Friday 4 November 2011

RELEVANSI ANTARA POSITIVISME HUKUM, TEORI SISTEM DAN DOGMATIK HUKUM

Telah Dimuat pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 5. No. 1 Januari-Juni 2011

            Abstrak
Tulisan ini membahas tentang hubungan antara filsafat hukum, teori hukum dan dogmatik hukum. Filsafat hukum berawal dari pemikiran filsafati yang bersifat spekulatif. Ia bersandar pada sebuah ide tentang bagaimana hukum yang adil berdasarkan sebuah perenungan. Teori hukum ada pada tataran ilmiah dimana keadilan dinterpretasikan bersandarkan fata-fakta atau fenomena yang kemudian dalam metodologi tertentu dirumuskan tentang bagaimana hukum yang adil tersebut. Jadi teori hukum bersifat obyektif positif. Sedangkan dogmatik hukum atau ajaran hukum mempelajari tentang deskripsi sebuah hukum positif dan bersifat preskriptif (nomatif) karena keadilan hukum ditafsirkan sesuai dengan sebuah ideologi yang dianut. Tulisan ini berusaha menganalisis tentang bagaimana sebuah aliran filsafat memiliki relevansi dengan sebuah teori hukum dan dogmatik hukum tertentu.
Aliran positivisme hukum dalam filsafat hukum memiliki relevansi dengan teori sistem dalam teori hukum. Sedangkan teori sistem yang memiliki kesesuaian dengan positivisme hukum adalah sistem Hukum Sipil (Civil Law) atau hukum Eropa Kontinental. Relevansi ini kemudian dihubungkan dengan sistem hukum Indonesia yang merupakan dogmatik hukum yang bersumber dari sistem hukum sipil dan dengan demikian bersumber dari pemikiran filsafat positivisme hukum.
Kata Kunci: Positivisme Hukum, Teori Sistem, Dogmatik Hukum

A. Pendahuluan

Salah satu aliran filsafat hukum yang dapat menganalisis asas-asas hukum suatu peraturan adalah aliran hukum positif atau aliran positivisme hukum. Positivisme hukum mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang[1]. Bagi positivisme hukum, validitas hukum dan keadilan keduanya selalu dikembalikan pada penetapan hukum positif yang diberlakukan oleh sebuah otoritas politik. Jadi jelaslah bahwa pengertian dari hukum positif adalah seperangkat aturan atau kebiasaan yang oleh legislator ditetapkan atau disahkan sebagai hukum yang berlaku. Aliran potivisme hukum berpendapat bahwa hal yang paling utama adalah hukum positif.
Ilmu yang memaparkan tentang hukum positif adalah Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek), juga sering disebut Ilmu Hukum (rechtwetenschap) dalam arti sempit, yang bertujuan untuk memaparkan dan mensistematis serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku[2].Walaupun demikian Dogmatik Hukum bukanlah ilmu netral yang bebas nilai karena hukum itu memiliki saling keterkaitan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Jadi Ajaran Hukum atau Dogmatik Hukum tidak semata-mata mambatasi diri pada satu pemaparan dan sistematisasi tetapi juga dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptif melainkan juga preskriptif (bersifat normatif). Konsep Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek) dijadikan middle theory dalam penelitian ini.
Teori sistem didukung oleh tiga argumen yaitu bahwa hukum sebagai suatu sistem dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu sekarang, perilaku sistem itu ditentukan sepenuhnya oleh bagian-bagian yang terkecil dari sistem dan teori hukum mampu menjelaskan persoalannya sebagaimana adanya. Teori sistem merupakan salah satu pendekatan dalam dari teori hukum. Teori hukum berangkat dari pengamatan terhadap realitas sosial (gejala hukum dalam masyarakat) dan kemudian menterjemahkan tentang hukum yang adil dan bijaksana tersebut dalam konsep-konsep yang dapat diuji secara ilmiah. Teori hukum pada kriteria ilmiah yang bersifat positif, obyektif dan rasional serta membatasi diri pada wilayah deskriptif . Beberapa pandangan positivistik pada dasarnya berada pada jalur teori sistem[3]. Pandangan positivisme hukum tentang pentingnya undang-undang yang disahkan oleh penguasa merupakan pemahaman bahwa hukum merupakan sebuah sistem.

B. Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

1. Filsafat Hukum

Keistimewaan manusia dari mahluk lainnya adalah bahwa ia tidak bergerak semata-mata dengan naluri. Manusia dikarunia akal budi yang dengan instrumen tersebut kehidupan manusia terus berkembang semakin cerdas dalam mengatasi kehidupannya. Pertanyaan awal dari akal budi manusia adalah tentang hakekat kehidupan. Pertanyaan tentang apa kehidupan itu dan harus bagaimana manusia dalam kehidupan menimbulkan kegiatan pengembaraan berfikir yang disebut dengan filsafat. Plato berpendapat bahwa julukan “mahluk bijak” (sophos) terlalu luhur untuk seorang manusia, karena kata itu hanya pantas untuk dewa. Bagi Plato lebih baik manusia dijuluki sebagai pecinta kebijakan atau philosophos[4]. Secara etimologis filsafat berasal dari kata philo dan sophia yang berarti mencintai kebijakan. Jadi awal mula pencarian manusia akan eksistensi dirinya dalam kehidupan ini pada hakekatnya adalah pencarian akan kehidupan yang penuh kebijaksanaan.
Dikatakan bahwa filsafat adalah induk dari semua pengetahuan. Karena semua ilmu pengetahuan bermula dari pertanyaan-pertanyaan yang filsafati. Pertanyaan manusia akan gejala alam menimbulkan ilmu pengetahuan alam seperti fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya. Sedangkan pertanyaan manusia akan kehidupan antar manusia itu sendiri menimbulkan ilmu pengetahuan sosial seperti psikologi, hukum, sosiologi dan lain-lain.
Interaksi antar individu dan kelompok dalam kehidupan sosial seringkali menimbulkan konflik satu sama lain karena perbedaan kepentingan dan tujuan. Kesadaran manusia akan pentingnya harmonisasi dalam kehidupan sosial dengan sendirinya membuat manusia sadar akan sebuah pentingnya sebuah aturan yang disepakati bersama. Aturan-aturan yang dipatuhi bersama inilah yang kemudian akan menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat. Aturan yang ditegakkan dalam suatu kehidupan bermasyarakat itu haruslah memenuhi perasaan adil dan bijaksana yang merupakan cita-cita semua manusia. Dari landasan filosofis seperti inilah pemikiran tentang filsafat hukum bermula.
Filsafat hukum yang diterjemahkan dari kata Jurisprudence (sebenarnya harus ditulis Iurisprudence) merupakan kata dari bahasa Latin yang terdiri dari kata Iuris atau Ius yang diterjemahkan sebagai Adil. Sedangkan Prudence berarti kebijaksanaan dalam artian pemahaman akan praksis kehidupan (kearifan dalam laku). Prudence memiliki arti kebijaksanaan yang tertinggi. Dengan mengacu dari asal katanya maka makna dari Jurisprudence adalah praksis hidup yang adil dan benar[5]. Jadi Jurisprudence adalah filsafat, tetapi filsafat yang mengarahkan seseorang untuk menjadi arif (prudens) dalam praksis hidupnya yang faktanya hukum hidup dalam praksis hidup tersebut. Filsafat hukum sebagai sebuah filsafat praksis mencoba menjawab pertanyaan dalam dimensi laku “apa yang harus dilakukan”.
Secara historis, filsafat hukum pada mulanya dipelajari dalam permenungan-permenungan yang sifatnya abstrak. Permenungan filosofis ini dirintis oleh filsafat Yunanai Kuno seperti Aristoteles dan Plato. Namun semenjak menguatnya pengaruh kekuasaan bangsa Romawi yang menyebarluaskan teks-teks hukum ke seluruh penjuru Eropa studi tentang hukum mulai mengalami perubahan. Sekolah-sekolah hukum mulai dibentuk untuk menciptakan ahli-ahli hukum yang mampu membuat aturan dan menyelesaikan sengketa hukum. Perubahan yang paling mencolok adalah bahwa hukum tidak lagi dikaji sebagai permenungan reflektif, karena hukum dilihat sebagai kerangka yang lebih praktis. Hukum tidak lagi bersifat abstrak tetapi menjadi lebih konkrit dalam kodeks (kitab hukum).
Filsafat sering dipersepsi sebagai sebuah teori umum tentang sesuatu, khususnya tentang bagaimana memperoleh pengertian yang luas tentang sesuatu tersebut. Padahal secara etimologis kata filsafat dan teori mempunyai pengertian yang berbeda. Filsafat yang memiliki akar kata philo dan sophia memiliki makna mencintai kebijaksanaan. Sedangkan teori berasal dari kata theoros yang berarti pengamatan. Penggunaan teori sangat dekat dengan metode ilmiah yang menunjukkan suatu kerja yang memerlukan akurasi data dan verifikasi atas kesimpulan yang diambil. Adapun filsafat sangat dekat dengan kegiatan refleksi dan kontemplasi yang berkesan memunculkan masalah dan mempertanyakan segala sesuatu.

