang berubah tetapi ilmu pengetahuanlah yang harus berada dalam rambu moral dan etika.
Dengan dasar pemikiran bahwa ilmu pengetahuan tidak saja dapat mensejahterakan tetapi juga menjerumuskan manusia dan nilai kemanusiaan, maka pada saatnya ilmuwan perlu memakai pertimbangan moral dalam penggunaan ilmu pengetahuan. Untuk mengembangkan dan melestarikan kehidupan manusia yang stabil, ilmu hanyalah salah satu elemen dan harus diimbangi oleh elemen yang lainnya yaitu etika moral. Dengan demikian ilmuwan Indonesia hendaknya memiliki sikap moral berdasarkan pertimbangan formal dalam memanifestasikan tanggung jawab sosialnya.
Ilmuwan tidak hanya harus cerdas tetapi juga memiliki sikap moral yang luhur. Mentalitas ilmuwan yang cerdas dan bermoral lahir dari suatu sistem pendidikan yang memberi porsi yang sama dalam pengajaran ilmu di satu sisi dengan pengajaran agama, moral serta seni di pihak lain . Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kecenderungan mendewa-dewakan ilmu.
Pada dasarnya materi filsafat ilmu yang diberikan di Indonesia masa kini terlalu menekankan pada aspek penalaran dan kurang memperhatikan aspek moral keilmuan . Upaya peningkatan pendidikan moral keilmuan sebaiknya dikaitkan sekaligus dengan upaya meningkatkan kemampuan penalaran ilmiah lewat pemberian mata pelajaran filsafat ilmu pada setiap tingkat pendidikan. Menafsirkan hakekat ilmu dan moral sebaiknya juga memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. Mempertimbangkan faktor sejarah ini menyebabkan ilmu tidak mungkin bersifat netral dalam keseluruhan upaya keilmuan.
Ilmuwan yang bersikap netral akan terhanyut dalam pengembaraan intelektual untuk kepuasan dirinya tanpa mempertimbangkan efek-efeknya. Semuanya dengan dalih bahwa masyarakat memiliki kebebasan memilih, walaupun pada akhirnya pilihan itu kemudian menghancurkan. Sikap netral para ilmuwan kemungkinan akan mengakibatkan penggunaan ilmu dan teknologi yang tidak terkendali. Kondisi ini terjadi apabila etika moral tidak dapat lagi mengatasi penggunaan ilmu dan teknologi. Ketika etika moral dilanggar, agama dan nilai budaya diabaikan yang terjadi adalah perubahan-perubahan yang tidak dapat lagi dikendalikan manusia. Pada akhirnya ilmu pengetahuan dapat berbalik menjadi bumerang yang dapat menghancurkan kehidupan manusia.
Dalam tanggung jawab sosialnya, ilmuwan perlu dengan intens memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. Ilmuwan hendaknya mampu menerjemahkan bahasa ilmiahnya kepada bahasa masyarakat agar mampu dimengerti dan bermanfaat.
Untuk dikenal masyarakat para ilmuwan harus terbentuk sebagai sub sistem kemasyarakatan, sehingga tercipta etika hubungan ilmuwan dengan masyarakatnya. Kemampuan ilmuwan dalam menerjemahkan bahasa ilmiahnya ke dalam bahasa masyarakat akan membuat ilmuwan tersebut semakin dikenal akrab oleh masyarakat. Dalam hubungan yang ideal seperti ini, ilmuwan secara langsung dapat ikut mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya proses perubahan ke arah yang lebih baik.
Kadangkala para ilmuwan terjebak dalam bahasa-bahasa ilmiah dan sulit mengkomunikasikan pemikirannya kepada masyarakat. Mereka hanya mampu berbicara dengan manusia sejenisnya dan seolah memiliki kehidupan sendiri yang terasing. Dalam kondisi seperti ini, sinyalemen-sinyalemen yang dikeluarkan menyangkut analisis suatu fakta sering membingungkan masyarakat awam. Alhasil, ilmuwan dianggap oleh masyarakat sebagai mahluk asing yang berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti.
