Saturday 6 November 2010

ETIKA DAN HUKUM BISNIS ISLAM DALAM WACANA KEILMUAN DAN PRAKTEK EKONOMI

Telah Dimuat pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 4. No. 1Januari-Juni 2010

ETIKA DAN HUKUM BISNIS ISLAM DALAM WACANA KEILMUAN DAN PRAKTEK EKONOMI

(Studi Kritis Tentang Bisnis Islam dan Perilaku Wirausaha)

Abstrak
Belum banyak pembahasan yang menghubungkan antara etika dengan hukum. Padahal kajian ini penting untuk melihat kesinambungan perilaku manusia sebagai satu-satunya mahluk yang memiliki sistem nilai yang diyakini yang didapat melalui proses dari akal budinya. Pada tahap operasional, etika kehilangan eksistensinya padahal semua konsep dan perbuatan hukum berawal dari etika.
Tulisan in mebahas tentang kesinambungan etika bisnis kepada hukum bisnis Islam serta bagaimana keduanya termanifestasi dalam perilaku wirausaha. Proses analisanya berawal dari etika ekonomi Islam yang normatif kepada kerangka hukum Islam khususnya tentang hukum bisnis Islam.
Selanjutnya bagaimana etika dan hukum bisnis Islam yang sudah ada teraplikasii dalam kegiatan bisnis wirausaha muslim. Dari semua analisa itu tulisan ini memiliki tujuan untuk menghangatkan kembali wacana tentang etika yang tidak banyak diperdebatkan dan hukum bisnis Islam yang masih banyak memerlukan usaha ijtihad dan ketetapan-ketetapan hukum, yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi para wirausaha muslim.
Bagaimana seorang wirausaha dapat memakai pedoman etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam dalam perilakunya? Untuk mengetahui hal ini diperlukan analisis sikap dan perilaku, mulai dari aspek kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (kecenderungan berperilaku). Komponen sikap ini belum tentu kemudian akan dengan sendirinya menimbulkan konsistensi terhadap perilaku. Faktor lingkungan sering menjadi hambatan untuk berperilaku sesuai sikap yang dimiliki. Akan halnya wirausaha muslim salah satu hambatan untuk dapat melakukan kegiatan bisnis sesuai syari’ah adalah belum tersedianya kompilasi hukum ekonomi syari’ah dan juga praktek bisnis syari’ah yang belum tersosialisasi.
Kata Kunci: Etika, Hukum Bisnis Islam, Perilaku

A. Pendahuluan

Pengamatan terhadap perilaku manusia berbeda dengan pengamatan yang dilakukan terhadap hewan. Mengapa? Karena perilaku hewan semata-mata digerakkan oleh naluri atau instingnya saja. Dorongan (motif) yang dimiliki oleh hewan semata-mata untuk survive (bertahan hidup). Sementara itu insting tidak memungkinkan hewan berkembang dan selalu bergerak dalam perilaku yang tetap, sama serta stagnan. Manusia dikaruniai instrumen lain selain naluri, yaitu akal dan nurani. Akal memungkinkan manusia memiliki kemampuan mencipta. Dengan kemampuan mencipta manusia tidak hanya mampu memanfaatkan alam tetapi juga mengolahnya sehingga mampu menciptakan benda-benda yang semula tidak ada di alam. Adapun nurani merupakan perasaan hati yang paling dalam yang memilki kecenderungan terhadap nilai-nilai kebaikan. Dengan nurani manusia memiliki tolak ukur nilai yang sama, misalnya tentang nilai keadilan, penolakan terhadap penindasan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebijaksanaan dan sebagainya. Nilai-nilai yang bersumber dari nurani ini menjadi bervariasi atau berbeda-beda ketika diinterpretasikan melalui ideologi. Pada tataran ini nilai-nilai universal yang diinterpretasikan melalui ideologi kemudian diwujudkan dalam bentuk yang lebih operasional yaitu hukum.
Sebagai sebuah komunitas, manusia juga berbeda dengan populasi hewan. Kehidupan kelompok hewan terbentuk karena dorongan naluriah dan kontak didalamnya juga digerakkan semata-mata oleh insting. Komunitas manusia menciptakan bentuk hubungan sosialnya sendiri, membentuk kesepakatan tentang norma yang diberlakukan dalam komunitas. Karena itulah motif-motif manusia dalam berperilaku tidak hanya didasari oleh motif biogenetis yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhan organisme secara biologis tetapi juga dilatarbelakangi oleh motif sosiogenetis dan motif-motif teogenetis[1]. Motif sosiogenetis merupakan motif yang dipelajari dari lingkungan. Sedangkan motif teogenetis berasal dari interaksi antara manusia dengan tuhan. Kedua motif ini tumbuh bersamaan dengan proses sosialisasi dan internalisasi manusia dengan seperangkat nilai dari lingkungan sosialnya. Pada tahap selanjutnya seperangkat nilai yang dipelajari dari lingkungan sosial dan agamanya akan menjadi konsep, pendapat dan keyakinan yang membentuk sikap. Sikap inilah yang mempengaruhi perilaku manusia. Lebih tepatnya adalah bahwa sikap merupakan kesiapan untuk berperilaku.
