Telah Dimuat pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 4. No.
2 Juli-Desember 2010
Abstrak
Undang-undang
RI Nomor 42 Tahun 1999 diantaranya dinyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan
hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya itu dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Selanjutnyan jaminan
fidusia adalah hak jaminan atas benda sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu.
Jaminan fidusia ini banyak digunakan oleh perusahaan
pembiayaan sebagai bentuk perjanjian acessoir dari perjanjian hutang piutang
dan atau jual beli kredit. Fasilitas pembiayaan konsumen dalam perusahaan pembiayaan cukup mendapat
sambutan hangat dari masyarakat, terbukti dengan berkembang pesatnya perusahaan
pembiayaan yang ada di Indonesia. Dengan demikian jaminan fidusia yang diikutkan
dalam perjanjian hutang piutang dan jual beli kredit ini patut untuk dianalisis
lebih lanjut.
Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam secara
otomatis membawa pula hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai
bidang, termasuk dalam kegiatan ekonomi.
Menarik untuk dianalisis apakah jaminan fidusia ini
relevan jika digunakan sebagai perjanjian accessoir dalam akad murabahah.
Murabahah adalah kontrak jual beli baik tunai maupun kredit sesuai syariat Islam. Akad murabahah ini
telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia dimungkinkan
untuk dilakukan dalam akad murabah apabila perusahaan pembiayaan berperan
sebagai penjual (pedagang) yang menjual barang secara kredit kepada konsumen,
jadi bukan sebagai penyedia dana yang menghutangkan kepada konsumen. Konsekuensinya
barang yang diperjualbelikan tersebut harus atas nama penjual (dalam hal ini
perusahaan pembiayaan) sebelum terjadi kontrak jual beli dengan konsumen.
Kata
Kunci: Jaminan, Fidusia, Murabahah, Akad
A. Pendahuluan
Semangat kewirausahaan
merupakan salah satu modal untuk maju, bukan hanya untuk perseorangan tetapi
juga untuk pembangunan bangsa secara lebih luas. Tetapi semangat kewirausahaan
ini tidak akan berkembang dengan baik jika tidak didukung oleh iklim usaha yang
sehat. Iklim usaha yang sehat tidak hanya harus diserahkan pada kondisi
persaingan pasar tetapi juga harus difasilitasi dengan peraturan atau hukum
yang mendukung berkembangnya dunia usaha. Dalam hal ini peran pemerintah turut
menentukan dalam menciptakan undang-undang yang dapat mendukung berkembangnya
dunia usaha.
Fidusia yang diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
42 Tahun 1999 merupakan salah satu produk undang-undang yang mendukung
berkembangnya dunia usaha karena dinilai sebagai solusi terbaik bagi dunia
usaha menyangkut permodalan, terutama dalam rangka pemberian kredit bagi
golongan ekonomi lemah.
Ditetapkannya UU RI Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia ini adalah pertimbangan bahwa fidusia dinilai sebagai
pemberian fasilitas kemudahan bagi dunia usaha agar lebih berkembang. Hal ini
mengingat benda yang dijaminkan melalui fidusia tetap dapat dipergunakan oleh
pemilik benda untuk modal usahanya.
Fidusia sering muncul
dalam praktek perdagangan dan perbankan terkait dengan perjanjian hutang
piutang, permodalan maupun jaminan kredit. Jaminan fidusia berlaku karena
masyarakat menginginkan
adanya semacam jaminan dimana barang atau benda yang dijaminkan tetap dipegang
oleh pemiliknya untuk menjalankan usahanya. Dengan demikian terlihat bahwa
fidusia merupakan perjanjian yang accesoir yaitu merupakan tambahan saja
dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian hutang piutang yang diikuti
jaminan berupa benda bergerak (baik benda berwujud maupun tidak berwujud) milik
debitur seperti tercantum dalam Pasal 4 UU RI Nomor 42 Tahun 1999
Pada
prakteknya perusahaan pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta
konsumen (misal kendaraan bermotor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan
konsumen sebagai debitur (penerima kredit). Konsekuensinya debitur sebagai
pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur sebagai
penerima fidusia. Praktek sederhana yang lainnya adalah pihak debitur (pemilik
barang) mengajukan pembiayaan kepada kreditur, lalu kedua belah pihak sama-sama
sepakat menggunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitur dan dibuatkan
akta notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Mengingat
perkembangan perusahaan pembiayaan berjalan demikian cepat maka perlu pula
dicermati masalah jaminan fidusia yang pada umumnya diikutkan dalam perjanjian
kredit atau hutang piutang antara perusahaan pembiayaan dengan nasabah. Untuk
itu sangat penting untuk diketahui bagaimanakah implementasi UU No. 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia pada perusahaan pembiayaan ini.