Seorang ilmuwan hendaknya mampu memahami bahasan massa dan menyampaikan ide-idenya kepada masyarakat dalam bahasa massa. Hanya dengan cara ini perubahan dapat terjadi, yaitu ketika ide perubahan itu dikomunikasikan dalam bahasa massa dan diterima oleh masyarkat. Ide perubahan dapat lahir dari seorang ilmuwan atau intelektual tetapi hanya dengan kekuatan seorang ilmuwan perubahan itu tidak akan terjadi. Tetapi jika masyarkat yang menginginkan perubahan maka perubahan itu dapat terjadi. Ali Syari’ati berpendapat bahwa intelektual sekarang telah memisahkan diri dari masyarakat, walaupun mereka berbicara tentang massa tetapi apa yang dibicarakannya tidak lebih dari gagasan-gagasan terjemahan dari Barat . Karena itulah massa tidak dapat memahami para ilmuwan dan intelektual demikian pula para ilmuwan tidak dapat memahami massa. Di Indonesia, ulama tradisional dan tokoh masyarakat lebih dapat memahami masyarakat dan berbicara dalam bahasa massa dan karena itu pula dapat mengkomunikasikan ide-idenya.
Pada masa kampanye pemilu 1999 di Indonesia, beberapa ilmuwan yang aktif di partai politik menjadi juru kampanye. Dalam siaran di TV yang dapat menjangkau hampir semua rakyat Indonesia, para ilmuwan menerangkan program ekonomi, pendidikan dan lain-lain dengan uraian-uraian yang penuh dengan istilah asing yang pasti sukar dimengerti masyarkat kelas menengah bawah. Kampanye dialogispun kadangkala terdengar seperti debat keilmuan di kampus. Disinilah kekurangmampuan para intelektual (ilmuwan) dalam mengkomunikasikan isi fikirannnya kepada mayarakat awam.
Suatu pemikiran yang gagal mendaratkan dirinya di atas infrastuktur kultural masyarakat tidak akan jauh berbeda dengan sebuah buku populer yang tersimpan di perpustakaan. Sarjana dan mahasiswa mungkin membaca buku tersebut tetapi masyarakat tetap saja tidak berubah. Jika kaum intelektual atau ilmuwan terasing si masyarakatnya maka masyarakat tidak akan terlepas dari dekadennya sekalipun masyarakat itu memiliki banyak memiliki pemikir-pemikir hebat. Filosof Aristoteles tidak mampu memecahkan masalah-masalah Athena pada zamannya. Athena adalah sebuah masyarakat yang mengidap perbudakan, dekadensi dan tirani aristokratik. Aristoteles hidup dalam masyarakat seperti itu dan tidak mampu mengubahnya. Di Athena terdapat ratusan penulis dan pemikir tetapi mereka kurang bermanfaat karena tidak mampu mengubah dan membangun masyarakat mereka. Sejauh menyangkut masyarakat, hadirnya orang-orang tersebut tidak berbeda dengan tidak adanya.
Tanggung jawab pokok intelektual adalah menanamkan dalam alam berfikir publik semua konflik dan pertentangan . Apabila seorang intelektual atau ilmuwan dapat memahami nilai-nilai masyarakat dan mengkomunikasikan fikirannya dengan bahasa yang hangat, mudah dicerna dan dikenal, maka pemikiran-pemikirannya diinternalisasi dalam hati dan fikiran masyarakat. Pada tahap ini ilmuwan mampu membangkitkan kesadaran sosial yang mendorong kemajuan sosial.
Dalam struktur masyarakat, ilmuwan atau intelektual ada pada lapisan tengah yang seolah menjembatani antara elite dengan kelas bawah . Lapisan tengah merupakan posisi strategis sehingga ilmuwan dapat menjangkau ke atas dan merambah ke lapisan bawah. Dalam kondisi seperti ini ilmuwan dan intelektual dapat menjadi agen perubahan sosial. Posisi yang strategis ini harus diikuti dengan kemampuan para ilmuwan untuk dapat berkomunikasi dengan elit politik maupun masyarakat. Apabila ilmuwan mampu memberikan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat diterima oleh elite politik dan mampu mengkomunikasikannya kepada masyarakat, niscaya tercipta hubungan yang harmonis antara elite politik, ilmuwan dan masyarakat. Hasil dari hubungan yang harmonis ini adalah perubahan sosial (pembangunan) yang berjalan mulus hampir tanpa intrik yang berarti.