Jadi jelaslah bahwa perilaku manusia tidak hanya dilatarbelakangi motif biogenetis yang bersifat instinktif tetapi juga dilatarbelakangi oleh seperangkat ide, kepercayaan, sistem nilai yang diketahui (aspek kognisi) dan kemudian dihayati (aspek afeksi), selanjutnya akan menumbuhkan kecenderungan berperilaku (aspek konasi). Tiga komponen yang terdiri dari aspek kognisi, afeksi dan konasi ini merupakan komponen sikap yang cenderung menentukan perilaku manusia[2]. Namun demikian sikap belum merupakan tindakan atau aktifitas tetapi merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tersebut.
Perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap sendiri dibentuk oleh sistem nilai dan pengetahuan yang dimiliki manusia. Maka kegiatan apapun yang dilakukan manusia hampir selalu dilatarbelakangi oleh pengetahuan pikiran dan kepercayaannya. Namun demikian tidak semua individu yang memiliki sikap yang sama berarti memiliki perilaku yang sama pula. Hal ini karena perilaku ditentukan oleh dua faktor yaitu karakteristik individu (meliputi motif, nilai-nilai sifat kepribadian dan sikap yang berinteraksi satu sama lain) dan faktor lingkungan.
Perilaku manusia meliputi banyak hal, seperti hubungan sosial dalam keluarga, pertemanan, perilaku yang berkaitan dengan adat istiadat tertentu dan semua bentuk perilaku yang berada dalam batas kewajaran dan kenormalan yang merupakan respon atau reaksi terhadap stimulus lingkungan sosial.
Kegiatan ekonomi seperti perilaku konsumen, produktifitas pekerja atau pun perilaku wirausaha pada umumnya dikenal sebagai perilaku rasional yang dipengaruhi oleh seperangkat pengetahuan yang dimiliki individu yang bersangkutan. Kegiatan ekonomi hampir selalu dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan rasional yang bersifat ekonomis. Bagi konsumen perilaku didasari oleh pengetahuan bagaimana ia mendapatkan barang yang bermutu dengan harga yang serendah mungkin. Bagi penjual tentu saja berusaha menjual barang dengan keuntungan yang sebesar mungkin. Namun ternyata perilaku ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan yang menimbulkan pertimbangan rasional. Ada faktor-faktor subjektif yang turut mempengaruhi perilaku ekonomi. Salah satu faktor subyektif yang mendasari perilaku ekonomi adalah sistem nilai dan beliefs (kepercayaan) yang diyakini individu. Misalnya konsumen muslim berusaha membeli barang yang halal dan baik walaupun dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan membeli barang yang sejenis yang lebih murah tapi subhat atau haram.
Perilaku ekonomi yang bersifat subyektif tidak hanya dapat dilihat pada perilaku konsumen, tetapi juga perilaku wirausaha. Sama halnya dengan perilaku konsumen, perilaku wirausaha tidak semata-mata dipengaruhi oleh pengetahuannya yang bersifat rasional tetapi juga oleh sistem nilai yang diyakini. Seorang pengusaha mungkin akan menjalankan perusahaannya sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya tentang manajemen, pemasaran, kompetisi dan lain sebagainya. Tetapi lebih dari itu wirausaha juga mendasari perilaku ekonominya dengan seperangkat etika yang diyakini. Karena itu perilaku ekonomi wirausaha tidak semata-mata mempertimbangkan faktor benar dan tidak benar menurut ilmu ekonomi dan berdasarkan pengalaman, tetapi juga mempertimbangkan faktor baik dan tidak baik menurut etika. Bagi wirausaha, koridor yang harus dilewati dalam menjalankan bisnis bukan hanya etika yang cenderung memotivasi atau menggerakkan tetapi juga aspek hukum yang harus ditaati.