2. Teori Hukum

Tentang hubungan antara filsafat hukum dengan teori hukum Radbruch menjelaskan bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi[6]. Dalam konteks ini sulit untuk membedakan antara filsafat hukum dengan teori hukum karena teori hukum juga mempermasalahkan tentang mengapa hukum berlaku? Apa dasar kekuatan mengikatnya? Apa yang menjadi tujuan hukum? Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami? Apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil? Letak perbedaan antara filsafat hukum dan teori hukum adalah bahwa filsafat hukum secara esensial mewujudkan pemikiran spekulatif sedangkan teori hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum. Jadi teori hukum itu rasional atas dasar kriteria umum yang diterima oleh setiap orang. Sedangkan sebagaimana filsafat pada umumnya, filsafat hukum berawal dari sebuah permenungan tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang adil dan bijaksana. Teori hukum berangkat dari pengamatan terhadap realitas sosial dan kemudian menterjemahkan tentang hukum yang adil dan bijaksana tersebut dalam konsep-konsep yang dapat diuji secara ilmiah. Dalam kerangka yang demikianlah kemudian teori hukum mempertemukan antara nilai-nilai filosofis-kontemplatif dengan realitas kehidupan yang bersifat positif-ilmiah tentang keadilan dan kebijaksanaan. Karena itulah beberapa aliran teori hukum juga mengandung pembahasan yang mengarah pada filsafat hukum karena selain mengungkapkan konsep-konsep pemikiran ilmiah tentang hukum juga mencakup tentang pembahasan filosofis tentang hukum tersebut, artinya ada kajian filosofis di dalam teori hukum[7].

3. Dogmatik Hukum

Teori hukum berbeda dengan apa yang dipahami tentang hukum positif. Yang memaparkan tentang hukum positif adalah Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek), juga sering disebut Ilmu Hukum (rechtwetenschap) dalam arti sempit, yang bertujuan untuk memaparkan dan mensistematis serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku[8].Walaupun demikian Dogmatik Hukum bukanlah ilmu netral yang bebas nilai karena hukum itu memiliki saling keterkaitan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Jadi Ajaran Hukum atau Dogmatik Hukum tidak semata-mata mambatasi diri pada satu pemaparan dan sistematisasi tetapi juga dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptif melainkan juga preskriptif (bersifat normatif). Sedangkan teori hukum yang bersandar pada kriteria ilmiah yang harus bersifat positif, obyektif dan rasional tentu saja membatasi diri pada wilayah deskriptif saja. Dengan demikian, dogmatik hukum dan teori hukum tidak saling tumpang tindih, tetapi memiliki telaahnya masing-masing yaitu:
a. Dogmatika Hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan reflreksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatika hukum berbicara tentang hukum. Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
c. Dogmatika hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkret, maka Teori Hukum mengajukan pertanyaan tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasi dan sejenisnya lagi[9].