Hampir setiap kondisi perubahan dalam masyarakat diawali dengan kebangkitan kaum terpelajar. Di Eropa ketika kekuasaan dipegang oleh sekelompok aristokrat yang feodal dan tokoh-tokoh agama yang dogmatis, kaum terpelajar bangkit dari ketertindasan yang dirasakan memenjarakan akal . Mereka mampu dan berani mengungkapkan pemikiran-pemikiran mereka. Kebangkitan kaum terpelajar merubah Eropa dari the dark middle age (abad pertengahan yang gelap) kepada aufklarung (pencerahan). Dari sini tonggak renaisance mulai dipancangkan yaitu kebangkitan kembalil semangat keilmuan yang diilhami era Aristoteles dari Yunani . Renaisance adalah cikal bakal kemajuan teknologi Barat yang berkembang ampai sekarang.
Disadari atau tidak perubahan politik yang besar dalam sebuah negara pun diawali dengan semangat perubahan kaum intelektual (ilmuwan). Revolusi Iran adalah keberhasilan kaum intelektual mengkomunikasikan pemikirannya kepada masyarakat awam, tidak semata-mata dilatarbelakangi alasan ideologi. Demikian juga perubahan era orde baru kepada era reformasi di Indonesia, diawali dengan bangkitnya kaum intelektual untuk berani berbicara. Mahasiswa, dosen dan insan akademis lainnya mulai berbicara masalah perubahan yang bersifat politis.
Keberhasilan para ilmuwan yang menjadi agen perubahan (agent of change) tergantung kepada kemampuan mereka dalam memberikan alternatif-alternatif kebijakan kepada elite politik dan kemampuan mengkomunikasikan isi fikirannya kepada masyarakat sehingga dapat diterima sebagai sebuah ide yang membangun.
Adapun peran yang kemudian disandang seorang ilmuwan pada akhirnya (politikus, pelaku ekonomi dan sebagainya), hendaknya tetap dilandasi sikap moral ilmuwan yang mencintai kebenaran dan kejujuran. Perubahan yang dikehendaki ilmuwan – perubahan politik sekalipun – idealnya adalah perubahan yang menguntungkan semua pihak .

3. Islam, Ilmu dan Ilmuwan
Pandangan Islam terhadap ilmu termaktub dalam Al Qur’an yang mengingatkan manusia agar memperhatikan sekelilingnya dengan unsur fikirnya . Dinyatakan pula bahwa proses mengamati alam sekelilingnya harus senantiasa dibarengi dengan mengingat pada Allah, sehingga manusia sampai pada kesimpulan tentang kemanfaatan dari ilmu dan menemukan Kemahabesaran Allah . Dengan pernyataan Al Qur’an ini maka sangat tidak logis untuk menempatkan akal dan iman dalam posisi yang berlawanan. Al Qur’an menetapkan pula tentang keunggulan, superioritas dan supremasi yang diberikan Allah kepada mereka yang beriman sekaligus berilmu .
Iman akan mendorong seseorang untuk berbaur baik guna mendapatkan ridha Allah dan ilmu akan melengkapinya dengan kemampuan menemukan cara yang paling efektif dan tepat dalam pelaksanaan dorongan untuk berbuat baik itu. Iman mendidik untuk memiliki komitmen pada nilai-nilai luhur dan ilmu memberi kecakapan teknis guna merealisasikannya. Iman dan ilmu secara bersama akan membuat seseorang menjadi baik sekaligus tahu cara mewujudkan kebaikan itu. Karena itulah iman dan ilmu merupakan jaminan keunggulan dan superioritas. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan ilmuwan muslim hendaknya memiliki sikap formal yang mempertimbangkan apakah penggunaan suatu ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat atau justru menghancurkan kehidupan serta tidak hanya bertumpu pada kepuasan diri sendiri dalam mempraktekan hasil penemuannya.