B. Etika Bisnis Dalam Ekonomi Islam Normatif

Etika merupakan filsafat tentang moral. Jadi sasaran etika adalah moralitas. Moralitas adalah istilah yang dipakai untuk mencakup praktek dan kegiatan yang membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, aturan-aturan yang mengendalikan kegiatan itu dan nilai yang tersimpul didalamnya, yang dipelihara atau dijadikan sasaran oleh kegiatan dan praktek tersebut[3]. Menurut Robert C. Solomon, moral tidak diartikan sebagai aturan-aturan dan ketaatan, tetapi lebih menunjuk kepada bentuk karakter atau sifat-sifat individu seperti kebajikan, kasih sayang, kemurahan hati dan sebagainya, yang semuanya itu tidak terdapat dalam hukum[4].
Karakter yang bermoral atau beretika merupakan gambaran ideal yang secara berproses ingin dicapai individu. Dengan etika segala kegiatan individu dapat diberi nilai (baik dan buruk) sesuai dengan tolak ukur moralitasnya . Tetapi sekali lagi bahwa etika atau moralitas bukan disandarkan pada wilayah hukum. Etika bukan ada pada batas kumpulan norma, tetapi lebih kepada cara pandang yang lebih filosofis yaitu persepsi-persepsi tentang kebijakan dalam hidup.
Untuk kepentingan analis, studi etika membagi etika kedalam tiga tahap yang satu sama lainnya saling berhubungan yaitu etika deskriptif, etika normatif dan meta etika. Etika deskriptif pada umumnya banyak dipakai dalam keilmuan antropologi, sosiologi dan psikologi. Etika deskriptif hanya semata-mata menjelaskan secara obyektif sesuai fakta mengenai etika atau moralitas yang dianut dan dipercayai oleh individu atau suatu kelompok.
Etika normatif secara sistematis berusaha untuk membenarkan suatu sistem moral tertentu. Ia berusaha untuk mengembangkan serta membenarkan prinsip dasar moral atau nilai-nilai dasar dari suatu sistem moral. Jika dalam etika deskriptif moralitas dijelaskan secara obyektif, maka etika normatif lebih bersifat persuasif dan keberpihakan pada sistem nilai.
Sedangkan meta etika disebut juga dengan etika analitis karena bertugas mengkaji makna istilah-istilah moral dan logika serta penalaran moral. Untuk alat analisis ketiga tahap dalam studi etika ini saling berkaitan satu sama lain. Studi kasus misalnya harakiri yang dilakukan pengusaha Jepang ketika perusahaannya bangkrut. Antropolog, sosiolog dan psikolog akan menjelaskan secara deskriptif tentang sejarah harakiri dan bagaimana moralitas yang ada pada harakiri itu dapat bertahan hingga sekarang. Dalam etika normatif dapat dilihat, bahwa harakiri ini memiliki kekuatan persuasif sehingga dapat mengendalikan dan mempengaruhi individu. Sedangkan dalam mata etika menjelaskan lebih dalam nilai dan makna harakiri serta proses perjalanannya sehingga harakiri dianggap sebagai sebuah tindakan yang patriotik dan gentleman.
Etika mencakup segala aspek kehidupan, seperti etika politik, etika ekonomi atau etika sosial. Jadi pada dasarnya semua kegiatan manusia dilandasi oleh moralitas tertentu. Sistem ekonomi liberalis kapitalis bersandar pada moralitas tentang individualitas dan humanisme. Sistem ekonomi komunis bersandar pada moralitas tentang keadilan dan persamaan. Sedangkan sistem ekonomi Islam bersandar pada moralitas tentang ketuhanan, kemanusiaan, dan pertengahan (keseimbangan dan adil).
Dalam khazanah keilmuan ekonomi sekuler (kapitalis) dikenal istilah pembedaan antara ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif. Ilmu ekonomi positif mempelajari problema-problema seperti apa adanya, sedangkan ilmu ekonomi normatif mempelajari bagaimana seharusnya[5].
Ilmu ekonomi sekuler menyatakan dirinya sebagai ilmu ekonomi positif sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan pada umumnya. Konsep-konsep dan dalil-dalil ekonomi positif merupakan hasil abstraksi dari realitas yang diangkat menjadi teori dan hukum ekonomi. Oleh karena itu ilmu ekonomi positif mutlak bersandar pada hasil pengamatan manusia. Dengan demikian, dalil-dalil ekonomi yang lahir dari ekonomi sekuler adalah hasil pengamatan atas gejala-gejala yang dapat diindera manusia.
Bagaimanapun sebuah ilmu bersifat positif, pada akhirnya tetap tidak akan bebas nilai ketika berada pada tataran aksiologis yang mempertanyakan kemanfaatan suatu ilmu bagi masyarakat. Akan tetapi ekonomi kapitalis bersandar sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pasar dengan sendirinya akan menciptakan sebuah persaingan dalam hal kualitas produksi dan konsumsi. Ilmu ekonomi positif berpijak pada dalil dasar bagaimana mengolah sumber yang terbatas untuk mendapatkan hasil dan keuntungan yang maksimal (dalam produksi) dan bagaimana mendapatkan barang-barang kebutuhan secara maksimal dengan pengorbanan yang minimal (dalam konsumsi), sehingga produksi (penjualan) dan konsumsi (permintaan) bertemu dalam satu titik yang disebut dengan market equilibrium (keseimbangan pasar).
Dalil-dalil ekonomi di atas merupakan abstraksi hasil pengamatan terhadap gejala yang ada, semata-mata berdasarkan indera manusia. Pada akhirnya keterbatasan teori ini terbukti dengan pernyataan bahwa: “Sejarah perkembangan konsep kapitalisme murni sebagai sebuah perekonomian yang mengatur diri sendiri dan menyesuaikan diri sendiri, meniadakan peranan penting pemerintah. Akan tetapi perlu dikemukakan bahwa dalam praktik, perekonomian tidak pernah 100% mengatur diri sendiri”[6].
Yang menjadi perbedaan antara ekonomi sekuler (kapitalis) dengan ekonomi Islam adalah sumber yang melahirkan dalil-dalil ekonomi. Dalil ekonomi kapitalis dihasilkan dari semata-mata penalaran akal manusia. Adapun Islam sejak awal bersandar pada pokok-pokok aturan yang ditetapkan Al-Qur’an. Aspek pengendalian untuk keseimbangan pada ekonomi kapitalis diserahkan pada pasar dan jika diperlukan dengan kebijakan pemerintah. Pengendalian untuk keseimbangan dalam Islam diatur oleh seperangkat tata nilai etika yang tercantum dalam Al-Qur’an serta langsung menyentuh wilayah publik ataupun personal, misalnya, konsep istikhlãf yang menumbuhkan kesadaran bahwa harta semata-mata titipan dari Allah. Dalam Al-Qur’an dinyatakan ‘ … dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang Allah menjadikan kamu menguasainya[7] ….” Penulis kitab Al Kasysyaf menafsirkan kata “mustakhlafína” (kamu menguasainya) dengan menyatakan bahwa harta bukan milik manusia sedangkan manusia hanyalah wakil Allah dengan demikian manusia terikat dengan kemauan Allah[8]. Dalam penafsiran yang lebih luas dapat dikatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan mutlak ketika membelanjakan harta ataupun dalam berusaha. Semua kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, distribusi, sirkulasi) harus merujuk pada kemauan Allah.
Demikianlah bahwa semua kegiatan ekonomi Islam terdiri dari 4 sendi utama yaitu:
1. Sistem ekonomi bercirikan ketuhanan
