Friday 27 January 2012

Jaminan Fidusia Dalam Akad Murabahah


Telah Dimuat pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 4. No. 2 Juli-Desember 2010

Abstrak

            Undang-undang RI Nomor 42 Tahun 1999 diantaranya dinyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya itu dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Selanjutnyan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu.
            Jaminan fidusia ini banyak digunakan oleh perusahaan pembiayaan sebagai bentuk perjanjian acessoir dari perjanjian hutang piutang dan atau jual beli kredit. Fasilitas pembiayaan konsumen  dalam perusahaan pembiayaan cukup mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terbukti dengan berkembang pesatnya perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia. Dengan demikian jaminan fidusia yang diikutkan dalam perjanjian hutang piutang dan jual beli kredit ini patut untuk dianalisis lebih lanjut.
            Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam secara otomatis membawa pula hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai bidang, termasuk dalam kegiatan ekonomi.
            Menarik untuk dianalisis apakah jaminan fidusia ini relevan jika digunakan sebagai perjanjian accessoir dalam akad murabahah. Murabahah adalah kontrak jual beli baik tunai maupun kredit  sesuai syariat Islam. Akad murabahah ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
            Dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia dimungkinkan untuk dilakukan dalam akad murabah apabila perusahaan pembiayaan berperan sebagai penjual (pedagang) yang menjual barang secara kredit kepada konsumen, jadi bukan sebagai penyedia dana yang menghutangkan kepada konsumen. Konsekuensinya barang yang diperjualbelikan tersebut harus atas nama penjual (dalam hal ini perusahaan pembiayaan) sebelum terjadi kontrak jual beli dengan konsumen.