Langkah pertama dalam konsep berfikir Al Qur’an ialah bahwa kitab suci selalu menuntut manusia agar menghapuskan segala rintangan yang ada, yang mengganggu kebebasan manusia dalam proses berfikirnya menuju suatu kebenaran. Beberapa rintangan itu antara lain paksaan (ikraah), meniru (taklid), hawa nafsu dan zan (persangkaan) .
Dalam Al Qur’an dinyatakan tidak ada paksaan dalam dien . Dien berarti suatu pedoman hidup yang menyeluruh atau suatu sistem ide dan tindakan. Artinya manusia dapat bebas memilih dan membentuk sistem hidupnya. Tetapi Al Qur’an pun menjelaskan perbedaan antara kebenaran dan kebatilan. Jadi menurut Al Qur’an “paksaan” dapat mengganggu kebebasan berfikir dan bernalar.
Peniruan terhadap segala bentuk otoritas seperti adat-istiadat ataupun tradisi ditolak oleh Al Qur,an. Kriteria yang paling pokok menurut Al Qur’an bukan sekedar nenek moyang atau adat-istiadat yang harus diikuti tetapi apakah mereka benar atau salah . Jadi Al Qur’an menolak terhadap sikap mengikuti membabi buta tanpa argumentasi.
Hawa nafsu termasuk rintangan, karena ia cenderung mematikan daya nalar manusia dalam melihat kebenaran. Karena itu Al Qur’an mengutuk hawa nafsu sebagai sesuatu yang merintangi manusia dalam menemukan kebenaran .
Zan berarti tidak meyakini kebenaran atau mempunyai gagasan-gagasan yang tidak yakin akan kebenarannya. Al Qur’an menganjurkan manusia untuk menerima sesuatu dengan yakin sepenuhnya karena persangkaan hanya menghambat seseorang untuk mencapai kebenaran .
Rintangan yang menghambat diperolehnya kebenaran telah diungkapkan Al Qur’an, beberapa diantaranya dapat dijadikan kaidah untuk mencapai kebenaran dalam ilmu yang berbicara fakta obyektif yaitu paksaan dan zan. Imuwan tidak akan mencapai sebuah kesimpulan yang benar dalam mengamati sebuah fakta apabila terdapat paksaan dalam melakukannya karena kepentingan-kepentingan tertentu, atau hasil temuannya tidak berdasarkan prosedur yang seharusnya melalui proses pengamatan dan penelitian dan hanya berdasarkan persangkaan saja.
Al Qur’an sendiri menuntun manusia dalam melakukan kegiatan penalaran (bernalar). Dalam meyakinkan orang Al Qur’an menggunakan argumen yang dilandasi kebenaran aksiomatis yang tidak terbantahkan sama sekali. Pada Al Qur’an surat Ath-Thur (52): 35-36 Al Qur’an melemparkan tiga pertanyaan yaitu:
• Apakah manusia terjadi dengan sendirinya, tanpa pencipta? Tanpa suatu apa?
• Atau apakah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?
• Merekakah yang menciptakan bumi dan langit?
Cara yang kedua adalah Al Qur’an menggugah apa yang dapat dilihat, disentuh dan didengar oleh seseorang. Al Qur’an dalam surah ‘Abasa(80) : 24-25 menjelaskan bagaimana tumbuh-tumbuhan itu menghasilkan sesuatu yang dapat dimakan karena Allah menurunkan hujan dari langit. Demikian pula dalam Al Qur’an surah Yunus(10) :101 yang memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan (mengamati) apa yang ada di langit dan dibumi.
Cara yang ketiga adalah dengan menceritakan pengalaman manusia. Beberapa ayat Al Qur’an menceritakan pengalaman manusia misalnya ketika sewaktu menghadapi kematiannya atau apabila manusia dalam keadaan kritis terancam . Jadi Al Qur’an menuntun cara berfikir manusia yang ternyata oleh ilmu pengetahuan positif dijadikan kaidah pengetahuan ilmiah yaitu :
1. Badaha (aksioma).
2. Persepsi panca indera (nazar atau malahazah)
3. Pengalaman (tajribah).
4. Nazar (malahazah) serta tajribah dalam ilmu pengetahuan positif disebut bersifat empiris artinya ilmu tersebut didapat dari hasil observasi (menggunakan panca indera) dan dapat diuji secara obyektif .