2. Sistem ekonomi berlandaskan etika
3. Sistem ekonomi bercirikan kemanusiaan
4. Ekonomi Islam bersifat pertengahan (keseimbangan dan keadilan)[9].
Sistem ekonomi Islam bersifat ketuhanan artinya bahwa segala kegiatan ekonomi selalu bertitik tolak dari Allah dan bertujuan akhir kapada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah. Pada dasarnya pernyataan moralitas di atas tidak hanya mendasari kegiatan ekonomi saja, tetapi menjadi landasan bagi seluruh aspek kehidupan masnusia Islam. “Bertitik tolak dari Allah dan bertujuan kepada Allah” merupakan inti akidah. Dengan demikian kegiatan ekonomi setiap muslim selalu berlandaskan akidah. Aktifitas ekonomi hanya dinilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kembali kepada Allah
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# Zwqä9sŒ (#qà±øB$$sù Îû $pkÈ:Ï.$uZtB (#qè=ä.ur `ÏB ¾ÏmÏ%øÍh ( Ïmøs9Î)ur âqà±Y9$# ÇÊÎÈ
15. Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan [10].
Jadi ketika melakukan aktifitas ekonomi seorang muslim menyadari bahwa yang ia kerjakan adalah ibadah karena Allah.
Sistem ekonomi berlandaskan etika artinya bahwa semua kegiatan ekonomi terikat dengan akhlak Islam. Hal ini berarti bahwa setiap muslim tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya ketika berbisnis atau dalam mebelanjakan hartanya. Segala kegiatan ekonomi selalu mempertimbangkan baik dan buruk menurut moralitas Islam. Dengan demikian setiap muslim terhindar dari perilaku menghalalkan segala cara dalam melakukan kegiatan ekonominya.
Sistem ekonomi bercirikan kemanusiaan memiliki pengertian bahwa tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan manusia yang sejahtera (tercukupi segala kebutuhan hidup jasmani dan rohani). Namun demikian Al Qur’an memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya memperlakukan harta dan kenikmatan dunia tersebut .
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ (#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ šcqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ
87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
88. dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya[11].
Sistem ekonomi Islam bersifat pertengahan (keseimbangan yang adil) mengandung pengertian bahwa segala kegiatan ekonomi dan kebijakan ekonomi mengakui dan mempertimbangkan hak-hak individu dan masyarakat. Islam tidak menzalimi masyarakat seperti kecenderungan yang terjadi pada kapitalis yang mementingkan indiviudualisme. Juga tidak menzalimi hak individu seperti kecenderungan yang terjadi pada komunisme dan sosialisme. Kontrak bisnis dan jual beli dalam ekononomi Islam juga mempertimbangkan faktor keseimbangan yang adil antara pembuat kontrak dan antara penjual dan pembeli sehingga tidak ada yang dirugikan. Terkait dengan kegiatan bisnis Islam, 4 sendi ekonomi Islam tersebut di atas senantiasa melandasi setiap penetapan hukum bisnis dan perilaku bisnis.
Jika bisnis diberi pengertian sebagai kemampuan mengelola modal (uang, barang, jasa), maka bisnis merupakan bagian dari sirkulasi. Sirkulasi adalah pendayagunaan barang dan jasa melalui kegiatan jual beli dan simpan pinjam baik sebagai sara perdagangan ataupun tukar menukar barang[12].
Etika yang mendasari sirkulasi diantaranya adalah:
1. Menegakka larangan memperdagangkan barang-barang yang diharamkan
2. Bersikap benar, amanah dan jujur
3. Menegakkan keadilan dan mengharamkan bunga
4. Menerapkan kasih sayang dan mengharamkan monopoli
5. Menegakkan toleransi dan persaudaraan
6. Berpegang pada prinsip bahwa perdagangan adalah bekal menuju akhirat
Semua komoditi dapat dipedagangkan dalam bisnis kecuali barang-barang yang haram. Barang-barang yang haram tersebut bukan hanya barang-barang yang mengandung khamar saja tetapi juga segala jenis komoditi yang merusak kesehatan seperti makanan dan minuman kedaluarsa, obat dan bahan kimia yang membahayakan dan segala produk (barang, jasa dan media informasi) yang merusak jiwa dan kepribadian.
Seorang wirausaha muslim hendaknya memiliki karakter benar (lurus), amanat dan jujur. Di dalam hadist dinyatakan “Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para nabi, orang-orang yang benar (shididiqin) dan para syuhada”.[13]. Sedangkan tentang sifat jujur (setia) dinyatakan”Muslim itu adalah saudara muslim. Tidak boleh bagi seorang muslim, apabila ia berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat , kecuali diterangkannya” [14].
Menurut Islam adil adalah aspek yang paling utama dalam seluruh aspek perekonomian Islam. Dalam melakukan kegiatan ekonomi seperti dalam menentukan kebijakan, kontrak kerja, jual beli, simpan pinjam, sewa dan bidang jasa selalu mempertimbangkan aspek kadilan ini. Masing-masing pihak yang mengadakan kegiatan ekonomi tidak beoleh ada yang dirugikan. Karena itu Islam mengharamkan riba dan praktrek jual beli yang merugikan penjual atau pembelinya.
Pada dasartnya sifat kasih sayang itu hendaknya dimiliki oleh setiap pribadi muslim. Namun bagai wirausaha, sifat kasih sayang ini tetap masih harus terpancar sekalipun dalam praktek ekonomi yang dasarnya adalah mencari keuntungan. Dengan berlandaskan kasih sayang, wirausaha muslim terhindar dari praktek monopoli untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya, juga praktek-paktek lain seperti menimbun barang dan mengurangi timbangan.
Salah satu moral terpuji yang harus dimliki wirausaha adalah sikap toleransi dan menjauhkan praktrek eksploitasi. Pada saat ini banyak para wirausaha yang mengeksploitasi pihak-pihak tertentu yang terlibat praktrek ekonomi dengan mereka seperti eksploitasi tenaga kerja, pemberian upah dibawah harga minimum dan sebagainya. Jabir Abdullah meriwayatkan baha Nabi saw bersabda: “Allah mengasihi hambaNya yang bersikap toleran ketika membeli dan toleran ketika menuntut haknya (menagih hutang)”[15].
Wirausaha muslim senantiasa terikat dengan pernyataan “tujuan akhirnya yaitu kepada Allah”. Karena itu usaha atau praktek bisinis yang mereka lakukan senantiasa ditujukan untuk bekal menuju akhirat. Tentu saja, karena kegiatan ekonomi bagi wirausaha muslim merupakan ibadah. Jadi sekalipun seorang wirausaha sudah mendapatkan keuntungan yang banyak dari hasil usahanya ia tetap tidak melupakan Allah terutama tidak meninggalkan kewajiban sholat, zakat dan sadaqahnya. Dalam Al Qur’an disebutkan.
Îû BNqãç/ tbÏŒr& ª!$# br& yìsùöè? tŸ2õãƒur $pkŽÏù ¼çmßJó$# ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $pkŽÏù Íirßäóø9$$Î/ ÉA$|¹Fy$#ur ÇÌÏÈ ×A%y`Í žw öNÍkŽÎgù=è? ×ot»pgÏB Ÿwur ììøt/ `tã ̍ø.ÏŒ «!$# ÏQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# Ïä!$tGƒÎ)ur Ío4qx.¨9$# tbqèù$sƒs $YBöqtƒ Ü=¯=s)tGs? ÏmŠÏù ÛUqè=à)ø9$# ㍻|Áö/F{$#ur ÇÌÐÈ
36. Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
37. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang[16].

C. Hukum Bisnis Islam Dalam Kerangka Hukum Islam

Saat ini banyak praktek ekonomi atau lembaga ekonomi yang memakai istilah syari’ah dalam menyebutkan jenis kegiatan atau lembaga ekonominya seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah dan sebagainya. Sebenarnya apakah pengertian dari syari’ah itu? Syari’ah secara etimologis berarti “jalan tempat keluarnya air untuk diminum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Menurut Manna’ Al Qathan syari’ah berarti segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah[17]. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam , baik yang ditetapkan langsung oleh Al Qur’an dan Sunnah maupun yang telah dicampur oleh pemikiran manusia[18]. Produk –produk pemikiran itulah yang disebut dengan fiqh.
Mengapa harus ada campur tangan manusia dalam merumuskan syari’at Islam? Hukum Allah dalam Al Qur’an terbagi dalam dua bagian yaitu yang terang (muhkam) dan yang mutasyabih (samar). Hukum mutasyabih yang ditemukan oleh ummat Islam di zaman Rasulallah telah dijelaskan lewat Sunnah. Namun penjelasan nabi tersebut terkait dengan dimensi kultur, situasi, kondisi, waktu dan tempat saat itu sehingga penjelasan Sunnah tersebut harus dilanjutkan melalui pengkajian dan penelitian i.
Perkembangan ekonomi Islam baik dalam wacana maupun dalam praktek terus berkembang. Praktek-praktek ekonomi terus berkembang lebih kompleks dan beragam. Pada tahap inilah sangat diperlukan agar praktek ekonomi tetap sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam wacana kelimuan di dunia akademik kini lebih banyak diperkenalkan istilah ekonomi Islam daripada istilah fiqh muamalah dan lebih banyak memakai istilah hukum Islam disbanding istilah syari’at Islam. Pengistilahan yang banyak terpengaruh oleh bahasa keilmuan Barat ini sekaligus menunjukkan keharusan pengkajian ulang fiqh muamalah kedalam bentuk ekonomi Islam kontemporer. Secara implisit perbedaan istilah yang dikaitkan dengan dimensi waktu ini memberi kesan bahwa diperlukan banyak usaha agar syari’at Islam tetap aktual dan praktek ekonomi tetap dalam bingkai syari’at.
Akan halnya ekonomi Islam, dalil-dalil nomatif yang tercantum dalam Al Qur’an dan Sunnah ternyata mengandung aspek-aspek positif. Hal ini bukan berarti bahwa aspek-aspek positif dan normative tidak dapat dibedakan sama sekali. Pada awalnya aturan mengenai perilaku ekonomi yang islami ditetapkan oleh Al Qur’an. Jadi secara etik al Qur’an mengatur perilaku ekonomi dalam bidang produksi, konsumsi, distribusi dan sirkulasi.
Setelah Al Qur’an, Sunnah merupakan aturan kedua yang mengatur perilaku manusia. Sunnah adalah praktek-praktek yang dicontohkan oleh Rasulallah saw, serta ucapan-ucapannya (hadist). Keterangan-keterangan dalam sunnah memiliki formasi yang lebih operasional yang merupakan bentuk praktek dari konsep-konsep Al Qur’an. Sunnah menguraikan bagaimana tata cara zakat, bentuk kerja sama ekonomi, perdagangan, pembelanjaan harta dan sebagainya.Dalam konteks waktu, sunnah menjelaskan perilaku ekonomi masa lampau. Dengan kerangka hukum Islam yang dapat menjangkau semua dimensi waktu terdapat istilah-istilah ijma dan qiyas.
Ijma merupakan sumber hukum Islam yang ketiga yang merupakan konsensus dari mayarakat dan ulama (cendekiawan). Ijma adalah salah satu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat melakukan penalaran dalam menghadapi masyarakat luas dengan cepat dari masyarakat Islam dini sampai generasi berikutnya.
Ijma tidak hanya dimaksudkan untuk melihat kebenaran masa kini dan masa yang akan datang, tetapi juga untuk membina kebenaran masa lampau. Ijma lah yang menentukan apakah Sunnah nabi itu dan bagaimana penafsiran surah Al Qur’an yang benar. Pada masa tertentu ijma memiliki kesahihan dan daya fungsonal tinggi karena merupakan faktor paling ampuh dalam memecahkan praktek-praktek kehidupan kaum muslimin melalui potensinya dalam berasimilasi, mengubah dan menolak.
Arti penting ijma dalam hukum Islam hampir tidak dapat diragukan nilainya. Melalui saran-saran ijma bukan saja pertentangan dalam banyak hal dapat dihilangklan melainkan juga kesiapan dalam menghadapi situasi-situasi baru dengan proses analogi. Dengan demikian ijma bersifat mempersatukan agar kaum muslimin terhindar dari kesesatan (bid’ah). Namun tidak dapat dihindari bahwa terdapat persoalan-persolan kecil yang tidak dapat disepakati, tetapi para ahli agama Islam menafsirkan ini sebagai rahmat yang datangnya dari Allah. Ijma memiliki arti penting bagi masyaakat muslim dalam dunia modern. Oleh karena itu ijma merupakan sumber hukum Islam terutama untuk memperoleh seperangkat asas-asas dalam menjalankan ijtihad.
Secara teknis ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syari’at . Ijtihad merupakan proses penafsiran dan penafsirn kembali ayat-ayat yang diwahyukan dan sebagian pada deduksi analogis dan penalaran. Kehidupan dari zaman ke zaman selalu berubah dengan masalah-masalah yang lebih kompleks. Dengan proses ijtihad, hukum Islam berkembang mengikuti perubahan. Usaha ijtihad dalam hal ini amat diperlukan dalam untuk menciptakan model-model dan teori-teori yang dapat menjawab persoalan aktual tetapi dengan tetap menyelaraskan diri pada Al Qur’an dan Sunnah.
Proses ijtihad memerlukan diberikannya prioritas masing-masing hukum sesuai dengan statusnya. Dalam memecahkan suatu persoalan hukum mujtahid pertama-tama harus mencari keterangan dalam Al Qur’an dan Sunnah. Jika jawabannya tidak terdapat di dalamnya barulah ia menem[puh ijma (konsensus) masyarakat dan akhirnya harus melakukan ijtihad. Syarat penting yang harus dimiliki dalam melakukan ijtihad adalah kemampuan dan pengetahuan yang baik tentang perintah-perintah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ijtihad merupakan usaha memecahkan masalah kontemporer dengan tidak meninggalkan ketentuan Al ur’an, Sunnah dan ijma.
Qiyas merupakan usaha untuk mengembalikan atau mempersamakan suatu kejadian yang tidak ada ketentuan nash, dengan kejadian lain yang sudah ada ketentuan hukum dalam nash, karena ada illat (sebab) yang bisa diidentifikasi. Qiyas sangat diperlukan ketika perubahan banyak terjadi pada setiap zaman, seperti apakah bunga bank sama dengan riba dan sebagainya.
Dengan kerangka hukum yang lengkap Islam membuktkan dirinya sebagai agama yang bukan hanya berkutat di tataran normatif. Al Qur’an dan sunnah adalah nilai-nilai absolut yang melampaui dimensi waktu. Ijma merupakan upaya penafsiran Al Qur’an dan Sunnah dalam bentuk konsensus yang disepakati tentang suatu hukum. Adapun ijtihad dan qiyas merupakan bentuk operasional yang terikat dengan konteks waktu dan ruang yang berubah, dengan tetap berpijak pada nilai absolut (Al Qur’an dan Sunnah). Justru dengan ijtihad dan qiyas Islam memiliki kerangka hukum yang lentur (elastis) sehingga sangat responsive terhadap gejala masyarakat yang berubah-ubah.
Pada wilayah ijtihad dan qiyas diperlukan pengamatan atas gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat (termasuk gejala ekonomi). Sehingga pada tahap ini ekonomi Islam ada pada tataran positif. Walaupun demikian, bukan berarti Al Qur’an dan Sunnah semuanya bersifat normatif. Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang memberi petunjuk-petunjuk praktis dan jelas misalnya pembayaran utang piutang. Bentuk petunjuk praktis ini dapat dibedakan dengan pernyataan normatif dalam Al Qur’an, misalnya tentang sikap pertengahan dalam membelanjakan harta, konsep keadilan dalam perdagangan dan sebagainya yang semuanya memerlukan penjelasan lebih operasioanl dalam sunnah dan selanjutnya ijma, ijtihad dan qiyas. Itulah sebabnya tidak mungkin mempermasalahkan dan memilah-milah ekonomi Islam sebagai ekonomi positif atau normatif. Ekonomi Islam mencakup aspek normatif-positif secara kseluruhan.

C. Etika Dan Hukum Bisnis Islam Dalam Perilaku Wirausaha

Beberapa literatur telah banyak membahas tentang pengaruh etika terhadap perilaku ekonomi. Salah satu literatur yang paling banyak mendapat perhatian adalah tentang pengaruh etika Protestan terhadap kelompok pengusaha dan pemilik modal pada tahap perkembangan awal kapitalisme di Eropa. Weber dalam tulisannya yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalisme yang diterbitkan pada tahun 1904-1905 menjelaskan tentang peranan agama terutama etika yang menjiwai Calvinisme (salah satu sekte Protestan) terhadap perkembangan kapitalisme modern. Weber mendasari argumentasinya dengan fakta-fakta dan data statistik mengenai kaum protestan yang bergerak dalam bidang bisnis (wiraswasta). Contoh-contoh dari beberapa penelitian menunjukan bahwa kaum Protestan merupakan mayoritas dalam kalangan pemimpin bisnis, pemilik modal dan memiliki banyak buruh terlatih. Menurut Weber gejala ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh kaum Protestan terutama sekte Calvinisme. Salah satu kepercayaan Calvinisme yang berkaitan dengan perilaku ekonomi adalah kepercayaan bahwa hanya sejumlah kecil manusia akan terpilih untuk diangkat ke surga. Seorang pemeluk Protestan harus bisa menunjukkan “keterpilihan”nya itu dengan kegiatan dan keberhasilan duniawi. Jadi aspek penting dalam etika Protestan adalah bahwa makna ibadah (mengagungkan tuhan) terletak dalam kegiatan duniawi. Etika Protestan ini menumbuhkan etos kerja dikalangan kaum Protestan. Selain itu etika Protestan menganjurkan pembatasan konsumsi dan foya-foya. Etos kerja bahwa bekerja keras adalah bagian dari pengagungan terhadap Tuhan dan anjuran pembatasan konsumsi, akan menimbulkan kemauan untuk menabung (karena banyak kelebihan pendapatan). Dengan demikian alokasi kepada investasi lebih besar sehingga terkumpul modal yang semakin bertambah. Walaupun banyak kritik diajukan pada tulisan Weber, tetapi para kritisi ini tidak dapat mengesampingkan sama sekali peranan nilai keagamaan terhadap perilaku ekonomi. Menurut Giddens ajaran agama hanya salah satu dari sekian banyak perangkat pengaruh yang mungkin mempengaruhi etika ekonomi[19]. Taufik Abdullah menegaskan bahwa tesis Weber hanyalah menunjukan kemungkinan adanya hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi[20].
Penelitian yang hampir serupa dengan Weber dilakukan oleh Clifford Geertz pada tahun 1950. Dalam bukunya yang berjudul Peddlers and Princes Geertz mengungkapkan peran sentral kelas menengah muslim dalam dalam bidang wiraswasta di Mojokuto
Menurut Geertz muslim modernis di Mojokuto menganut suatu etos yang mirip dengan etos Protestan Barat. Sebagai pengusaha muslim di Mojokuto, mereka profesional, hemat dan tekun. Bidang usahanya cukup dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha Cina. Menurut pengamatan Geertz mereka mengembangkan gaya hidup tersendiri dan melaksanakan bisnis mereka dengan cara yang berbeda dari penduduk lain, sehingga makin menekan perbedaan kultural dari budaya dasar Jawa. Geertz menilai mereka mengambil bakat atau semangat berdagang bukan dari komunitas Mojokuto tetapi sebagiannya adalah dari agama. Geertz mengungkap data empiris bahwa dari tujuh toko modern dan maju di kota kecil itu, enam diantaranya dimiliki kaum muslim dan dari dua puluh empat pabrik kecil di Mojokuto, dua puluh satu diantaranya dimiliki oleh pengusaha muslim yang saleh. Dalam perkembangannya kelas pedagang yang sangat tradisional ini berkembang dengan meyakinkan menjadi pedagang-pedagang yang disegani dalam komunitas kota. Menurut pengamatan Geertz, pedagang-pedagang ini mengambil bakat atau semangat niaga mereka bukan dari komunitas Mojokuto yang lebih luas, tetapi sebagian lebih dipengaruhi oleh suatu unsur baru yaitu Islam. Jadi Islam lebih banyak mempengaruhi perilaku ekonomi (perdagangan) mereka dibanding budaya Jawa itu sendiri. Menurut Geertz kelompok pedagang masyarakat ini memiliki apa yang di Barat disebut sebagai etika Protestan yaitu, kerja keras dan hemat. Yang tidak dimiliki oleh pedagang muslim pembaru di Mojokuto ini adalah kemampuan memobilisasi modal dan kemampuan untuk membentuk lembaga – lembaga ekonomi.
Literatur lain yang membahas tentang pedagang muslim adalah buku yang berjudul The Rope of God yang ditulis oleh Siegel. Dalam bukunya, Siegel menjelaskan bahwa kelemahan yang nampak pada pedagang-pedagang Aceh adalah ketidakmampuan membentuk organisasi.
Castles dalam bukunya yang berjudul Religion, Politics and Economic Behaviour menyatakan bahwa kelas menengah santri adalah pengusaha yang gigih. Castles menekankan bahwa studinya mengenai Kudus hanyalah salah satu bukti lain bahwa di Indonesia terdapat hubungan antara perusahaan pribadi dengan kepatuhan kepada Islam. Para pengusaha dari komunitas santri ini telah berhasil menciptakan industri. Menurut Castles mereka telah berhasil menanggulangi segala gejolak dan tantangan dalam perubahan politik dan ekonomi, tetapi gagal untuk mengembangkan organisasi ekonomi yang lebih kompleks ketimbang perusahaan keluarga.
Bagaimanapun kelemahan pengusaha muslim ini nampak jelas terdapat pada ketidakmampuan mengembangkan kelembagaan ekonomi, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ajaran-ajaran Islam dengan pembentukan sikap dan perilaku pengusaha dan pedagang. Penelitian Geertz, Siegel dan Castles membuktikan adanya pengaruh nilai Islam terhadap perilaku pengusaha.