Keberadaan norma-norma
lain selain hukum positif yang berlaku di Indonesia diantaranya adalah
kebiasaan, adat-istiadat dan agama. Norma-norma ini pada satu sisi cukup
memperkaya khasanah hukum di Indonesia, mengingat banyak pula masyarakat yang
memakai norma adat, kebiasaan atau norma agama dalam menyelesaikan
permasalahannya. Hal ini juga berarti norma-norma tersebut cukup membantu dan
berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah umat Islam. Prosentase umat Islam di Indonesia yang cukup besar ini
secara inheren membawa pula pada satu kesimpulan tentang signifikasi
norma-norma agama Islam di Indonesia. Sebagai sebuah agama, Islam tidak hanya
mengatur perilaku ritual peribadatan tetapi juga kemasyarakatan seperti
perkawinan, politik dan ekonomi. Satu hal yang cukup kental dalam Islam adalah
struktur hukum yang cukup kuat mengikat setiap perilaku umatnya. Di dalam Islam
ada istilah haram (tidak boleh dilakukan), sunnah (dianjurkan dilakukan), wajib
(harus dilakukan) dan mubah (boleh dilakukan). Selain itu struktur hukum juga
memiliki kerangka yang cukup jelas terutama dalam sumber hukumnya
berturut-turut sesuai prioritasnya yaitu al-Qur’an dan Sunnah, termasuk al-Ra’yu
seperti ijma, qiyas, istihsan dan sebagainya. Karena itu setiap perilaku umat
Islam apakah dalam wilayah privat ataupun publik selalu terkait dengan
norma-norma agama Islam. Wajar untuk dipertanyakan apakah fidusia yang dipraktekan
dalam sejumlah perusahaan pembiayaan
relevan dengan hukum bisnis Islam, khususnya bila dilihat dari aspek institusi
akad?
Fatwa ekonomi Syariah
yang telah hadir, secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan
pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi). Secara fungsional ,
fatwa memiliki fungsi tabyin dan tarjih. Tabyin artinya
menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktek bagi lembaga keuangan,
khususnya yang diminta oleh praktisi ekonomi ke DSN (Dewan Syair’ah Nasional),
sedangkan tarjih yaitu memberikan petunjuk (guidance) serta
pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi Syariah.
Fatwa ekonomi Syariah
DSN ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi Syariah melainkan
juga bagi warga masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa ini ini telah
dijadikan hukum poitif melalui peraturan Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR telah
mengamandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang
secara tegas memasukkan masalah ekonomi syar’iah sebagai wewenang pengadilan
agama.
Menarik dan penting
untuk dikaji bagaimana relevansi antara pelaksanaan fidusia dalam lembaga pembiayaan
dengan hukum bisnis Islam yang umumnya merujuk pada fatwa Dewan Syariah
Nasional karena hal-hal sebagai berikut:
1. Sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah beragama Islam
2. Telah dikeluarkannnya beberapa fatwa
yang mengikat masyarakat Indonesia dari DSN MUI yang kini berbentuk kompilasi
hukum ekonomi Syariah yang didalamnya terdapat pula aturan tentang perusahaan
pembiayaan.
B. Perikatan dan Perjanjian
Dalam kegiatan bisnis, jenis perikatan yang terpenting
adalah perikatan yang lahir karena perjanjian. Perjanjian adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain tersebut
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Dengan
pengertian ini, ada tiga unsur yang dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
a. Ada
orang yang menuntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut kreditur;
b. Ada
orang yang dituntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut debitur;
c. Ada
sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi.
Prestasi
umumnya terdiri atas tiga jenis, yaitu: (a) berbuat sesuatu; (b) tidak berbuat
sesuatu; (c) menyerahkan sesuatu.
Pihak
yang tidak melakukan prestasi disebut bahwa pihak tersebut telah melakukan
wanprestasi. Wanprestasi ini dapat terjadi dalam hal:
a. Tidak
berbuat sesuatu yang telah diperjanjikan;
b. Tidak
menyerahkan sesuatu yang telah diperjanjikan;
c. Berbuat
sesuatu atau menyerahkan sesuatu tetapi terlambat atau tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan;
d. Melakukan
sesuatu yang menuntut perjanjian seharusnya tidak dilakukan.
Dengan
terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakannya
karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Secara
teoritis dikenal ada dua jenis perjanjian, yaitu perjanjian nominatif dan
perjanjian innominatif. Perjanjian nominatif adalah jenis-jenis perjanjian yang
telah diatur dalam undang-undang (KUHPerdata), sedangkan perjanjian innominatif
adalah jenis perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang (KUHPerdata),
tetapi lahir dengan sendirinya karena adanya asas kebebasan berkontrak[1].
Terdapat
kaitan erat antara perjanjian dan perikatan. Perjanjian adalah hubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak
lain , yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut sesuatu
tadi dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan yang berkewajiban
memenuhi tuntutan tersebut dinamakan debitur atau si berutang. Perikatan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Dari kedua pengertian
tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perikatan merupakan merupakan pengertian
yang abstrak yaitu hak dan kewajiban, sedangkan perjanjian merupakan pengertian
yang konkrit yaitu perbuatan. Karena itu dapat dibandingkan bahwa kejadian
adalah perjanjian sedang akibat adalah perikatan[2].
C. Pembiayaan Konsumen dan Jaminan Fidusia
Suatu hak jaminan timbul karena adanya perjanjian
pemberian jaminan yang mengikuti suatu perjanjian utang piutang. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa perjanjian utang piutang merupakan perjanjian pokok
sedangkan perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian accessoir[3].
Jadi sebenarnya persoalan jaminan ini berhubungan erat dengan perjanjian dan
perikatan.
Istilah jaminan
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie
mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping
pertanggungjawaban
umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga
dengan istilah agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23
Undang-Undang RI Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan
adalah:
Jaminan tambahan diserahkan nasabah
debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah.
Agunan
dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir), sehingga
akadnya pun dapat mengikuti perikatan pokok dan atau dibuat secara terpisah
dari perikatan pokok itu sendiri. Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan
fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur kepada bank[4].
Salim HS berpendapat
bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan[5].
Dari definisi tentang jaminan tersebut dapat disimpulkan bahwa jaminan memiliki
unsur-unsur:
1. Difokuskan pada pemenuhan kewajiban
kepada kreditur (bank).
2. Ujudnya jaminan ini dapat dinilai dengan
uang (jaminan materiil)
3. Timbulnya jaminan karena adanya
perikatan antara kreditur dengan debitur.
Perkembangan tentang
hukum jaminan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum jaminan
pada masa pemerintah Hindia Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan. Pada zaman
pemerintahan Hindia Belanda, ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum
jaminan dapat dikaji dalam Buku II KUH Perdata dan Stb 1908 Nomor 542
sebagaimana telah diubah menjadi Stb 1937 Nomor 190 tentang Creditverband.
Dalam Buku II KUHPerdata ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum
jaminan adalah gadai (pand) dan hipotek. Pand diatur dalam pasal
1150KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata, sedangkan hipotek diatur
dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata. Creditverband merupakan
ketentuan hukum yang berkaitan dengan pembebanan jaminan bagi orang Bumiputera (Indonesia asli).
Hak tanah yang dibebani creditverband adalah hak milik, hak guna
bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU). Bagi orang Eropa dan yang dipersamakan
dengan itu berlaku ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hipotek.
Pada zaman Jepang ketentuan hukum jaminan ini tidak berkembang, karena pada
zaman ini ketentuan-ketentuan hukum yang diberlakukan dalam pembebanan jaminan
didasarkan pada ketentuan hukum yang tercantum dalam KUH Perdata dan Creditverband,
hal ini dapat diketahui dari bunyi pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1942
yang berbunyi:
Semua badan-badan pemerintah,
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah terdahulu, tetap diakui
buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan Pemerintahan Militer.
Berdasarkan ketentuan
di atas, maka hukum dan atau undang-undang yang
berlaku pada zaman Hindia Belanda masih tetap diakui oleh Pemerintah Dai
Nippon. Tujuan dari adanya ketentuan ini adalah agar tidak terjadi kekosongan
hukum (rechtvacuum).
Pada zaman setelah
kemerdekaan sampai sekarang telah banyak ketentuan hukum tentang jaminan telah
disahkan menjadi undang-undang. Pada zaman kemerdekaan sampai saat ini, dapat
dipilah menjadi 2 era, yaitu era sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Pada
era sebelum reformasi ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan adalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Dalam ketentuan ini juga merujuk pada berbagai aturan perundang-undangan
lainnya. Hal ini terlihat pada konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang
mencabut berlakunya Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku sejak berlakunya undang-undang
ini.
Pada era reformasi telah diundangkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Latar belakang lahirnya undang-undang ini
karena:
1. Kebutuhan yang besar dan terus meningkat
bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan
hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.
2. Jaminan fidusia sebagai salah satu
bentuk lembaga jaminan sampai pada saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi
dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan
komprehensif.
3. Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang
dapat lebih mengacu pada pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian
hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang
lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftar pada
Kantor Pendaftaran Fidusia[6].
Fidusia
adalah jaminan yang diberikan dalam
bentuk perjanjian. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditur
mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitur harus menyerahkan barang-barang
tertentu sebagai jaminan utangnya, dengan demikian hubungannya dengan hukum
perikatan adalah:
- Hubungan
hukum antara pemberi dan penerima fidusia adalah hubungan perikatan
berdasarkan mana kreditur berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan
(secara constitutum possessorium)[7] dari debitur, yang
berkewajiban memenuhinya.
- Isi
perikatan itu adalah untuk memberi sesuatu, karena debitur menyerahkan
suatu barang (secara constitutum possessorium) kepada kreditur.
- Perikatan
itu mengikuti suatu perikatan lain yang telah ada, yaitu perikatan
utang-piutang antara kreditur dan debitur. Perikatan antara pemberi dan
penerima fidusia dengan demikian merupakan perikatan yang sifatnya
accessoir sedangkan perikatan pokoknya adalah utang-piutang itu.
- Perikatan
fidusia dengan demikian merupakan perikatan dengan syarat batal, karena
kalau utangnya dilunasi maka hak jaminannya hapus.
- Perikatan
fidusia itu terjadi karena perjanjian pemberian fidusia sebagai jaminan,
sehingga dapat dikatakan bahwa sumber perikatannya adalah perjanjian.
- Perjanjian
itu merupakan perjanjian yang tidak dikenal oleh KUHPerdata, oleh karena
itu ia disebut juga perjanjian innominat atau onbenoemde overeenkomst.
- Perjanjian
tersebut tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan yang
terdapat dalam Bab I-IV Buku III KUHPerdata.
Fidusia atau lengkapnya
Fiduciaire Eigendemsoverdracht sering disebut sebagai Jaminan Hak Milik
secara kepercayaan, merupakan suatu bentuk jaminan atas benda-benda selain
gadai. Fidusia berbeda dengan gadai karena pada fidusia yang diserahkan adalah
hak milik sedangkan barangnya tetap dikuasai debitur, sehingga yang terjadi
adalah penyerahan secara constitutum possesorium.
Menurut asal katanya,
fidusia berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan. Hubungan hukum
antara debitur pemberi fidusia dengan kreditur penerima fidusia merupakan suatu
hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa
kreditur penerima fidusia akan mengembalikan hak milik yang telah diserahkan
kepadanya, setelah debitur mengembalikan hutangnya. Kreditur juga percaya bahwa
pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam
kekuasaannya dan mau memelihara barang tersebut. Konstruksi fidusia yang
demikian sesuai dengan apa yang dikatakan Asser bahwa:
Orang berbicara mengenai suatu hubungan
hukum atas dasar fides, bilamana seseorang dalam arti hukum berhak atas suatu
barang sedang barang tersebut secara sosial ekonomi dikuasai oleh orang lain.[8]
Sebelum berlakunya UU RI Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia,
maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari
benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan
mesin dan kendaraan bermotor. Tetapi dengan berlakunya UU RI Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka objek
jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan undang-undang ini,
obyek jaminan fidusia dibagi 2 macam yaitu:
- Benda
bergerak, baik yang berujud maupun tidak berujud.
- Benda tidak
bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan.
Yang dimaksud dengan
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan disini adalah dalam kaitannya
dengan bangunan rumah susun, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1985
tentang rumah susun. Subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima
fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda
yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan jaminan fidusia.
Salah satu sarana
perdagangan yang tersedia dan berkembang saat ini adalah sarana perdagangan
dengan cara tidak tunai atau kredit yang dilakukan oleh lembaga keuangan bukan
bank yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Dalam menyediakan pembiayaan atau
dana bagi konsumen, perusahaan pembiayaan berkepentingan agar seluruh dana
pembiayaan memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam praktek transaksi
penyediaan dana akan diikuti oleh penyerahan jaminan. Untuk itu jaminan yang
paling cocok untuk penyediaan pembiayaan atau dana bagi konsumen adalah jaminan fidusia yaitu suatu jaminan
berupa penyerahan hak atas pemilikan suatu barang bergerak berdasarkan
kepercayaan, dimana barang tersebut secara fisik tetap dikuasai dan dimanfaatkan
oleh konsumen yang menerima pembiayaan dari perusahaan pembiayaan[9].
Kebutuhan masyarakat
Indonesia akan penyediaan dana sekarang ini memang tidak hanya dipenuhi oleh
lembaga perbankan saja. Perusahaan pembiayaan telah memberikan kontribusi yang
tidak kecil. Dari 100% penjualan sepeda motor di Indonesia, 70%nya dilakukan
dengan cara kredit melalui perusahaan pembiayaan[10].
Hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi pasar dari perusahaan pembiayaan
khususnya yang bergerak di bidang pembiayaan sepeda motor. Saat ini yang
tercatat di Departemen Keuangan terdapat 236 perusahaan pembiayaan yang
tersebar di seluruh Indonesia[11].
Model-model pembiayaan
yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan sebenarnya terdiri dari beberapa macam[12]
tetapi yang banyak berkembang sekarang ini adalah pembiayaan konsumen (consumer
finance). Pembiayaan konsumen (consumer finance) merupakan kegiatan
penyediaan dana bagi konsumen oleh perusahaan pembiayaan untuk membeli
barang-barang konsumsi yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau
berkala oleh konsumen. Jaminan hutang dari pembiayaan konsumen ini adalah
barang konsumen yang menjadi objek pembiayaan konsumen tersebut yang biasanya
dalam bentuk fidusia[13].
Prosedur pembiayaan
konsumen dengan jaminan fidusia dimulai pada saat datangnya konsumen pada
petugas costumer service perusahaan pembiayaan. Dari pertemuan tersebut petugas
costumer service akan mengajukan pertanyaan mendasar kepada konsumen
mengenai uang muka dan data diri kemudian konsumen mengisi surat permohonan
kredit. Apabila uang muka telah dibayar dengan angsuran pertama dan uang
administrasi yang dilakukan bersamaan dengan aplikasi kredit, langkah
selanjutnya adalah penandatanganan surat persetujuan bersama yang dilakukan
antara konsumen sebagai pembeli, dealer sebagai penjual dan perusahaan
pembiayaan sebagai penyedia dana[14].
Apabila prosedur tersebut telah dilakukan maka dilakukan penyerahan barang dari
dealer kepada konsumen di dalam perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia.
Ada 2 macam akta pokok yang harus dibuat
yaitu akta perjanjian pembiayaan dan akta perjanjian fidusia. Adapun
akta perjanjian pembiayaan merupakan pengikat para pihak dalam perjanjian
pokoknya. Sedangkan akta perjanjian fidusia berfungsi sebagai pengikat dalam
perjanjian accessoirnya (perjanjian yang mengikuti perjanjian pokok).
D. Murabahah dan Jaminan Fidusia
Secara historis jaminan
fidusia merupakan pengembangan dari hukum Barat (Belanda) berdasarkan
yurisprudensi. Fidusia merupakan bentuk jaminan yang timbul dari perjanjian
innominatif(tidak diatur dalam KUHPerdata) yang bersifat accessoir karena
adanya asas kebebasan kontrak. Bagaimanakah hukum Islam menyerap konsep hukum
ini sebagai aturan hukum yang dapat diterima?
Konsep hukum dalam
ajaran Islam berbeda dengan konsepsi hukum pada umumnya. Dalam Islam hukum
dipandang sebagai bagian dari ajaran agama.
Umat Islam meyakini bahwa hukum Islam berdasarkan wahyu ilahi. Oleh
karena itu, ia disebut syariah yang berarti jalan yang digariskan Tuhan untuk
manusia[15].
Praktek ekonomi yang
berkembang kini semakin luas dan beragam. Karena itu diperlukan aturan-aturan
hukum yang baru dan diperbaharui agar dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi
yang memerlukan penanganan hukum. Hukum akan kehilangan eksistensi dan
fungsinya jika tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat.
Melalui kerangka hukum Islam (sumber-sumber hukum Islam dan metode
penetapannya) yang elastis, sebenarnya hukum Islam selamanya tak akan kehilangan
eksistensi. Tetapi jika hukum Islam
hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak mendapat pengesahan dari
pemerintah, ia tetap tidak akan memiliki kemampuan mengikat yang pada akhirnya
hukum Islam tetap kurang memiliki eksistensinya dan fungsinya di masyarakat.
Berbagai masalah
dibahas dalam bingkai hukum Islam dari analisa tekstual dan kontekstual Al
Qur’an, Sunnah (hadist), ijma, ijtihad, qiyas sampai kepada
penetapan hukumnya. Tetapi sanksi yang dikenakan berdasarkan penetapan hukum
tersebut tidak akan memiliki kemampuan mengikat jika tidak disahkan oleh
pemerintah sebagai hukum yang berlaku. Pada akhirnya tetaplah hanya berupa
sebuah wacana dan sekalipun telah menghasilkan penetapan hukum (halal, haram
atau sanksi-sanksi tertentu) hal itu hanya dianggap sebagai sebuah pilihan bagi
para pelaku bisnis yang semuanya tergantung pada tingkat keterikatan dan
konsistensi setiap pribadi muslim terhadap hukum Islam.
Terbentuknya
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bukan hanya disebabkan Pengadilan Agama kini
berwenang menangani kasus-kasus hukum ekonomi Syariah[16]
tetapi lebih dari itu masyarakat sudah sangat membutuhkan kepastian hukum dalam
kontrak bisnis Syariah. Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dapat
merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat pada
zaman kekhalifahan Turki Usmani yang tentu saja disesuaikan dengan aktivitas
ekonomi di zaman modern ini[17].
Ada
banyak hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan dalam pembentukan
kompilasi hukum ekonomi Syariah dan praktek bisnis Syariah di lapangan. Kejayaan ekonomi Islam pada zaman Rasulallah,
Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah dan Bani Abassiyah telah memberikan inspirasi
kepada beberapa Negara muslim kontemporer untuk meniru sistem tersebut. Proses
peniruan ini tidak selamanya berjalan mulus karena sistem yang ditiru adalah
sistem yang komplet (kaffah), sedangkan yang meniru melakukannya dengan
parsial[18].
Pada
dasarnya beberapa aturan yang sesuai syariah telah ditetapkan dalam
kegiatan-kegiatan ekonomi termasuk dalam kontrak bisnis, khususnya tentang
perusahaan pembiayaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
84/PMK.012/2006 tentang perusahaan pembiayaan disebutkan bahwa perusahaan
pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan
kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.
Seperti
halnya KMK sebelumnya bahwa kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan terdiri dari 4
hal, yaitu: Sewa guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan / atau
pembiayaan konsumen.
Terhadap
kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan oleh Perusahaan Pembiayaan tersebut
dimungkinkan untuk penerapan Prinsip Syariah dalam operasionalnya. Adanya
menjadi semakin jelas setelah pada hari Senin, 10 Desember 2007, Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) melalui Peraturan Ketua
Bapepam dan LK Nomor Per-03/BL/ 2007 dan NomorPer-04/BL/2007 telah menerbitkakn satu paket regulasi yang
terkait dengan Perusahaan Pembiayaan yang melakukakn kegiatan berdasarkan
Prinsip Syariah, yaitu Peraturan tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan tentang Akad-Akad Yang Digunakan
Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
Penerbitan paket
regulasi tersebut adalah untuk memberikan landasan hukum yang memadai berkaitan
dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan berdasarkan
prinsip syariah serta guna memenuhi kebutuhan masyarkat pada industri
pembiayaan memerlukan keragaman sumber pembiayaan dan pendanaan berdasarkan
pada Syariat Islam[19].
Menurut Suhrawardi K
Lubis bahwa kegiatan pembiayaan
konsumen dalam syariat Islam dapat dipandang sebagai perbuatan murabahah[20]. Adapun
dasar diperbolehkannya bersandar pada ketentuan hukum yaitu dari Suhaib ra, menurutnya Rasulallah
bersabda:
Tiga perkara di dalamnya terdapat
keberkatan yaitu (1) menjual secara kredit (2) muqaradhah (mudharabah) (3)
mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah dan bukan untuk dijual
(HR Ibnu Majah).
Beberapa ketentuan
mengenai murabahah yang tertuang dalam Pasal 23 Peraturan Ketua Bapepam
dan LK No. PER-04/BL/2007 adalah sebagai berikut:
(1)
Murabahah dilakukan
berdasarkan pesanan, atau tanpa pesanan.
(2)
Dalam
pelaksanaan murabahah berdasarkan pesanan, Perusahaan Pembiayaan sebagai
penjual (ba’i) melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari
konsumen sebagai pembeli (musytari).
(3)
Murabahah berdasarkan
pesanan bersifat mengikat atau tidak mengikat pihak yang berhutang untuk
membeli barang yang dipesannya.
(4)
Dalam
pelaksanaan murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, konsumen
sebagai pembeli (musytari) tidak dapat membatalkan pesanannya.
Perusahaan Pembiayaan
yang memberikan Pembiayaan Konsumen berdasarkan akad murabahah ini
mempunyai hak antara lain: memperoleh bayaran dari konsumen sebesar harganya
secara angsuran sesuai yang diperjanjikan, mengambil kembali obyek Murabahah apabila konsumen sebagai pembeli (musytari)
tidak mampu membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan, dan menentukan
penyedia barang (supplier) dalam pembelian obyek Murabahah. Perusahaan
Pembiayaan Konsumen ini di mana ia bertindak sebagai penjual (ba’i)
mempunyai kewajiban antara lain: menyediakan obyek Murabahah sesuai yang
disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli (musytari) dan
menjamin obyek Murabahah tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan
baik.
Dalam menyediakan obyek
Murabahah Perusahaan Pembiayaan Konsumen dapat mewakilkan pembelian
barang tersebut kepada konsumen berdasarkan prinsip wakalah, yaitu
perjanjian (akad) di mana pihak yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan
kuasa kepada pihak yang menerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan
tertentu[21].
Dalam hal pembiayaan konsumen ini pihak yang diberi kuasa adalah konsumen
selaku pihak yang berkepentingan mendapatkan pembiayaan untuk kebutuhan
konsumsi.
Konsumen juga memiliki
hak dan kewajiban antara lain yakni hak untuk menerima obyek Murabahah dalam
keadaan baik dan siap dioprasikan,
kewajiban membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan dan mengembalikan atau menitipjualkan obyek yang dibiayai.
Obyek Murabahah
harus memenuhi ketentuan paling kurang: dapat dinilai dengan uang, dapat
diterima oleh konsumen, tidak dilarang oleh syariah Islam, dan spesifikasinya
harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik,
kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. Secara konkrit obyek Murabahah ini
antara lain dapat berupa kendaraan bermotor, rumah, barang-barang elektronik,
alat-alat rumah tangga bukan elektronik, dan barang konsumsi lainnya.
Perjanjian yang dibuat
oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang mendasarkan pada akad murabahah
ini paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Identitas
Perusahaan Pembiayaan dan konsumen.
b. Spesifikasi
Obyek murabahah meliputi nama,
jenis, jumlah, ukuran dan tipe.
c. Harga
jual, harga beli dan cara pembayaran angsuran.
d. Jangka
waktu.
e. Ketentuan
jaminan dan asuransi.
f. Ketentuan
mengenai uang muka.
g. Ketetntuan
mengenai diskon/potongan.
h. Ketentuan
mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo.
i.
Ketentuan
mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen yang menunda pembayaran angsuran,
dan
j.
Hak
dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Dokumentasi
yang diperlukan dalam Murabahah
oleh Perusahaan Pembiayaan Konsumen paling kurang meliputi: surat persetujuan
prinsip (offering letter), surat permohonan realisasi Murabahah, akad
Wakalah (bila diperlukan), tanda terima uang konsumen, dalam hal
Perusahaan Pembiayaan (ba’i) mewakilkan kepada konsumen (musytari)
melalui wakalah, akad Murabahah,
perjanjian pengikatan jaminan, dan tanda terima barang.
Menurut Suhrawardi K. Lubis pembiayaan konsumen
yang termasuk klasifikasi menjual secara kredit, merupakan pembiayaan konsumen
yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam[22].
Tetapi
jika dicermati maka terdapat point-point khusus yang dapat menjadi bahan
analisis adalah ada perusahaan pembiayaan yang
melakukan praktek murabahah
sebagai kontrak jual beli tunai dan kredit dan ada pula perusahaan pembiayaan
yang berfungsi sebagai penyedia dana. Dalam Pasal
116 ayat (2) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tertulis:
Penjual harus membeli barang yang
diperlukan pembeli atas nama penjual sendiri dan pembelian ini harus bebas
riba.
Dalam hal ini perlu
dianalisis apakah perusahaan pembiayaan berperan sebagai penjual atau sebagai
lembaga yang memberi hutang. Artinya apakah dalam kontrak yang dilakukan antara
konsumen dengan perusahaan pembiayaan itu transaksi hutang piutang murni
ataukah kontrak jual beli dengan cicilan. Perlu pula dianalisis apakah dalam
transaksi mengandung unsur riba atau tidak. Disamping itu apakah perusahaan
pembiayaan melakukan kontrak jual beli atas suatu barang yang diatasnamakan
penjual sendiri?
Dalam
murabahah dimungkinkan adanya kontrak jual beli dengan memakai jaminan seperti
tercantum dalam pasal 127 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yaitu:
Penjual dapat meminta kepada pembeli
untuk menyediakan jaminan atas benda yang dijualnya pada akad murabahah.
Selanjutnya dalam Pasal 129 Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah tertulis:
Akad murabahah dapat diselesaikan
dengan cara menjual obyek akad kepada Lembaga Keuangan Syariah dengan harga
pasar, atau nasabah melunasi sisa hutangnya kepada Lembaga Keuangan Syariah
dari hasil penjualan obyek akad.
Dari Pasal 127 dan 129
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini maka sebenarnya dimungkinkan dipraktekannya
jaminan fidusia dalam jual beli murabahah.
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa jaminan fidusia sangat dimungkinkan terjadinya dalam
akad murbahah dimana perusahaan pembiayaan berperan sebagai penjual yang
menjual barang secara kredit kepada konsumen (debitur) dengan diikutkannya
jaminan berupa benda yang diperjualbelikan tersebut. Dalam konteks ini
perusahaan pembiayaan bukanlah sebagai penyedia dana untuk dihutangkan kepada
debitur (konsumen) tetapi sebagai pedagang yang menjual barang secara kredit
kepada pembeli (debitur), sehingga dengan demikian barang yang diperjualbelikan
tersebut harus diatasnamakan penjual (perusahaan pembiayaan) sebelum terjadinya
kontrak jual beli kredit.
E. Penutup
Demikianlah
bisnis selalu memegang peranan vital dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia
sepanjang masa. Karena itulah kegiatan bisnis harus senantiasa didukung dengan
perangkat hukum yang jelas. Umat Islam telah lama terlibat dalam dunia bisnis
sejak empat belas abad yang lalu. Fenomena ini bukanlah hal yang aneh, karena
Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulallah SAW
sendiri terlibat dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama isterinya
Khadijah.
Seorang
ilmuwan dari Barat C.C Torrey dalam disertasinya berjudul The Commercial
Theological Terms in the Koran menyatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan
terminologi bisnis sedemikian ekstensif dimana ditemukan 20 macam terminologi
bisnis dalam
al-Qur’an dan siulang
sebanyak 370 kali dalam berbagai ayat[23].
Al-Qur’an
mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit dengan banyaknya instruksi yang
sangat detail tentang hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam praktek
bisnis. Para peneliti yang meneliti hal-hal yang ada dalam al-Qur’an mengakui bahwa
praktek perundang-undangan al-Qur’an
selalu berhubungan dengan transaksi[24].
Hal ini menandakan bahwa betapa aktivitas bisnis itu sangat penting menurut al-Qur’an.
Kegiatan
bisnis pada dasarnya merupakan praktek ekonomi yang sangat vital bukan hanya
bagi individu tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Karena itulah
kepastian hukum sangat diperlukan dalam kegiatan bisnis ini demi untuk memenuhi
rasa keadilan dalam bertransaksi. Hukum Islam memberikan banyak peluang untuk
terus dapat diperbaharui melalui proses ijtihad demi untuk dapat berfungsi dan
mengantisipasi kegiatan bisis yang terus berkembang semakin beragam.
No comments:
Post a Comment