Ilmuwan adalah orang-orang yang memperoleh fakta kebenaran melalui proses dengan mengandalkan logika dan panca indera, sehingga fakta tersebut bersifat obyektif dan universal. Syair’ati membahas tentang sebuah mentalitas yang lebih dari sekedar ilmuwan. Ia menyebutnya dengan istilah rausyanfikr . Ilmuwan menemukan kenyataan (fakta) sedangkan rausyanfikr menemukan kebenaran. Rausyanfikr harus melibatkan ideologi (komitmen pada agama) dan berbicara dalam kaumnya. Dengan definisi di atas maka konsep rausyanfikr mungkin relevan dengan sikap ilmuwan yang memiliki sikap formal dengan misi tidak melanggar kodrat, melestarikan kehidupan (alam) dan nilai-nilai luhur lainnya. Dengan kata lain rausyafikr adalah ilmuwan atau intelektual yang berideologi. Ideologi dan ilmu memiliki kaitan erat tetapi keduanya memiliki perbedaan. Ideologi berisi gagasan-gagasan, keyakinan yang dianut oleh sebuah kelompok, ia memiki penilaian baik dan buruk terhadap suatu obyek berdasarkan gagasan-gagasan yang dimiliki ideologi tersebut. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang dunia fisik dan gejala-gejalanya. Ini merupakan citra mental manusia terhadap hal-hal yang konkret. Dal hal sains ilmuwan harus tetap obyektif dan tidak memihak.
Sejauh menyangkut evaluasi, terdapat dua istilah yang digunakan dalam ilmu dan metodologi yaitu judgement de faite dan judgement de valeur . Judgement de fait menunjuk pada evaluasi dan pembahasan atas realitas eksternal. Karena itu yang dilakukan hanyalah menemukan ciri dari fakta dan gejala ekternalnya dan menguji sesuatu yang riil dan konkrit. Ilmu (pengetahuan ilmiah) memiliki kemampuan evaluasi judgement de faite. Sedangkan judgement de valeur adalah mempersoalkan kualitas dari sebuah gejala, kabaikan dan keburukannya, kegunaan dan bahayanya. Inilah yang dilakukan oleh ideologi. Dengan demikian ideologi akan mendapatkan peranan yang lebih besar ketika sebuah ilmu sampai pada tahap aksiologis yang membahas bagaimana memanfaatkan pengetahuan tersebut. Pada titik inilah karakater rausyanfikr atau ulil albab akan mengaktualisasikan peranannya dalam memberikan penilaian baik dan buruk pemanfaatan suatu ilmu sekaligus memperlihatkan loyalitasnya terhadap keyakinannya (ideologi) dan keterikatannya pada masyarakat. Ilmuwan mengungkapkan fakta sebagaimana adanya sedangkan rausyanfikr berbicara pula bagaimana seharusnya. Esensi perubahan adalah “bagaimana seharusnya” atau disebut juga perubahan yang diharapkan. Jika ilmuwan hanya berbicara sebagaimana adanya, maka ia tidak akan menjadi agen perubahan. Karena itu ilmuwan Islam harus berwujud menjadi rausyanfikr.