Kata Kunci: Jaminan, Fidusia, Murabahah, Akad



A.    Pendahuluan

Semangat kewirausahaan merupakan salah satu modal untuk maju, bukan hanya untuk perseorangan tetapi juga untuk pembangunan bangsa secara lebih luas. Tetapi semangat kewirausahaan ini tidak akan berkembang dengan baik jika tidak didukung oleh iklim usaha yang sehat. Iklim usaha yang sehat tidak hanya harus diserahkan pada kondisi persaingan pasar tetapi juga harus difasilitasi dengan peraturan atau hukum yang mendukung berkembangnya dunia usaha. Dalam hal ini peran pemerintah turut menentukan dalam menciptakan undang-undang yang dapat mendukung berkembangnya dunia usaha.
Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 merupakan salah satu produk undang-undang yang mendukung berkembangnya dunia usaha karena dinilai sebagai solusi terbaik bagi dunia usaha menyangkut permodalan, terutama dalam rangka pemberian kredit bagi golongan ekonomi lemah.
 Ditetapkannya UU RI Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini adalah pertimbangan bahwa fidusia dinilai sebagai pemberian fasilitas kemudahan bagi dunia usaha agar lebih berkembang. Hal ini mengingat benda yang dijaminkan melalui fidusia tetap dapat dipergunakan oleh pemilik benda untuk modal usahanya.
Fidusia sering muncul dalam praktek perdagangan dan perbankan terkait dengan perjanjian hutang piutang, permodalan maupun jaminan kredit. Jaminan fidusia berlaku karena masyarakat menginginkan adanya semacam jaminan dimana barang atau benda yang dijaminkan tetap dipegang oleh pemiliknya untuk menjalankan usahanya. Dengan demikian terlihat bahwa fidusia merupakan perjanjian yang accesoir yaitu merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian hutang piutang yang diikuti jaminan berupa benda bergerak (baik benda berwujud maupun tidak berwujud) milik debitur seperti tercantum dalam Pasal 4 UU RI Nomor 42 Tahun 1999
Pada prakteknya perusahaan pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (misal kendaraan bermotor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit). Konsekuensinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana yang lainnya adalah pihak debitur (pemilik barang) mengajukan pembiayaan kepada kreditur, lalu kedua belah pihak sama-sama sepakat menggunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitur dan dibuatkan akta notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
            Mengingat perkembangan perusahaan pembiayaan berjalan demikian cepat maka perlu pula dicermati masalah jaminan fidusia yang pada umumnya diikutkan dalam perjanjian kredit atau hutang piutang antara perusahaan pembiayaan dengan nasabah. Untuk itu sangat penting untuk diketahui bagaimanakah implementasi UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia pada perusahaan pembiayaan ini.
Keberadaan norma-norma lain selain hukum positif yang berlaku di Indonesia diantaranya adalah kebiasaan, adat-istiadat dan agama. Norma-norma ini pada satu sisi cukup memperkaya khasanah hukum di Indonesia, mengingat banyak pula masyarakat yang memakai norma adat, kebiasaan atau norma agama dalam menyelesaikan permasalahannya. Hal ini juga berarti norma-norma tersebut cukup membantu dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah umat Islam. Prosentase umat Islam di Indonesia yang cukup besar ini secara inheren membawa pula pada satu kesimpulan tentang signifikasi norma-norma agama Islam di Indonesia. Sebagai sebuah agama, Islam tidak hanya mengatur perilaku ritual peribadatan tetapi juga kemasyarakatan seperti perkawinan, politik dan ekonomi. Satu hal yang cukup kental dalam Islam adalah struktur hukum yang cukup kuat mengikat setiap perilaku umatnya. Di dalam Islam ada istilah haram (tidak boleh dilakukan), sunnah (dianjurkan dilakukan), wajib (harus dilakukan) dan mubah (boleh dilakukan). Selain itu struktur hukum juga memiliki kerangka yang cukup jelas terutama dalam sumber hukumnya berturut-turut sesuai prioritasnya yaitu al-Qur’an dan Sunnah, termasuk al-Ra’yu seperti ijma, qiyas, istihsan dan sebagainya. Karena itu setiap perilaku umat Islam apakah dalam wilayah privat ataupun publik selalu terkait dengan norma-norma agama Islam. Wajar untuk dipertanyakan apakah fidusia yang dipraktekan dalam sejumlah perusahaan  pembiayaan relevan dengan hukum bisnis Islam, khususnya bila dilihat dari aspek institusi akad?
Fatwa ekonomi Syariah yang telah hadir, secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi). Secara fungsional , fatwa memiliki fungsi tabyin dan tarjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktek bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta oleh praktisi ekonomi ke DSN (Dewan Syair’ah Nasional), sedangkan tarjih yaitu memberikan petunjuk (guidance) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi Syariah.
Fatwa ekonomi Syariah DSN ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi Syariah melainkan juga bagi warga masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa ini ini telah dijadikan hukum poitif melalui peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR telah mengamandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syar’iah sebagai wewenang pengadilan agama.
Menarik dan penting untuk dikaji bagaimana relevansi antara pelaksanaan fidusia dalam lembaga pembiayaan dengan hukum bisnis Islam yang umumnya merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional karena hal-hal sebagai berikut:
1.      Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam
2.      Telah dikeluarkannnya beberapa fatwa yang mengikat masyarakat Indonesia dari DSN MUI yang kini berbentuk kompilasi hukum ekonomi Syariah yang didalamnya terdapat pula aturan tentang perusahaan pembiayaan.

B. Perikatan dan Perjanjian

            Dalam kegiatan bisnis, jenis perikatan yang terpenting adalah perikatan yang lahir karena perjanjian. Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Dengan pengertian ini, ada tiga unsur yang dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
a.       Ada orang yang menuntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut kreditur;
b.      Ada orang yang dituntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut debitur;
c.       Ada sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi.
Prestasi umumnya terdiri atas tiga jenis, yaitu: (a) berbuat sesuatu; (b) tidak berbuat sesuatu; (c) menyerahkan sesuatu.
Pihak yang tidak melakukan prestasi disebut bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini dapat terjadi dalam hal:
a.       Tidak berbuat sesuatu yang telah diperjanjikan;
b.      Tidak menyerahkan sesuatu yang telah diperjanjikan;
c.       Berbuat sesuatu atau menyerahkan sesuatu tetapi terlambat atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;
d.      Melakukan sesuatu yang menuntut perjanjian seharusnya tidak dilakukan.
Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Secara teoritis dikenal ada dua jenis perjanjian, yaitu perjanjian nominatif dan perjanjian innominatif. Perjanjian nominatif adalah jenis-jenis perjanjian yang telah diatur dalam undang-undang (KUHPerdata), sedangkan perjanjian innominatif adalah jenis perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang (KUHPerdata), tetapi lahir dengan sendirinya karena adanya asas kebebasan berkontrak[1].
Terdapat kaitan erat antara perjanjian dan perikatan. Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak lain , yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu tadi dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut dinamakan debitur atau si berutang. Perikatan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Dari kedua pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perikatan merupakan merupakan pengertian yang abstrak yaitu hak dan kewajiban, sedangkan perjanjian merupakan pengertian yang konkrit yaitu perbuatan. Karena itu dapat dibandingkan bahwa kejadian adalah perjanjian sedang akibat adalah perikatan[2].