4. Keterkaitan Antara Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Hukum

Pada dasarnya filsafat hukum, teori hukum maupun dogmatik hukum pada derajat tertentu berkaitan dengan nilai karena semuanya berbicara masalah keadilan. Keadilan dalam filsafat hukum lebih bersifat kontemplatif dan etis dimana keadilan merupakan keinginan setiap nurani manusia. Sedangkan keadilan dalam teori hukum lebih bersifat obyektif logis positif dimana hukum dianggap sebagai sebuah fenomena sosial (faktual, apa adanya) dan bukan yang seharusnya serta menganalisis tentang bagaimana hukum yang benar itu sehingga bisa menciptakan masyarakat yang integratif dan stabil. Dogmatik hukum bersifat preskriptif karena sebagai deskripsi suatu hukum positif ia sangat berkaitan dengan ideologi suatu negara misalnya tentang hukum positif di Indonesia selalu memiliki keterkaitan erat dengan penafsiran tentang keadilan menurut ideologi Pancasila.
Filsafat hukum adalah meta teori dari teori hukum dan meta teori dari dogmatik hukum dan juga merupakan refleksi dari hukum dan keadilan, sedangkan teori hukum merupakan meta teori dari dogmatik hukum yang mempersoalkan ajaran ilmu dari dogmatik hukum[10]. Teori hukum juga menelaah pengertian hukum dan pengertian-pengertian dalam hukum, metodologi hukum yang menyangkut metedologi pembentukan hukum dan metodologi penerapan hukum.
Nilai fungsional dan kedudukan filsafat hukum dalam dunia hukum adalah bahwa filsafat hukum menganalisis asas-asas hukum dari suatu peraturan sehingga tujuan hukum tercapai yaitu untuk perbaikan dalam kehidupan manusia[11]. Dari uraian terdahulu dan pernyataan di atas dapatlah disimpulkan bahwa ada pola melingkar dalam usaha manusia menemukan keadilan demi kehidupan masyarakat yang integratif dan seimbang yaitu; dari perenungan filosofis tentang hukum, kepada usaha ilmiah untuk menetapkan metodologi hukum dalam teori hukum, kemudian kepada penciptaan peraturan hukum dalam dogmatik hukum dan pada akhirnya dianalisis dalam perspektif filsafat hukum untuk mengembalikannnya kepada hakekat keadilan.