Sesungguhnya Al Qur’an memiliki istilahnya sendiri untuk menyebut orang-orang yang menggunakan fikir dan akalnya, yaitu ulil albab.Ulil albab dilukiskan sebagai orang yang diberi hikmah atau kesadaran (Q.S. 2:269), yang sanggup mengambil pelajaran dari umat terdahulu (Q.S. 12:111), kritis mendengarkan pembicaraan atau ungkapan pemikiran orang (Q.S. 39:18), bersungguh-sungguh mencari ilmu (Q.S. 3:7) dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi (Q.S. 3:190)dan mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan oleh Allah (Q.S. 38:29; 40:54; 3:7), sanggup sendirian mempertahankan keyakinannya dan tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (Q.S. 5:100), berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (Q.S. 14:52), memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan Allah, bersabar, memberikan infak dan menolak kejelekan dengan kebaikan (Q.S. 5:100) bangun tengah malam dan mengisinya dengan ruku’ dan sujud dihadapan Allah dan hanya takut kepada Allah saja (Q.S. 2:197; 65:10; 5:100; 13:21). Ilmuwan dengan kriteria ulil albab ini merupakan gambaran ilmuwan muslim atau intelektual muslim ideal. Jadi ulil albab tidak hanya sekedar ilmuwan yang didefinisikan sebagai orang yang mencari fakta obyektif sebagai sebuah kebenaran tetapi lebih dari itu ulil albab adalah ilmuwan dan intelektual yang justru memiliki keberpihakan kepada sebuah nilai (Islam) dan memiliki kepentingan terhadap keyakinan yang dianutnya. Walaupun demikian ilmuwan muslim tetap mengikuti kaidah berfikir pengetahuan ilmiah dalam menangkap fakta obyektif yang sesuai logika karena Al Qur’an sendiripun menuntun manusia untuk menggunakan penalarannya.

D. Kesimpulan
1. Tanggung jawab ilmuwan memiliki dua dimensi yaitu tanggung jawab profesional dan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab profesional dan tanggung jawab sosial ditetapkan dalam suatu kerangka sikap moral. Dalam keberadaan yang utuh seorang ilmuwan, kebenaran faktual berdasarkan argumentasi ilmiah harus senantiasa didampingi dengan penghayatan dan pelaksanaan sikap moral ilmuwan.
2. Perlu adanya suatu kontrol yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan ataupun masyarakat menyangkut masalah konsistensi ilmuwan terhadap kegiatan ilmiah dan sikap moralnya.
3. Dilihat dari pengalaman sejarah tentang penggunaan hasil ilmu pengetahuan, maka ilmuwan lebih tepat memiliki sikap formal dalam penggunaan dan penelaahan ilmu itu sendiri. Dengan demikian ilmuwan hendaknya tidak bersikap netral terhadap penggunaan ilmu pengetahuan. Setiap penggunaan ilmu pengetahuan hendaknya dilihat dari aspek kemanfaatannya dalam masyarakat.
4. Dalam posisinya sebagai kelas menengah dalam piramida masyarakat, ilmuwan memiliki potensi yang strategis dalam melakukan perubahan. Ia dapat memberikan alternatif pemecahan masalah kepada penguasa sambil mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Karena itu khusus untuk hubungannya dengan masyarakat, ilmuwan hendaknya memiliki kemampuan berbicara dalam bahasa massa dan memiliki komitmen yang besar terhadap perkembangan kondisi masyarakat.
5. Ilmu itu bersifat netral dan manusialah yang memberinya nilai. Al Qur’an menyebutkan istilah ulil albab untuk orang-orang beriman yang menggunakan potensi akal fikirannya. Ulil albab tidak sekedar nama sebuah kelompok atau status seseorang, tetapi menggambarkan sebuah karakter orang beriman yang menggunakan akal fikirannya, mencintai ilmu, memiliki kedekatan kepada Allah, sadar dengan missinya untuk menyampaikan konsep tauhid, memiliki keterikatan kepada masyarakat. Istilah lain untuk karakter ulil albab ini adalah rausyanfikr (pemikir yang tercerahkan). Ilmuwan Islam hendaknya berwujud sebagai ulil albab atau rausyanfikr yang justru memiliki keberpihakan kepada sebuah nilai yaitu Islam, dengan tidak menyingkirkan kaidah berfikir ilmiah untuk menerima fakta-fakta obyektif sebagai sebuah kebenaran. Jika telah tumbuh banyak ilmuwan muslim yang berkarakter ulil albab atau rausyanfikr maka bukan tidak mungkin peradaban Islam akan terbangun kembali dan memiliki peran yang dominan dalam berbagai aspek kehidupan seperti teknologi, ekonomi, hukum dan politik.

No comments:

Post a Comment