Penelitian yang dilakukan Geertz, Siegel dan Castles lebih bersifat sosiologis yaitu dengan melihat para pedagang muslim yang menempati posisi tertentu dalam stuktur social dan konteks social pada waktu itu. Penelitian-penelitian mereka juga membatasi diri pada masalah etika yang berkutat pada aspek moralitas yang menilai sesuatu dengan istilah baik dan tidak baik. Karena etika lebih filosofis, bersifat menggerakkan dan memberi semangat. Tetapi walaupun dalam penelitian-penelitian yang mereka lakukan tidak dibahas apakah pedagang muslim ini memakai pranata tersendiri dalam bertransaksi, Geertz, Siegel dan Castles menilai para pedagang muslim lemah dalam mengembangkan organisasi.
Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi. Didalam bisnis pun dikenal istilah etika bisnis. Etika bisnis disebut juga dengan moral bisnis yang memberikan sandaran dan motivasi bisnis dari aspek penilaian baik dan buruk atau ide-ide tentang kebijakan, penghormatan, keadilan dan lain-lain. Tetapi moralitas bisnis saja belum cukup untuk dapat menjalankan suatu usaha bisnis. Bisnis selalu berkaitan dengan relasi antar individu dan kontrak/ kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini tentu saja harus ada hukum yang disepakati bersama dalam berbisnis. Karena itu hukum bisnis merupakan syarat utama agar bisnis dapat berjalan lancer. Setiap perkara yang berkaitan dengan dengan bisnis akan diselesaikan dengan hukum bisnis yang berlaku.
Adapun pengertian atau hakikat bisnis adalah kemampuan mengelola perputaran uang[21]. Bisnis merupakan bentuk lahan usaha dari wirausaha. Bisnis tersebut dapat bergerak diberbagai bidang seperti jasa, produsen atau pemasaran. Tetapi inti dari bisnis itu adalah memutar uang yang ada (modal) melalui suatu lahan usaha tertentu sehingga menghasilkan keuntungan . Bisnis atau kewirausahaan dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk dapat menciptakan pekerjaan berdasarkan sumber daya yang ada[22]. Jadi dilihat dari definisi tentang hakikat bisnis dan pengertian kewirausahaan, dapat disimpulkan bahwa wirausaha itu berbeda dengan pekerja/karyawan. Pekerja melakukan kegiatannya dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan, dan dengan kontribusi tenaga dan keahliannya, ia mendapatkan gaji atau honor secara periodik. Pekerja tidak memperhitungkan resiko kegagalan dan kebangkrutan dari perusahannya. Sedangkan wirausaha lebih menekankan pada tugas-tugasnya dalam mengelola modal dan sumber daya yang ada agar mendapatkan keuntungan. Dalam berwirausaha inilah resiko kegagalan atau kebangkrutan mungkin harus diperhitungkan selain kemungkinan keuntungan yang diperoleh. Kewirausahaan juga memperhitungkan pengembangan usaha lebih lanjut, tantangan pasar dan persaingan serta kesempatan-kesempatan . Dengan tugas wirausaha yang multi dimensi inilah maka kemampuan yang seharusnya dimiliki wirausaha bukan hanya pengetahuan tetapi juga pengalaman, kreatifitas dan kepekaan dalam berbisnis. Untuk itu pembentukan mentalitas wirausaha merupakan langkah awal dalam melangkah kedunia bisnis.
Beberapa buku yang membahas tentang kewirausahaan pada umumnya mengawali pembahasannya dengan pembentukan karakter wirausaha, seperti komitmen, sifat optimis, tangguh, tekun, penuh perhitungan dan lain sebagainya. Bahkan pembahasan tentang wirausaha hampir selalu menggunakan bahasa yang persuasif dan memotivasi. Dengan demikian masalah kewirausahaan diawali dengan nilai-nilai positif yang menggerakan dan mengarahkan, yang semuanya tercakup dalam etika atau moralitas bisnis. Seorang wirausaha mungkin akan terikat oleh etika bisnis Islam. Istilah istikhlaf tidak banyak diketahui para wirausaha muslim. Tetapi pemikiran dan pemahaman istikhlaf bahwa harta adalah semata-mata milik Allah mungkin sudah ada dalam karakter seorang wirausaha muslim. Konsep istikhlaf ini kemudian menumbuhkan karakter seorang wirausaha muslim yang benar (lurus), menepati amanat dan jujur[23].Tetapi keterikatan itu tergantung pada kesadaran agama masing-masing individu. Setiap pribadi memiliki pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda menyangkut etika dan hukum. Semuanya akan dapat dilihat melalui perilaku wirausaha dalam menjalankan bisnisnya.
Ada beberapa tahap yang harus dilalui wirausaha muslim untuk dapat berperilaku sesuai dengan etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam yaitu, pertama, apakah wirausaha muslim yang bersangkutan memiliki pengetahuan (knowledge) tentang etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam? Kedua apakah etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam yang ia ketahui itu dapat dipercayai sebagai sesuatu yang baik dan ingin ia lakukan? Ketiga bagaimana penjiwaan (internalisasi) dari etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam yang ia percayai tersebut? Keempat bagaimana ia mengimplementasikan etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam dalam bentuk perilaku. Tahap-tahap yang harus dilalui oleh setiap wirausaha muslim agar dapat berperilaku sesuai etika bisnis Islam ini dan hukum bisnis Islam pada dasarnya lebih menunjukan pada pembentukan sikap.
Sikap merupakan suatu sistem atau interelasi antara komponen-komponen sikap, yang terdiri dari tiga komponen yaitu :
1. Komponen kognisi yang hubungannya dengan belief, ide dan konsep
2. Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang
3. Komponen konasi yang merupakan kecenderungan berperilaku[24].
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kumpulan berfikir, keyakinan dan pengetahuan (komponen kognisi) yang memiliki evaluasi negatif maupun positif terhadap obyek yang disebabkan komponen afeksi. Selanjutnya pengetahuan (kognisi) dan perasaan (afeksi) yang merupakan kluster dalam sikap akan menghasilkan perilaku tertentu. Sikap ini relatif konstan dan agak sukar berubah kecuali karena adanya tekanan-tekanan yang cukup kuat dan melalui proses tertentu.
Jika etika bisnis Islam dan hukum bisnis Islam sudah menjadi sikap wirausaha muslim maka akan terwujud dalam perilaku. Tetapi pada kenyataanya perilaku tidak selalu konsisten dengan sikap. Ada beberapa faktor lingkungan yang turut mempengaruhi konsistensi antara sikap dan perilaku ini. Apakah lingkungan bisnis di Indonesia dapat mendukung konsistensi sikap wirausaha muslim dengan perilaku bisnisnya? Dari akhir tahun 80 an hingga sekarang, penataan di bidang usaha ekonomi syair’ah di Indonesia terus dilakukan. Kegiatan usaha yang dilakukan di bidang ekonomi syari’ah diantaranya bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah dan bisnis syari’ah[25]. Yang menjadi masalah adalah belum tersedianya kompilasi hukum ekonomi syari’ah sehingga belum ada rujukan untuk memutuskan perkara. Urgensi pembentukan kompilasi hukum ekonomi syari’ah juga karena fiqh muamalah ini sangat beragam dan lebih terbuka bagi ijtihad. Hal ini dapat menimbulkan berbagai pendapat[26].
Berbeda dengan perbankan syari’ah dan asuransi syari’ah yang sudah tersosialisasi dengan baik, usaha bisnis syari’ah belum banyak dikenal oleh masyarakat. Karena itu apabila ada wirausaha yang berusaha untuk berbisnis secara islami rujukannya baru terbatas pada fiqh muamalah. Yang menjadi masalah adalah apabila ada usaha-usaha atau kasus-kasus bisnis yang lebih kompleks, yang secara hukum membutuhkan penafsiran melalui ijtihad dan qiyas. Lingkungan bisnis seperti inilah yang tidak mendukung wirausaha untuk konsisten dengan etika atau moralitas bisnis yang diyakini.
Lahirnya Undang-undang no 3 tahun 2006 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah merupakan kemajuan satu tahap dalam aplikasi hukum Islam di Indonesia. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah rujukan para hakim dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah belum tersedia dalam bentuk kompilasi hukum ekonomi syari’ah sebagaimana terdapat pada hukum perkawinan, warisan, waqaf, wasiat dan hibah. Selama ini penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga keuangan syari’ah mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek) yaitu kitab undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordinasi keberlakuannya di tanah jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854. Dalam kenyataan yang demikian berarti konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek dan formalitas hukum di masyarakat. Jika terjadi perselisihan maka pihak yang besengketa dapat memilih penyelesaiannya melalui lembaga Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase syari’ah.
Tuntutan terbentuknya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah bukan hanya disebabkan Pengadilan Agama kini berwenang menangani kasus-kasus hukum ekonomi syar’ah tetapi lebih dari itu masyarakat sudah sangat membutuhkan kepastian hukum dalam kontrak bisnis syari’ah. Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dapat merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat pada zaman kekhalifahan Turki Usmani yang tentu saja disesuaikan dengan aktivitas ekonomi di zaman modern ini.
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah harus menggunakan ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh dan falsaha hukum Islam. Disiplin ilmu fiqh ini adalah metodologi yurisprudensi Islam yang mutlak diperlukan mujtahid. Para ulama, pakar dan praktisi ekonomi syari’ah merumuskan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut dengan berijtihad secara kolektif (ijtihad jama’iy).
Dengan mengacu pada fiqh muamalah dan dengan penyesuaian terhdap praktek-praktek bisnis modern yang lebih kompleks maka binis Islam memiliki perangkat aturannya sendiri dalam beberapa bentuk usaha bisnis atau kontrak bisnis, diantaranya:
Perseroan (syirkah), Jaminan (hiwalah), Kontrak persewaan (ijazah), Kontrak wadi’ah dan asuransi, Kaitan asuransi dengan akad kafalah[27]. Jadi walaupun wirausaha muslim mengetahui dan mempercayai usaha bisnis Islam, bukan menjadi jaminan ia dapat melakukan praktek bisnis Islami sesuai etika dan hukum Islam. Hambatannya antar lain karena faktor lingkungan yang dalam hal ini menyangkut aspek konsep dan pelaksanaan hukum bisnis Islam di Indonesia. Apalagi kondisi faktual menggambarkan bahwa sosialisasi tentang usaha bisnis syari’ah sangat kurang di masyarakat.

D. Kesimpulan

Pada dasarnya kerangka hukum Islam selalu siap menghadapi perubahan dalam segala kehidupan. Dari aspek etis sampai kepada aturan yang lebih operasional syari’at Islam memungkinkan untuk tetap aktual. Tetapi hal ini tidak akan berjalan dengan baik apabila ummat Islam tidak memanfaatkan elastisitas hukum Islam dalam merespon kehidupan ekonomi, politik dan soial yang sedang terjadi. Sifat elastis dari hukum Islam itu sendiri memungkinkan syari’at Islam selalu dapat fungsional bagi kehidupan ummat Islam secara keseluruhan. Akan halnya dengan kegiatan bisnis Islam, perlu usaha-usaha ijtihad lebih lanjut agar wirausaha muslim dapat melakukan kegiatan ekonominya sesuai dengan syari’at Islam. Para akademisi dan ahli hukum Islam tidak boleh berhenti dalam mengkaji kondisi kekinian untuk kembali dirujukkan dengan syari’at melalui usaha ijtihad yang nantinya melahirkan hukum hukum Islam yang mutakhir.

No comments:

Post a Comment