C. Relevansi Antara Positivisme Hukum, Teori Hukum dan Hukum Positif

Salah satu aliran filsafat hukum yang dapat menganalisis asas-asas hukum suatu peraturan adalah aliran hukum positif atau aliran positivisme hukum. Positivisme hukum mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang[12]. Positivisme hukum berpendapat bahwa hal yang utama dalam melihat hukum adalah fakta bahwa hukum itu diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas hukum bersumber dari pada kewenangan tersebut. Secara lebih lengkap positivisme hukum berpendapat bahwa hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari kewenangan yang formal dan informal dari lembaga yang berwenang untuk itu atau lembaga pemerintahan yang tertinggi, dalam sebuah komunitas politik yang independen[13]. Aliran positivisme hukum mendefinisikan hukum sebagai perintah yang berasal dari seorang penguasa dan ditujukan kepada semua warga masyarakat politik (negara) yang merdeka. Perintah ini memuat tujuan dan kekuatan untuk mengenakan sanksi bagi mereka yang melanggar atau melawannya. Bagi positivisme hukum, validitas hukum dan keadilan keduanya selalu dikembalikan pada penetapan hukum positif yang diberlakukan oleh sebuah otoritas politik. Fungsi legislatif negara adalah menciptakan macam-macam hak bagi setiap person warganya. Pemberlakuan hukum tidak pernah dimaksudkan untuk mengakui hak-hak warga negara, melainkan untuk menciptakan hak-hak tersebut yang disesuaikan dengan patokan atau “standar” politis yang berlaku pada masa tertentu. Dalam konsep ini seorang legislator atau penguasa memiliki kewenangan untuk menjadikan manusia sebagai “hamba” sebuah sistem dengan segala konsekuensi yang terjadi. Masyarakat di luar negara, termasuk juga keluarga semuanya diabdikan kepada negara, karena negara adalah satu-satunya sumber hukum dan semua jenis hak[14]. Menurut positivisme hukum , satu-satunya hukum yang dapat diketahui dan dianalisis adalah hukum positif, baik yang berbantuk statuta atau kebiasaan yang diterima umum maupun yang diberlakukan saat ini atau sudah ditetapkan sebelumnya, yang hanya diakui jika ditetapkan oleh seseorang atau beberapa orang dengan maksud untuk mencapai suatu tata sosial khusus[15]. Jadi jelaslah bahwa pengertian dari hukum positif adalah seperangkat aturan atau kebiasaan yang oleh legislator ditetapkan atau disahkan sebagai hukum yang berlaku. Aliran potivisme hukum berpendapat bahwa hal yang paling utama adalah hukum positif. Positivisme hukum pada dasarnya tidak hanya merupakan sebuah aliran dari filsafat hukum yang bersifat spekulatif dan kontemplatif, tetapi juga merupakan bagian dari teori hukum karena positivisme hukum juga membahas secara metodologis obyektif tentang apa itu hukum. Teori hukum tidak berada pada wilayah kontemplatif spekulatif dalam menafsirkan kebijaksanaan dan keadilan, tetapi mencoba memberikan argumentasi secara ilmiah dengan cara mereferensi pada hal-hal yang empiris dan berupa analisa akan fakta sosial yang obyektif. Pada umumnya timbulnya teori merupakan hasil dari pengamatan suatu fenomena yang kemudian ditemukan sebuah pola tetap yang hal itu kemudian menghasilkan teori. Demikianlah aliran positivisme hukum berpendapat bahwa hukum adalah fenomena sosial yang khusus dibandingkan dengan fenomena-fenomena sosial yang lainnya, yang hanya dapat dibentuk, diadakan dan diterapkan dalam ruang lingkup tertentu. Menurut positivisme hukum, pertanyaan ”apa yang disebut hukum?” dapat ditelaah dalam dua pertanyaan yaitu “apa hukum itu?” dan “apa hukum yang baik itu?”. Pertanyaan tentang “apa hukum itu?” merupakan pertanyaan yang menyangkut sebuah usaha untuk menerangkan hukum secara faktual yang ada dalam masyarakat manusia, juga untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik dasar, struktur dasar dan prosedur-prosedur serta prinsip-prinsip yang mendasari sebuah hukum. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu saja diperlukan alat analisis yang merupakan bagian dari metodologi suatu pengetahuan ilmiah. Sedangkan tentang pertanyaan “apa hukum yang baik itu?” merupakan pertanyaan yang bersifat normatif. Ada evaluasi terhadap hukum yang ada. Evaluasi ini didasarkan pada terminologi nilai baik dan buruk yang seyogyanya dicapai oleh hukum yang baik itu. Menurut positivisme hukum, hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi tujuan yang ingin dicapai dari adanya hukum dan juga hukum yang secara prosedural normatif memenuhi terciptanya sebuah hukum.
Dari sekian banyak teori hukum yang ada terdapat dua karakteristik besar atau dua pandangan besar dari teori hukum tersebut apabila dilihat dari pendekatannya[16]. Pertama pandangan yang disebut dengan teori sistem, yang didukung oleh tiga argumen yaitu bahwa hukum sebagai suatu sistem dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu sekarang, perilaku sistem itu ditentukan sepenuhnya oleh bagian-bagian yang terkecil dari sistem itu dan teori hukum mampu menjelaskan persoalannya sebagaimana adanya. Pandangan kedua berpendapat bahwa hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur tetapi merupakan suatu keterkaitan dengan ketidak-beraturan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi orang dalam memaknai hukum.
Beberapa pandangan positivistik pada dasarnya berada pada jalur teori sistem[17]. Pandangan positivisme hukum tentang pentingnya undang-undang yang disahkan oleh penguasa merupakan pemahaman bahwa hukum merupakan sebuah sistem. Sitem hukum (legal system) sendiri terdiri dari tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum. Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya yang mencakup kepolisian (dengan para polisiny), kejaksaan (dengan para jaksanya), kantor-kantor pengacara (dengan oara pengacaranya) dan pengadilan (dengan para hakimnya). Substansi adalah keseluruhan asas hukum, norma hukum dan aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Sedangkan kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak dari para penegak hukum dan warga masyarakat.
Dalam konteks teori sistem, sistem hukum yang dianut oleh beberapa negara terbagi dalam 2 aliran besar yaitu sistem hukum Anglo Saxon (Common Law) dan sistem hukum Eropa Kontinental atau Hukum Sipil (Civil Law)[18]. Sistem hukum Anglo Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru dan Afrika Selatan. Sistem hukum sipil atau yang biasa dikenal dengan Romano-Germanic Legal Sistem merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Ciri khusus dari sistem hukum sipil adalah mementingkan penggunaan aturan-aturan yang sifatnya tertulis. Ciri khusus ini nampak dipengaruhi oleh cara pandang positivistik dari filsafat dan teori hukum positivisme yang menyatakan bahwa hukum adalah undang-undang yang disahkan oleh penguasa atau legislator. Sistem hukum ini berkembang di daratan Eropa dan negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia yang merupakan jajahan Belanda. Sistem hukum civil (civil law) atau dikenal juga dengan sistem hukum Eropa Kontinental merupakan suatu sistem hukum yang dicirikan dengan adanya berbagai ketentuan-ketentuan yang dikodifikasikan secara sistematis yang kemudian ditafsirkan hakim.
Sistem hukum sipil yang menyusun hukum dalam bentuk kodifikasi ini secara umum dibagi menjadi dua. Pertama, hukum publik yaitu negara dianggap sebagai subyek/ obyek hukum. Kedua, hukum privat yaitu negara bertindak sebagai wasit dalam persidangan. Aturan-aturan yang digunakan dala sitem hukum sipil secara berurutan adalah pertama undang-undang, kedua kebiasaan ketiga, yurisprudensi dan keempat adalah perjanjian (trata).
Terdapat keterkaitan antara positivisme hukum (sebagai filsafat dan sebagai teori) dengan teori sistem (dalam grand teori) serta pandangan-pandangan yang ada dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) yaitu pandangan-pandangan yang menyatakan tentang pentingnya hukum untuk dibuat dan disahkan oleh penguasa atau legislator. Pengesahan hukum oleh penguasa berarti pula hukum itu harus berbentuk tertulis. Kodifikasi hukum dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) memiliki kesesuaian dengan pandangan teori sistem dan filsafat positivisme hukum.
Indonesia adalah Negara yang pernah dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad. Dalam jangka waktu yang sekian lama tentu saja pengaruh dan transformasi dari Belanda ke Indonesia secara sosial budaya dan politik tidak terelakan, demikian juga telah terjadi pengadopsian sistem hukum yang di gunakan Belanda oleh Indonesia. Sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) yang digunakan Belanda telah dipraktekan di Indonesia selama masa penjajahan Belanda dan terus dipraktekan setelah masa kemerdekaan dengan perubahan-perubahan tertentu. Namun sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia telah memiliki sistem hukumnya sendiri yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama. Dengan demikian kondisi dunia hukum di Indonesia dari sejak masa penjajahan hingga kemerdekaan menjadi sangat kompleks dan berdinamika.
Beberapa undang-undang merupakan adopsi dari hukum agama dan hukum adat. Sedangkan beberapa aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sebagian besar merupakan warisan dari Hukum Belanda secara berproses mengalami perubahan-perubahan.
Dalam kerangka keilmuan hukum terdapat aplikasi yang konsisten dalam hukum positif di Indonesia. Secara historis hukum di Indonesia berlandas pada positivisme hukum (dalam konteks filasaft hukum), menganut aliran hukum Eropa Kontinental atau Hukum Sipil (dalam kontek teori hukum dan teori sistem) serta pemberlakuan hukum positif dalam kodifikasi dan undang-undang tertulis (dalam konteks dogmatik hukum).
Skema “Relevansi Antara Positivisme Hukum, Teori Sistem dan Hukum Positif
Filsafat Hukum
Teori Hukum
Dogmatik Hukum
Positivisme Hukum
Ide utama: Pentingnya Hukum positif yang disahkan oleh Negara dalam bentuk Undang-undang tertulis
-Teori Sistem
-Sistem Hukum Sipil (Civil Law)
Ide Utama: Hukum Yang sistematis dan terkodifikasi
Hukum Positif dalam kodifikasi (undang-undang tertulis) yang disahkan oleh Negara