C.     Pembiayaan Konsumen dan Jaminan Fidusia

            Suatu hak jaminan timbul karena adanya perjanjian pemberian jaminan yang mengikuti suatu perjanjian utang piutang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokok sedangkan perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian accessoir[3]. Jadi sebenarnya persoalan jaminan ini berhubungan erat dengan perjanjian dan perikatan.
             Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid  atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan istilah agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah:
Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah.

            Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir), sehingga akadnya pun dapat mengikuti perikatan pokok dan atau dibuat secara terpisah dari perikatan pokok itu sendiri. Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur kepada bank[4].
Salim HS berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan[5]. Dari definisi tentang jaminan tersebut dapat disimpulkan bahwa jaminan memiliki unsur-unsur:
1.      Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditur (bank).
2.      Ujudnya jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan materiil)
3.      Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditur dengan debitur.
Perkembangan tentang hukum jaminan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum jaminan pada masa pemerintah Hindia Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum jaminan dapat dikaji dalam Buku II KUH Perdata dan Stb 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah menjadi Stb 1937 Nomor 190 tentang Creditverband. Dalam Buku II KUHPerdata ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum jaminan adalah gadai (pand) dan hipotek. Pand diatur dalam pasal 1150KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata, sedangkan hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata. Creditverband merupakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembebanan jaminan bagi orang Bumiputera (Indonesia asli). Hak tanah yang dibebani creditverband adalah hak milik, hak guna bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU). Bagi orang Eropa dan yang dipersamakan dengan itu berlaku ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hipotek. Pada zaman Jepang ketentuan hukum jaminan ini tidak berkembang, karena pada zaman ini ketentuan-ketentuan hukum yang diberlakukan dalam pembebanan jaminan didasarkan pada ketentuan hukum yang tercantum dalam KUH Perdata dan Creditverband, hal ini dapat diketahui dari bunyi pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1942 yang berbunyi:
Semua badan-badan pemerintah, kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah terdahulu, tetap diakui buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan Pemerintahan Militer.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka hukum dan atau undang-undang yang berlaku pada zaman Hindia Belanda masih tetap diakui oleh Pemerintah Dai Nippon. Tujuan dari adanya ketentuan ini adalah agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvacuum).
Pada zaman setelah kemerdekaan sampai sekarang telah banyak ketentuan hukum tentang jaminan telah disahkan menjadi undang-undang. Pada zaman kemerdekaan sampai saat ini, dapat dipilah menjadi 2 era, yaitu era sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Pada era sebelum reformasi ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam ketentuan ini juga merujuk pada berbagai aturan perundang-undangan lainnya. Hal ini terlihat pada konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mencabut berlakunya Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang ini.
Pada era reformasi  telah diundangkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Latar belakang lahirnya undang-undang ini karena:
1.      Kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.
2.      Jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai pada saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif.
3.      Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih mengacu pada pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftar pada Kantor Pendaftaran Fidusia[6]
Fidusia adalah  jaminan yang diberikan dalam bentuk perjanjian. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditur mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang tertentu sebagai jaminan utangnya, dengan demikian hubungannya dengan hukum perikatan adalah:
  1. Hubungan hukum antara pemberi dan penerima fidusia adalah hubungan perikatan berdasarkan mana kreditur berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan (secara constitutum possessorium)[7] dari debitur, yang berkewajiban memenuhinya.
  2. Isi perikatan itu adalah untuk memberi sesuatu, karena debitur menyerahkan suatu barang (secara constitutum possessorium) kepada kreditur.
  3. Perikatan itu mengikuti suatu perikatan lain yang telah ada, yaitu perikatan utang-piutang antara kreditur dan debitur. Perikatan antara pemberi dan penerima fidusia dengan demikian merupakan perikatan yang sifatnya accessoir sedangkan perikatan pokoknya adalah utang-piutang itu.
  4. Perikatan fidusia dengan demikian merupakan perikatan dengan syarat batal, karena kalau utangnya dilunasi maka hak jaminannya hapus.
  5. Perikatan fidusia itu terjadi karena perjanjian pemberian fidusia sebagai jaminan, sehingga dapat dikatakan bahwa sumber perikatannya adalah perjanjian.
  6. Perjanjian itu merupakan perjanjian yang tidak dikenal oleh KUHPerdata, oleh karena itu ia disebut juga perjanjian innominat atau onbenoemde overeenkomst.
  7. Perjanjian tersebut tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan yang terdapat dalam Bab I-IV Buku III KUHPerdata.

Fidusia atau lengkapnya Fiduciaire Eigendemsoverdracht sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik secara kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda selain gadai. Fidusia berbeda dengan gadai karena pada fidusia yang diserahkan adalah hak milik sedangkan barangnya tetap dikuasai debitur, sehingga yang terjadi adalah penyerahan secara constitutum possesorium.
Menurut asal katanya, fidusia berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan. Hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dengan kreditur penerima fidusia merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa kreditur penerima fidusia akan mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur mengembalikan hutangnya. Kreditur juga percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan mau memelihara barang tersebut. Konstruksi fidusia yang demikian sesuai dengan apa yang dikatakan Asser bahwa:
Orang berbicara mengenai suatu hubungan hukum atas dasar fides, bilamana seseorang dalam arti hukum berhak atas suatu barang sedang barang tersebut secara sosial ekonomi dikuasai oleh orang lain.[8]

Sebelum berlakunya UU RI Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya UU RI Nomor 42  Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek jaminan fidusia dibagi 2 macam yaitu:
  1. Benda bergerak, baik yang berujud maupun tidak berujud.
  2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan.
Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan disini adalah dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun. Subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Salah satu sarana perdagangan yang tersedia dan berkembang saat ini adalah sarana perdagangan dengan cara tidak tunai atau kredit yang dilakukan oleh lembaga keuangan bukan bank yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Dalam menyediakan pembiayaan atau dana bagi konsumen, perusahaan pembiayaan berkepentingan agar seluruh dana pembiayaan memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam praktek transaksi penyediaan dana akan diikuti oleh penyerahan jaminan. Untuk itu jaminan yang paling cocok untuk penyediaan pembiayaan atau dana bagi konsumen   adalah jaminan fidusia yaitu suatu jaminan berupa penyerahan hak atas pemilikan suatu barang bergerak berdasarkan kepercayaan, dimana barang tersebut secara fisik tetap dikuasai dan dimanfaatkan oleh konsumen yang menerima pembiayaan dari perusahaan pembiayaan[9].
Kebutuhan masyarakat Indonesia akan penyediaan dana sekarang ini memang tidak hanya dipenuhi oleh lembaga perbankan saja. Perusahaan pembiayaan telah memberikan kontribusi yang tidak kecil. Dari 100% penjualan sepeda motor di Indonesia, 70%nya dilakukan dengan cara kredit melalui perusahaan pembiayaan[10]. Hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi pasar dari perusahaan pembiayaan khususnya yang bergerak di bidang pembiayaan sepeda motor. Saat ini yang tercatat di Departemen Keuangan terdapat 236 perusahaan pembiayaan yang tersebar di seluruh Indonesia[11].
Model-model pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan sebenarnya terdiri dari beberapa macam[12] tetapi yang banyak berkembang sekarang ini adalah pembiayaan konsumen (consumer finance). Pembiayaan konsumen (consumer finance) merupakan kegiatan penyediaan dana bagi konsumen oleh perusahaan pembiayaan untuk membeli barang-barang konsumsi yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. Jaminan hutang dari pembiayaan konsumen ini adalah barang konsumen yang menjadi objek pembiayaan konsumen tersebut yang biasanya dalam bentuk fidusia[13].
Prosedur pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia dimulai pada saat datangnya konsumen pada petugas costumer service perusahaan pembiayaan. Dari pertemuan tersebut petugas costumer service akan mengajukan pertanyaan mendasar kepada konsumen mengenai uang muka dan data diri kemudian konsumen mengisi surat permohonan kredit. Apabila uang muka telah dibayar dengan angsuran pertama dan uang administrasi yang dilakukan bersamaan dengan aplikasi kredit, langkah selanjutnya adalah penandatanganan surat persetujuan bersama yang dilakukan antara konsumen sebagai pembeli, dealer sebagai penjual dan perusahaan pembiayaan sebagai penyedia dana[14]. Apabila prosedur tersebut telah dilakukan maka dilakukan penyerahan barang dari dealer kepada konsumen di dalam perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia. Ada 2 macam akta pokok yang harus dibuat  yaitu akta perjanjian pembiayaan dan akta perjanjian fidusia. Adapun akta perjanjian pembiayaan merupakan pengikat para pihak dalam perjanjian pokoknya. Sedangkan akta perjanjian fidusia berfungsi sebagai pengikat dalam perjanjian accessoirnya (perjanjian yang mengikuti perjanjian pokok).

D.    Murabahah dan Jaminan Fidusia

Secara historis jaminan fidusia merupakan pengembangan dari hukum Barat (Belanda) berdasarkan yurisprudensi. Fidusia merupakan bentuk jaminan yang timbul dari perjanjian innominatif(tidak diatur dalam KUHPerdata) yang bersifat accessoir karena adanya asas kebebasan kontrak. Bagaimanakah hukum Islam menyerap konsep hukum ini sebagai aturan hukum yang dapat diterima?
Konsep hukum dalam ajaran Islam berbeda dengan konsepsi hukum pada umumnya. Dalam Islam hukum dipandang sebagai bagian dari ajaran agama.  Umat Islam meyakini bahwa hukum Islam berdasarkan wahyu ilahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah yang berarti jalan yang digariskan Tuhan untuk manusia[15].
Praktek ekonomi yang berkembang kini semakin luas dan beragam. Karena itu diperlukan aturan-aturan hukum yang baru dan diperbaharui agar dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi yang memerlukan penanganan hukum. Hukum akan kehilangan eksistensi dan fungsinya jika tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Melalui kerangka hukum Islam (sumber-sumber hukum Islam dan metode penetapannya) yang elastis, sebenarnya hukum Islam selamanya tak akan kehilangan eksistensi. Tetapi jika  hukum Islam hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak mendapat pengesahan dari pemerintah, ia tetap tidak akan memiliki kemampuan mengikat yang pada akhirnya hukum Islam tetap kurang memiliki eksistensinya dan fungsinya di masyarakat.
Berbagai masalah dibahas dalam bingkai hukum Islam dari analisa tekstual dan kontekstual Al Qur’an, Sunnah (hadist), ijma, ijtihad, qiyas sampai kepada penetapan hukumnya. Tetapi sanksi yang dikenakan berdasarkan penetapan hukum tersebut tidak akan memiliki kemampuan mengikat jika tidak disahkan oleh pemerintah sebagai hukum yang berlaku. Pada akhirnya tetaplah hanya berupa sebuah wacana dan sekalipun telah menghasilkan penetapan hukum (halal, haram atau sanksi-sanksi tertentu) hal itu hanya dianggap sebagai sebuah pilihan bagi para pelaku bisnis yang semuanya tergantung pada tingkat keterikatan dan konsistensi setiap pribadi muslim terhadap hukum Islam.  
Terbentuknya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bukan hanya disebabkan Pengadilan Agama kini berwenang menangani kasus-kasus hukum ekonomi Syariah[16] tetapi lebih dari itu masyarakat sudah sangat membutuhkan kepastian hukum dalam kontrak bisnis Syariah. Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dapat merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat pada zaman kekhalifahan Turki Usmani yang tentu saja disesuaikan dengan aktivitas ekonomi di zaman modern ini[17].
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan dalam pembentukan kompilasi hukum ekonomi Syariah dan praktek bisnis Syariah di lapangan. Kejayaan ekonomi Islam pada zaman Rasulallah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah dan Bani Abassiyah telah memberikan inspirasi kepada beberapa Negara muslim kontemporer untuk meniru sistem tersebut. Proses peniruan ini tidak selamanya berjalan mulus karena sistem yang ditiru adalah sistem yang komplet (kaffah), sedangkan yang meniru melakukannya dengan parsial[18].
Pada dasarnya beberapa aturan yang sesuai syariah telah ditetapkan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk dalam kontrak bisnis, khususnya tentang perusahaan pembiayaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan disebutkan bahwa perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank  yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.
Seperti halnya KMK sebelumnya bahwa kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan terdiri dari 4 hal, yaitu: Sewa guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan / atau pembiayaan konsumen.
Terhadap kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Pembiayaan tersebut dimungkinkan untuk penerapan Prinsip Syariah dalam operasionalnya. Adanya menjadi semakin jelas setelah pada hari Senin, 10 Desember 2007, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) melalui Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Per-03/BL/ 2007 dan NomorPer-04/BL/2007  telah menerbitkakn satu paket regulasi yang terkait dengan Perusahaan Pembiayaan yang melakukakn kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu Peraturan tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. 
Penerbitan paket regulasi tersebut adalah untuk memberikan landasan hukum yang memadai berkaitan dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah serta guna memenuhi kebutuhan masyarkat pada industri pembiayaan memerlukan keragaman sumber pembiayaan dan pendanaan berdasarkan pada Syariat Islam[19].
Menurut Suhrawardi K Lubis bahwa kegiatan pembiayaan konsumen dalam syariat Islam dapat dipandang sebagai perbuatan murabahah[20]. Adapun dasar diperbolehkannya bersandar pada ketentuan hukum  yaitu dari Suhaib ra, menurutnya Rasulallah bersabda:
Tiga perkara di dalamnya terdapat keberkatan yaitu (1) menjual secara kredit (2) muqaradhah (mudharabah) (3) mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah dan bukan untuk dijual (HR Ibnu Majah).
Beberapa ketentuan mengenai murabahah yang tertuang dalam Pasal 23 Peraturan Ketua Bapepam dan LK No. PER-04/BL/2007 adalah sebagai berikut:
(1)                Murabahah dilakukan berdasarkan pesanan, atau tanpa pesanan.
(2)               Dalam pelaksanaan murabahah berdasarkan pesanan, Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen sebagai pembeli (musytari).
(3)               Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat atau tidak mengikat pihak yang berhutang untuk membeli barang yang dipesannya.
(4)               Dalam pelaksanaan murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak dapat membatalkan pesanannya.
Perusahaan Pembiayaan yang memberikan Pembiayaan Konsumen berdasarkan akad murabahah ini mempunyai hak antara lain: memperoleh bayaran dari konsumen sebesar harganya secara angsuran sesuai yang diperjanjikan, mengambil kembali obyek  Murabahah  apabila konsumen sebagai pembeli (musytari)  tidak mampu membayar angsuran  sebagaimana diperjanjikan, dan menentukan penyedia barang (supplier) dalam pembelian obyek Murabahah. Perusahaan Pembiayaan Konsumen ini di mana ia bertindak sebagai penjual (ba’i) mempunyai kewajiban antara lain: menyediakan obyek Murabahah sesuai yang disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli (musytari) dan menjamin obyek Murabahah tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
Dalam menyediakan obyek Murabahah Perusahaan Pembiayaan Konsumen dapat mewakilkan pembelian barang tersebut kepada konsumen berdasarkan prinsip wakalah, yaitu perjanjian (akad) di mana pihak yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak yang menerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu[21]. Dalam hal pembiayaan konsumen ini pihak yang diberi kuasa adalah konsumen selaku pihak yang berkepentingan mendapatkan pembiayaan untuk kebutuhan konsumsi.
Konsumen juga memiliki hak dan kewajiban antara lain yakni hak untuk menerima obyek Murabahah dalam keadaan baik dan siap dioprasikan,  kewajiban membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan dan mengembalikan atau menitipjualkan obyek yang dibiayai.
Obyek Murabahah harus memenuhi ketentuan paling kurang: dapat dinilai dengan uang, dapat diterima oleh konsumen, tidak dilarang oleh syariah Islam, dan spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. Secara konkrit obyek Murabahah ini antara lain dapat berupa kendaraan bermotor, rumah, barang-barang elektronik, alat-alat rumah tangga bukan elektronik, dan barang konsumsi lainnya.
Perjanjian yang dibuat oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang mendasarkan pada akad murabahah ini paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a.       Identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen.
b.      Spesifikasi Obyek murabahah  meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran dan tipe.
c.       Harga jual, harga beli dan cara pembayaran angsuran.
d.      Jangka waktu.
e.       Ketentuan jaminan dan asuransi.
f.       Ketentuan mengenai uang muka.
g.      Ketetntuan mengenai diskon/potongan.
h.      Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo.
i.        Ketentuan mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen yang menunda pembayaran angsuran, dan
j.        Hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Dokumentasi yang diperlukan dalam  Murabahah oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen paling kurang meliputi: surat persetujuan prinsip (offering letter), surat permohonan realisasi Murabahah, akad Wakalah (bila diperlukan), tanda terima uang konsumen, dalam hal Perusahaan Pembiayaan (ba’i) mewakilkan kepada konsumen (musytari) melalui  wakalah, akad Murabahah, perjanjian pengikatan jaminan, dan tanda terima barang.
Menurut Suhrawardi K. Lubis pembiayaan konsumen yang termasuk klasifikasi menjual secara kredit, merupakan pembiayaan konsumen yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam[22].
            Tetapi jika dicermati maka terdapat point-point khusus yang dapat menjadi bahan analisis adalah ada perusahaan pembiayaan yang  melakukan praktek  murabahah sebagai kontrak jual beli tunai dan kredit dan ada pula perusahaan pembiayaan yang berfungsi sebagai penyedia dana. Dalam Pasal 116 ayat (2) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tertulis:
            Penjual harus membeli barang yang diperlukan pembeli atas nama penjual sendiri dan pembelian ini harus bebas riba.

Dalam hal ini perlu dianalisis apakah perusahaan pembiayaan berperan sebagai penjual atau sebagai lembaga yang memberi hutang. Artinya apakah dalam kontrak yang dilakukan antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan itu transaksi hutang piutang murni ataukah kontrak jual beli dengan cicilan. Perlu pula dianalisis apakah dalam transaksi mengandung unsur riba atau tidak. Disamping itu apakah perusahaan pembiayaan melakukan kontrak jual beli atas suatu barang yang diatasnamakan penjual sendiri?
            Dalam murabahah dimungkinkan adanya kontrak jual beli dengan memakai jaminan seperti tercantum dalam pasal 127 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yaitu:
            Penjual dapat meminta kepada pembeli untuk menyediakan jaminan atas benda yang dijualnya pada akad murabahah.
Selanjutnya dalam Pasal 129 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tertulis:
            Akad murabahah dapat diselesaikan dengan cara menjual obyek akad kepada Lembaga Keuangan Syariah dengan harga pasar, atau nasabah melunasi sisa hutangnya kepada Lembaga Keuangan Syariah dari hasil penjualan obyek akad.

Dari Pasal 127 dan 129 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini maka sebenarnya dimungkinkan dipraktekannya jaminan fidusia dalam jual beli murabahah.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia sangat dimungkinkan terjadinya dalam akad murbahah dimana perusahaan pembiayaan berperan sebagai penjual yang menjual barang secara kredit kepada konsumen (debitur) dengan diikutkannya jaminan berupa benda yang diperjualbelikan tersebut. Dalam konteks ini perusahaan pembiayaan bukanlah sebagai penyedia dana untuk dihutangkan kepada debitur (konsumen) tetapi sebagai pedagang yang menjual barang secara kredit kepada pembeli (debitur), sehingga dengan demikian barang yang diperjualbelikan tersebut harus diatasnamakan penjual (perusahaan pembiayaan) sebelum terjadinya kontrak jual beli kredit.

E.     Penutup

            Demikianlah bisnis selalu memegang peranan vital dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa. Karena itulah kegiatan bisnis harus senantiasa didukung dengan perangkat hukum yang jelas. Umat Islam telah lama terlibat dalam dunia bisnis sejak empat belas abad yang lalu. Fenomena ini bukanlah hal yang aneh, karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulallah SAW sendiri terlibat dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama isterinya Khadijah.
            Seorang ilmuwan dari Barat C.C Torrey dalam disertasinya berjudul The Commercial Theological Terms in the Koran menyatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan terminologi bisnis sedemikian ekstensif dimana ditemukan 20 macam terminologi bisnis dalam al-Qur’an dan siulang sebanyak 370 kali dalam berbagai ayat[23].
            Al-Qur’an mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit dengan banyaknya instruksi yang sangat detail tentang hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam praktek bisnis. Para peneliti yang meneliti hal-hal yang ada dalam al-Qur’an mengakui bahwa praktek perundang-undangan al-Qur’an selalu berhubungan dengan transaksi[24]. Hal ini menandakan bahwa betapa aktivitas bisnis itu sangat penting menurut al-Qur’an.
            Kegiatan bisnis pada dasarnya merupakan praktek ekonomi yang sangat vital bukan hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itulah kepastian hukum sangat diperlukan dalam kegiatan bisnis ini demi untuk memenuhi rasa keadilan dalam bertransaksi. Hukum Islam memberikan banyak peluang untuk terus dapat diperbaharui melalui proses ijtihad demi untuk dapat berfungsi dan mengantisipasi kegiatan bisis yang terus berkembang semakin beragam.


No comments:

Post a Comment