D. Kesimpulan

Perbincangan tentang hukum diawali dengan sebuah pemikiran filsafat yang bersifat spekulatif tentang bagaimana hukum yang adil dan bijaksana. Pada tahap selanjutnya keadilan hukum dibahas pada tataran ilmiah yang bersifat obyektif positif yang menghasilkan teori hukum. Teori hukum yang ilmiah tidak serta merta dapat berwujud aturan yang mengatur ketertiban masyarakat. Hukum perlu alat lain agar ia fungsional dalam masyarakat yang disebut dengan dogmatik hukum. Dogmatik hukum ini tidak hanya bersifat deskriptif tetapi terutama bersifat preskriptif (normatif) yang memberi penilaian baik dan buruk sebuah perilaku, berkenaan dengan sangsi-sangsi.
Dalam tataran filsafat hukum, positivisme hukum mengusung ide utama tentang pentingnya hukum positif berupa undang-undang tertulis yang disahkan oleh negara atau pihak penguasa. Dalam tataran teori hukum, teori sistem dan sistem Hukum Sipil (Civil Law) atau sistem hukum Eropa Kontinental menekankan pandangan tentang penitngnya menyusun hukum yang sistematis dan terkodifikasi. Dalam tataran dogmatik hukum, hukum positif terefleksi dalam hukum yang terkodifikasi berupa kitab undang-undang yang tertulis.

1 comment: