A. Proses Penyesuaian Dalam Perkawinan
1. Komunikasi Dalam Keluarga
Perkawinan adalah
sebuah kehidupan baru bagi masing-masing pasangan. Setelah perkawinan terdapat
kosa kata baru dalam kehidupan pribadi seseorang yaitu istilah “suamiku” atau “istriku”.
Kosa kata baru tersebut memiliki arti penting dalam kehidupan setiap pasangan
karena didalamya memiliki makna “kebersaman”. Kebersaman berarti melakukan
segala sesuatu secara bersama-sama, misalnya tinggal satu rumah, tidur
bersama-sama, mendidik anak-anak bersama dan segala sesuatu yang penting dalam
kehidupan selalu dibicarakan bersama. Di dalam kebersamaan terdapat
kesepakatan, kemampuan bekerja sama sebagai sebuah tim, kemampuan untuk menerima
kelebihan dan kekurangan pasangannya dan kemampuan menerima kritik dari
pasangannya. Diatas semua itu, kebersamaan yang harmonis harus didukung oleh
komunikasi yang baik dan efektif antara suami dan istri.
Satu hal yang perlu
diingat dalam kehidupan bersama (perkawinan) adalah bahwa tidak ada relasi yang
damai seumur hidup. Jika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka selalu
ada kemungkinan terjadi konflik; sekecil apapun. Karena itu, komunikasi antara
suami istri mungkin saja berbentuk perbedaan pendapat, perdebatan ataupun
konflik. Tetapi sebaiknya semua bentuk perdebatan dituntaskan pada waktu itu
juga, jangan sampai terpendam dalam hati yang pada akhirnya akan menimbulkan
ledakan emosi. Pasangan yang harmonis bukan berarti merupakan pasangan yang
tanpa konflik dan pedebatan. Pasangan yang harmonis adalah pasangan yang dapat
mengelola konflik tersebut ke arah yang lebih positif sehingga menciptakan
keseimbangan dan kestabilan.
Bukan hanya
persoalan-persoalan yang menuntut pemecahan yang perlu dibicarakan (seperti
anggaran rumah tangga, biaya pendidikan dan lain-lain), tetapi juga perasaan
senang dan sedih perlu dikomunikasikan kepada pasangan. Menurut para psikolog,
rasa senang tidak akan berkurang jika diceritakan pada orang tetapi sebaliknya
perasan sedih akan berkurang apabila bisa diceritakan kepada orang lain. Maka
fungsi komunikasi antara suami istri tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan
masalah-masalah praktis yang membutuhkan pemecahan konkrit, tetapi juga
berfungsi sebagai sarana ‘curhat’ dalam mengeluarkan beban fikiran dan perasaan,
sehingga masing-masing pasangan merasakan kepuasan dan rasa nyaman dalam relasi
suami-istri. Dalam proses komunikasi ini masing-masing pasangan dapat belajar
untuk mendengarkan dan saling memahami.
John Powell dalam
bukunya Why I am Afraid to Tell You Who I am, menyatakan ada 5 tingkatan
yang memungkinkan manusia mengadakan komunikasi[1]
yaitu:
1.
Percakapan sederhana.
Percakapan sederhana mencakup pertanyaan dan pernyataan seperti “apa kabar?”.
“Pakaianmu bagus sekali”. “Kamu sedang memikirkan apa?”. Dalam relasi suami-istri
pertanyaan dan pernyataan seperti ini cukup penting untuk menunjukkan
perhatian. Setidaknya hal itu lebih baik dilakukan dari pada diam saja. Tetapi
jangan berhenti pada tingkatan ini, karena percakapan demikian jika dilakukan
berulang-ulang membuat seseorang menjadi jengkel.
2.
Percakapan faktual. Percakapan
pada tahap ini bersifat informatif tanpa diikuti komentar atau opini, misalnya
“Mau kemana?”. “Saya mendengar berita bencana alam di TV” atau “Artikel tentang
ekonomi rumah tangga ini membahas tentang …” Percakapan yang informatif seperti
ini dapat mendukung komunikasi yang baik dalam relasi suami istri, apalagi jika
suami dan istri memiliki minat yang sama tentang satu obyek tertentu yang
menarik untuk diperbincangkan.
3.
Ide-ide dan opini. Percakapan ini mengikutisertakan
peranan
perasaan mengenai hal tertentu. Dengan meyampaikan perasaan dan isi hati,
masing-masing pasangan akan belajar untuk saling mendengarkan dan memahami.
Percakapan pada tingkat ini merupakan percakapan yang lebih intim. Relasi suami
istri setidaknya harus mencapai tingkatan komunikasi ini untuk dapat saling
mengerti dan memahami.
4.
Perasaan dan emosi. Percakapan
pada tingkat ini melukiskan apa yang terjadi dalam diri sendiri untuk disampaikan
pada orang lain (pasangannya), meliputi perasaan terhadap pasangan atau
terhadap situasi tertentu seperti rasa khawatir, rasa marah/ jengkel dan rasa
senang. Perasaan seperti ini mirip seperti seseorang yang sedang “curhat”
kepada sahabatnya. Begitulah sebaiknya relasi suami istri. Komunikasi seperti
ini dapat terjadi apabila seseorang merasa nyaman untuk bercerita kepada
pasangannya. Cara berbicara, kapan pembicaraan itu dilakukan dan bagaimana
situasi fikiran dan perasaan masing-masing akan sangat menentukan efek dari
komunikasi tersebut. Kadang-kadang komunikasi yang dilakukan dalam cara dan
waktu yang kurang tepat akan menimbulkan suasana yang kurang nyaman dan penuh
ketegangan tetapi jika komunikasi seperti ini dilakukan dalam situasi yang kondusif
justru akan memperkuat relasi yang akrab antara suami istri.
5.
Pandangan yang mendalam. Bila
antara suami istri terdapat saling berbagi perasaan yang terdalam maka
komunikasi yang mantap sudah terbina dalam lembaga perkawinan. Dalam komunikasi
tingkat ini terdapat suasana saling pengertian yang timbal balik disertai rasa
puas. Komunikasi seperti ini akan terjadi apabila suami istri memiliki empati
dan rasa tenggang rasa yang kuat satu sama lain.
Sebaiknya suami/ istri tidak takut atau malas untuk berkomunikasi
dengan pasangannya hanya karena menghindari perdebatan/ pertengkaran. Sikap
diam atau membisu justru akan menimbulkan prasangka yang bermacam-macam dari
pasangannya. Di lain pihak perasaan kecewa, marah atau tidak puas yang dipendam
akan menimbulkan ledakan emosi pada suatu waktu atau mengarah pada bentuk
kompensasi-kompensasi lain yang justru dapat merusak relasi suami istri. Selain
itu cara berkomunikasi pun sebaiknya dipelajari agar tidak menyinggung perasaan
pasangan. Kadangkala karena diliputi perasaan kecewa atau marah, seseorang
menjadi tidak terkontrol dalam mengungkapkan perasaannya. Dr Bonnie Eaker Weil,
penasehat perkawinan dari Amerika memberikan pelatihan praktis tentang membina
hubungan keakraban cinta antara suami istri[2].
Disitu para peserta diajarkan bagaimana mengungkapkan atau mengatakan perasaan
dan keinginan, harapan, impian, ketakutan dan ketidaksukaan termasuk keluhan
yang sepele. Misalnya para pasangan belajar mengatakan “Sebaiknya jangan
meletakkan handuk basah di tempat tidur setelah mandi,” tanpa nada menyalahkan.
Pekataan demikian lebih baik daripada mengucapkan “Kamu jorok sekali,
meletakkan handuk basah di tempat tidur.” Para
ahli ilmu masalah keluarga yang bergerak dalam bimbingan dan penyuluhan
mengakui bahwa sebagian besar kesulitan yang timbul dalam keluarga, yang
mengakibatkan keretakan dan perceraian dalam keluarga adalah akibat persoalan
komunikasi[3].
Kadangkala pertengkaran hanya menyangkut masalah sepele, tetapi masing-masing mempertahankan
egonya, tidak mau mengalah karena gengsi. Nancy Van Pelt dalam bukunya The
Complete Marriage menyatakan bahwa komunikasi baru dikatakan lengkap
apabila pasangan yang bersangkutan dapat mengikuti tiga prinsip secara
konsisten[4].
Pertama, apabila mereka dapat menggunakan secara efektif dasar-dasar
yang berkaitan dengan percakapan dan pendengaran. Kedua, apabila mereka
dapat menyelesaikan konflik dengan metode yang konstruktif. Ketiga,
apabila mereka menggunakan waktu bersama dalam kehidupan sehari-hari untuk
saling berbagi perasaan.
Komunikasi yang
efektif tidak akan tercipta apabila percakapan hanya dilakukan atau didominasi
satu arah. Komunikasi adalah proses memberi dan menerima informasi. Pihak yang
menerima informasi akan menafsirkan apa yang didengarnya dan memberi reaksi dengan
tingkah laku tertentu. Inti permasalahan dari komunikasi dua arah ini adalah
sejauhmana penerima informasi memahami maksud pemberi informasi. Dari kesalahan
pemahaman penerima informasi inilah yang kadang-kadang menimbulkan permasalahan
baru bagi pasangan suami istri. Kadang-kadang ungkapan yang disampaikan
seseorang diterima dengan pemahaman yang salah oleh pasangannya (tidak sesuai
dengan maksud yang ingin disampaikan oleh orang yang bersangkutan). Karena
itulah setiap pasangan harus belajar untuk menyampaikan sesuatu dengan cara
yang tepat. Dialog dalam relasi suami istri perlu dibina terus menerus untuk
terciptanya hubungan yang akrab, lebih intim dan nyaman.
Dalam keluarga,
struktur hubungan bukan hanya melibatkan pasangan suami istri tetapi juga anak-anak.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan antar anggota keluarga adalah
sebuah proses. Jadi relationship dalam keluarga bukan being tapi becoming,
sebuah proses pertumbuhan yang terus menerus[5].
Relationship mengandung makna perubahan yang terus menerus terjadi.
Perubahan-perubahan keluarga dapat terjadi dalam jangka pendek ataupun jangka
panjang misalnya perubahan ritme kerja, perubahan cara pandang, pertumbuhan
anak-anak menjadi remaja dan banyak lagi. Perubahan-perubahan ini potensial menimbulkan
masalah apabila tidak didukung dengan keterampilan komunikasi dalam keluraga. Ada 3 strategi komunikasi dalam keluarga[6].
Pertama, merupakan strategi komunikasi yang mendasar (base
line communication strategy) yaitu dengan cara monitoring communication.
Disini keluarga (antar anggota keluarga) harus mempunyai waktu khusus untuk
berbincang-bincang tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dan
membicarakannya secara terbuka. Misalnya suami yang biasanya banyak bercerita
kepada istrinya sepulang kerja kini lebih banyak diam. Pada saat seperti ini
pasangan suami istri harus meninjau kembali pola-pola hubungan mereka. Si istri
jangan menyimpannya dalam hati atau mengabaikan masalah ini karena takut
menyinggung perasaan pasangannya. Perubahan pada anak-anak juga harus
senantiasa terpantau oleh orang tua dan membicarakannya dengan anak-anak.
Dengan bentuk komunikasi seperti ini, kondisi-kondisi yang potensial
menimbulkan masalah akan dapat dihindari.
Pertama, yang termasuk
dalam base line communication strategy adalah communication climate (iklim komunikasi). Ciptakan iklim komunikasi dalam
suasana mengobrol. Kini banyak keluarga yang tidak dapat merasakan kenikmatan
mengobrol. Jika situasi seperti ini terjadi dalam keluarga maka sebaiknya diusahakan
utuk menghidupkan kembali keakraban berkomunikasi. Kadang-kadang suami istri
terjebak dalam rutinitas, berkomunikasi untuk hal-hal yang praktis dan kehilangan ungkapan
ekspresinya dalam berkomunikasi. Ada pilihan dialog untuk istri yang membutuhkan
kebersamaan ketika suaminya sangat sibuk di luar rumah, misalnya “Kenapa pulang
selalu larut malam, sama sekali tidak punya waktu untuk saya dan anak-anak.”
Atau “Kami sangat tergantung kepadamu, saya dan anak-anak sangat kangen untuk
dapat mengobrol santai dengan mu.” Tentu saja pilihan dialog yang terakhir
merupakan dialog yang lebih baik dalam menciptakan iklim komunikasi yang lebih
akrab. Iklim komunikasi yang baik juga harus diciptakan antara orang tua dengan
anak-anak. Kadang-kadang orang tua sangat instruktif. Komunikasi kebanyakan
bersifat satu arah dan berisi instruksi-instruksi yang harus dan tidak boleh
dilakukan. Unsur ekspresif dari rasa sayang kurang terungkap dalam bentuk
komunikasi seperti ini. Karena itu anggota keluarga membutuhkan saat-saat
dimana mereka dapat menghabiskan waktu bersama dalam kesempatan yang lebih
santai misalnya nonton tv bersama, minum teh sore hari atau makan malam
bersama. Situasi kebersamaan seperti itu akan menciptakan suasana keakraban dan
pada saat seperti inilah orang tua dan anak-anak dapat saling bertukar
informasi, mengungkapkan keinginan, harapan dan sebagainya.
Kedua, intimate
communication strategy. Komunikasi dalam keluarga memerlukan keterlibatan
emosi. Keluarga masa kini seringkali kehilangan unsur emosi dan mereka hanya
berbicara yang perlu-perlu saja. Dalam kehidupan sekarang ini dimana hubungan
sosial
cenderung individualistik, justru lembaga keluarga yang seharusnya dapat
memenuhi kebutuhan akan hubungan sosial yang akrab. Setiap pasangan perlu mengucapkan
rasa cinta dengan melibatkan unsur emosinya, tidak hanya sekedar rutinitas
setiap pagi. Mengucapkan rasa sayang dengan getaran emosi sangat baik pengaruhnya terhadap jiwa
seseorang. Orang tua sebaiknya lebih ekspresif terhadap anaknya terutama dalam
mengungkapkan rasa sayangnya. Tingkah laku yang ekspresif orang tua dalam
mengungkapkan rasa sayangnya akan membuat anak merasa nyaman dan dialog akan
menjadi lebih komunikatif. Dengan dialog yang komunikatif, maka kontrol orang
tua terhadap anak akan lebih mudah dijalankan. Selain itu orang tua akan lebih
mudah menyampaikan pesan-pesan (berupa larangan, keharusan, anjuran) kepada
anak. Setiap orang sebaiknya berlatih untuk mengekspresikan emosinya demi hubungan yang lebih
baik dengan orang-orang terdekatnya, terutama dengan pasangannya dan
anak-anaknya.
Ketiga,
revitalizing communication strategy. Strategi komunikasi pada tahap ini
merupakan usaha untuk memperbaiki kembali komunikasi antar anggota keluarga
yang sudah terasa hambar. Biaya pendidikan dan kebutuhan hidup yang semakin
tinggi, kesibukan anak-anak dan orang tua dengan urusannya masing-masing
menyebabkan intensitas interaksi menjadi berkurang, berkomunikasi untuk hal-hal
penting yang bersifat praktis saja sehingga jarak emosi menjadi renggang. Revitalisasi
komunikasi dapat dilakukan dengan memberi kejutan-kejutan yang menyenangkan
untuk anggota keluarga atau melakukan acara liburan bersama dengan anggota
keluarga. Untuk pasangan suami istri, revitalisasi komunikasi dapat dilakukan
misalnya dengan menghabiskan waktu berdua saja mengunjungi tempat-tempat yang
penuh kenangan atau hanya sekedar mengobrol ringan setelah anak-anak tidur.
2. Beberapa Aspek Perbedaan dan Persamaan Individu Dalam Keluarga.
Perkawinan
merupakan penyatuan dua pribadi dalam sebuah kehidupan bersama. Untuk menciptakan
sebuah kehidupan besama yang harmonis, penyesuaian diri satu sama lain
merupakan sebuah keharusan. Pasangan suami istri pasti memiliki persamaan dan
perbedaan yang mungkin akan mendukung keharmonisan atau justru menjadi pemicu
konflik dalam perkawinan. Persamaan dan perbedaan ini mencakup karakter, minat,
latar belakang pendidikan, lingkungan keluarga dan sistem nilai.
Sebagian orang
berpendapat, apabila pasangan suami istri memiliki banyak persamaan, perkawinannya
akan lebih harmonis. Asumsi ini tidak selalu benar. Persamaan karakter pasangan
suami istri mungkin akan mempermudah proses penyesuaian diri dalam perkawinan.
Pasangan suami istri yang sama-sama memiliki sifat terbuka (ekstrovert) akan
lebih mudah menjalin komunikasi secara terbuka dan jujur. Sebaliknya pasangan
suami istri yang sama-sama memiliki sifat tertutup (introvert), tidak terlatih
untuk mengungkapkan perasaan dan fikirannya, sehingga semua bentuk kekecewaan
dipendam dalam hati, akan menjadi penghambat proses komunikasi dan dapat
menjadi pemicu konflik dalam perkawinan.
Perbedaan karakter
suami istri dapat saling melengkapi, misalnya sifat suami yang pendiam dengan istri
yang humoris dan periang. Interaksi antara keduanya akan memberikan nuansa baru
bagi masing-masing pribadi. Tetapi perbedaan sifat juga seringkali dapat memicu
konflik, misalnya istri yang hidup serba teratur, terjadwal dan cenderung kaku
dengan suami yang menghadapi keseharian dengan lebih santai, rileks dan
mengalir apa adanya.
Yang terpenting
dalam perkawinan adalah kedewasaan menerima perbedaan dan keunikan pribadi
pasangannya. Kepribadian dapat berubah atau berkembang. Dalam perkawinan dimana
relasi antara pasangan berjalan intens dan intim, proses saling mempengaruhi
kepribadian masing-masing sangatlah kuat. Sebaiknya biarkanlah proses saling
mempengaruhi ini berjalan alami dan tidak memaksakan pasangannya untuk berubah
sesuai keinginannya. Individu memerlukan proses dan waktu yang cukup lama untuk
berubah dan berkembang. Tetapi diharapkan pasangan suami istri akan dapat
saling mendukung untuk perkembangan pribadi ke arah yang lebih positif.
Berkembang ke arah yang lebih positif dalam segala hal, itulah salah satu makna
perkawinan.
Persamaan minat
atau hobi, dapat juga menunjang kelancaran komunikasi dan harmonisasi relasi
suami istri. Dengan hobi dan minat yang sama, suami istri memiliki pokok
bahasan yang menarik untuk diperbincangkan dan melakukan kegiatan itu
bersama-sama. Misalnya suami istri yang memiliki minat yang sama dalam bidang
tanaman, dapat menghabiskan waktu bersama-sama dengan menata halaman rumahnya.
Jika suami memiliki hobi yang tidak disukai istri atau sebaliknya, maka
diperlukan rasa toleransi dengan memberikan kesempatan pada pasangannya untuk
menyalurkan minat atau hobinya sejauh tidak menyita waktu yang dapat mengesampingkan
pekerjaan atau kebersamaan dengan keluarga. Dapat pula terjadi, istri atau
suami yang memiliki hobi atau minat baru karena pengaruh pasangannya. Hal
demikian terjadi apabila keterlibatan satu sama lain dalam segi emosi atau
pertukaran pengalaman sangat kuat.
Jika pasangan suami
istri memiliki perbedaan yang tajam dalam tingkat pendidikan mungkin akan
terjadi kesenjangan dalam komunikasi, cara berfikir dan wawasan, sekalipun hal
ini tidak mutlak. Dalam kondisi seperti ini komunikasi suami istri mungkin
terbatas pada hal-hal yang praktis dan emosional saja. Untuk orang-orang
tertentu, dialog yang dibutuhkan tidak hanya menyangkut hal-hal yang praktis
keseharian atau masalah perasaan saja, tetapi juga tentang pemikiran-pemikiran
tertentu misalnya mengenai masalah yang terjadi di lingkungan kerja dan
sebagainya. Dialog perlu dilakukan
oleh setiap pasangan, terutama bagi para suami/ istri
yang mungkin mengharapkan pendapat atau saran dari masalah yang tidak dapat
diceritakan kepada orang lain selain kepada pasangannya. Jika suami/ istri tidak
dapat mengimbangi pemikiran/ dan wawasan pasangannya maka hal ini dapat menjadi faktor penghambat dalam
menjalin komunikasi yang lebih dalam. Tetapi melalui proses waktu, beberapa
pasangan dapat mengatasi hal ini karena pertukaran informasi yang intens dapat
ikut serta membuka atau memperluas wawasan dan pemikiran pasangannya. Banyak
perempuan di Indonesia
memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan tidak memiliki pekerjaan di
luar rumah. Hal ini berarti waktu lebih banyak dipergunakan di sektor domestik.
Laki-laki pada umumnya bekerja di sektor publik. Tidak seperti sektor domestik
yang terbatas pada dinding rumah dan anak-anak, sektor publik banyak memberi
kesempatan untuk lebih berkembang dalam pergaulan, wawasan dan jenjang karir.
Jika istri di dalam rumah stagnan dalam pergaulan, wawasan dan pemikiran, tidak
demikian dengan suami yang memiliki kesempatan berkembang. Maka jika suami
melesat dalam segala aspeknya meninggalkan istri dalam stagnasinya, kesenjangan
akan terjadi. Selayaknya istri diberi kesempatan untuk lebih berkembang
sehingga hambatan komunikasi karena kesenjangan pendidikan, pemikiran dan
wawasan dapat ditanggulangi.
Lingkungan keluarga
sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Hampir separuh kehidupan
seseorang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Maka ketika seseorang
memutuskan untuk menikah dengan pasangannya maka produk dari dua lingkungan
yang berbeda akan bersatu membentuk lingkungan baru. Pasangan yang memiliki
latar belakang keluarga yang tidak jauh berbeda, mungkin tidak akan menimbulkan
masalah yang berarti dan proses penyesuaian diri terhadap pasangan dan keluarganya
akan menjadi lebih mudah. Perbedaan kebiasaan keluarga masing-masing, pada
saat-saat tertentu mungkin akan menimbulkan masalah. Salah satu contoh kasus,
misalnya pihak keluarga istri terbiasa dengan keterikatan keluarga yang kuat,
sedangkan pihak suami merupakan keluarga yang masing-masing memiliki
kemandirian dalam menyelesaikan masalah pribadinya. Ketika ada masalah yang
harus diselesaikan oleh pasangan itu, keterlibatan keluarga dari pihak istri
mungkin akan dinilai oleh suami sebagai sikap ‘ingin ikut campur’ masalah rumah
tangga, sedangkan bagi istri hal itu merupakan bentuk kepedulian yang memang
seharusnya dilakukan sebagai sebuah keluarga besar.
Peran seorang
laki-laki sebagai suami dan ayah dalam keluarga merupakan referensi bagi anak
laki-lakinya jika kelak anaknya berumah tangga. Demikian juga halnya dengan
seorang ibu dan anak perempuannya. Seorang anak, melalui proses sosialisasi
dalam keluarga, akan mempelajari peran-peran ayah dan ibu dalam keluarga.
Proses sosialisasi selama puluhan tahun sampai anak siap menikah adalah waktu
yang cukup lama untuk dapat mempelajari peran-peran itu. Jika seorang anak
tumbuh dalam keluarga ‘yang normal’ dimana peran ayah dan ibu sudah terkonsep
dengan jelas maka tidak sulit bagi seorang anak untuk dapat menjalankan
peran-perannya nanti dalam rumah tangga. Tetapi jika seorang anak hidup dalam
keluarga yang tidak utuh, maka mungkin anak harus belajar lebih keras dari
pengalaman dan wawasan untuk menjadi pasangan dan orang tua yang mampu
menjalankan peran-perannya dengan baik.
Sistem nilai merupakan
seperangkat ide, kepercayaan dan aturan yang mempengaruhi cara pandang dan
mengendalikan perilaku seseorang. Pasangan suami istri yang memiliki sistem
nilai yang sama akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah rumah tangga karena
memiliki cara pandang yang sama terhadap sebuah kenyataan, sehingga lebih cepat
menemukan kesepakatan-kesepakatan dalam memecahkan masalahnya tersebut.
Dalam tradisi perkawinan masyarakat Indonesia
seringkali dikenal istilah bibit, bebet, bobot artinya dalam mencari jodoh
hendaklah diperhatikan kedudukan sosial, keturunan, kekayaan dan kepandaiannya.
Kesamaan derajat dalam bibit, bebet, bobot ini diharapkan dapat mendukung
proses penyesuaian dan harminosasi antara suami istri. Didalam wacana perkawinan
Islam terdapat istilah kafa’ah
atau kufu (kesamaan derajat). Tetapi tolok ukur kufu dalam
perkawinan Islam memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemahaman bibit bebet
bobot dalam tradisi masyarakat. Imam Ibnu Hazm berpendapat:
“Kafa’ah (kufu) yaitu kesamaan derajat,
status dan keadaan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah, sebenarnya
tidak ada dalam Islam. Semua orang Islam itu kufu dengan yang lainnya. Siapapun
laki-laki muslim adalah kufu’ dengan siapapun perempuan muslimah selama
perempuannya tidak berzinah”[7].
Jadi pengertian kufu
dalam wacana perkawinan Islam adalah kufu (sederajat) dalam akhlak dan
agama bukan dari kedudukan sosial, keturunan, kepandaian atau kekayaan.
Jika ditarik dalam konteks yang
lebih umum, maka agama adalah merupakan sebuah sistem nilai. Sedangkan akhlak memiliki
pengertian yang sama dengan istilah attitude (sikap) dan behavioral
(tingkah laku). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa harmonisasi perkawinan lebih mudah terwujud bila terdapat kesamaan dalam sistem nilai
(agama), sikap serta perilaku (akhlak).
B.
Kesepakatan-kesepakatan Dalam Perkawinan
1. Manajemen Rumah Tangga
Manajemen dapat diartikan sebagai
pengelolaan organisasi yang terkoordinir. Manajemen berhubungan dengan
penetapan usaha untuk mencapai sasaran-sasaran atau target-target tertentu.
Pada umumnya istilah dan pemahaman tentang manajemen dipakai pada
organisasi-organisasi formal seperti perusahaan, institusi pemerintah,
lembaga-lembaga sosial dan sejenisnya. Tetapi sebenarnya setiap organisasi atau
kelompok apapun, baik kelompok formal maupun isnormal pasti memerlukan
manajemen yang baik, selama kelompok tersebut memiliki sasaran-sasaran yang
ingin dicapai.
Keluarga atau rumah tangga sebagai
sebuah kelompok informal, juga memerlukan manajemen (pengelolaan) yang baik untuk
mencapai tujuan-tujuannya. Sasaran-sasaran yang ingin dicapai keluarga dapat
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan yang bersifat kualitatif
misalnya terpenuhinya kebutuhan emosional anggota keluarga seperti perasaan
dicintai, rasa aman, empati, toleransi dan sebagainya. Tujuan-tujuan yang
bersifat kuantitatif merupakan target-target yang dapat diukur secara pasti
misalnya usaha untuk meningkatkan pendapat hingga jumlah tertentu, target
pendidikan anak-anak, peningkatan fasilitas dalam rumah yang menunjang
kemudahan pekerjaan misalnya mobil, barang-barang elektronik dan alat-alat
kebutuhan rumah tangga.
Ada beberapa langkah yang harus
dirumuskan untuk mencapai manajemen (pengelolaan) yang baik dalam rumah tangga
yaitu: Pertama, pembagian peran dalam rumah tangga.Pembagian peran
berawal dari konsep yang lebih prinsipil yang didasari pada sistem nilai
tertentu sampai pada pembagian tugas harian. Layaknya sebuah kelompok, keluarga
memiliki strukturnya sendiri. Adanya pemimpin dalam kelompok merupakan sebuah
keharusan demi keteraturan dan kestabilan kelompok tersebut. Di dalam Islam,
kepemimpinan dalam rumah tangga dibebankan kepada suami (ayah). Dari aspek
spiritual suami (ayah) lebih berperan sebagai kontrol terhadap moral anggota
keluarganya. Sedangkan dari aspek
ekonomi, suami (ayah) wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Tanggung jawab
ekonomi suami (ayah) lebih bersifat kontekstual. Artinya masih dapat
ditafsirkan lagi sesuai kasus dan situasi social yang terjadi, misalnya suami
sakit atau mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)
sehingga tidak dapat menanggung beban ekonomi keluarga. Pada kasus lain,
misalnya penghasilan suami (ayah) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga sehingga anggota keluarga lain ikut membantu mencari nafkah.
Penetapan peran sebagai pemimpin keluarga yang dibebankan kepada suami (ayah)
tidak hanya bermakna sosial (untuk kestabilan keluarga sebagai sebuah kelompok)
tetapi juga bersifat sakral. Di dalam Islam kepemimpin suami (ayah) dalam
keluarga akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti demikian juga dengan
peran-peran istri (ibu).
Selanjutnya pembagian peran dalam
rumah tangga hendaknya diterjemahkan lagi dalam konteks keseharian yang lebih
operasional, misalnya pembagian peran dalam pekerjaan rumah tangga. Setiap
keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam menangani
pekerjaan-pekejaan rumah tangganya setiap hari. Misalnya pada pasangan yang
kedua-duanya bekerja di luar rumah dan tidak memiliki pembantu rumah tangga,
maka pekerjaan rumah dapat dibagi dengan adil disesuaikan dengan beban kerja
dan jam kerja luar rumahnya. Anak-anak pun perlu mendapat pembagian tugas
pekerjaan rumah yang disesuaikan dengan jam sekolah dan jam belajarnya. Dengan
pembagian tugas di dalam rumah, maka pekerjaan-pekerjaan rumah tangga akan
lebih mudah diatasi sekaligus mengajari anak-anak supaya lebih mandiri. Jika
rumah tangga mampu mengupah pembantu rumah tangga, maka orang tua dapat lebih
fokus pada tugas-tugas yang tidak bisa digantikan oleh orang lain seperti
relasi yang lebih intim dengan anak-anak, dan tugas-tugas yang berkaitan dengan
peran-perannya sebagai suami dan istri.
Kedua, perencanaan keuangan
rumah tangga. Setiap pasangan perlu memiliki rencana keuangan rumah tangga
untuk kehidupan yang lebih baik dan terkendali. Menurut survey yang dilakukan
Sun Life Financial Indonsia terhadap pasangan suami istri kalangan menengah
atas berusia 30-44 tahun, di Jakarta dan Surabaya, tahun 2002, 85% dari mereka memiliki
perencanaan keuangan dan 74% nya hanya merencanakan untuk jangka waktu 1 bulan[8].
Menurut konsultan perencanaan keuangan Safir Senduk, perencanaan keuangan adalah
proses untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan yang diinginkan, baik tujuan
jangka pendek maupun tujuan jangka panjang[9].
Tujuan-tujuan keuangan tersebut antara lain mempersiapkan dana pendidikan anak,
masa pensiun, membeli rumah, meningkatkan investasi dan sebagainya. Sebenarnya
perencanaan keuangan bulanan saja tidak cukup. Mengapa? Karena kebutuhan hidup
tidak melulu merupakan kebutuhan rutinitas seperti rekening listrik, tagihan
telepon dan sebagainya. Ada beberapa kebutuhan yang bersifat insidental (tidak
rutin) tetapi harus dipenuhi seperti biaya pendidikan anak masuk sekolah, biaya
persalinan dan biaya tak terduga lainnya. Selain itu mungkin ada
rencana-rencana lain seperti seperti
renovasi rumah, membeli barang elektronik atau kebutuhan untuk hari-hari
istimewa seperti hari raya atau khitanan.
Dengan adanya perencanaan keuangan,
kehidupan ekonomi rumah tangga menjadi lebih terkendali, karena rumah tangga memiliki
alasan yang kuat untuk apa menyimpan uang dan mengapa membeli suatu barang.
Perencanaan keuangan akan membuat orang terhindar dari pemborosan dan terjerat
hutang. Berikut beberapa saran dalam melaksanakan perencanaan keuangan:
1.
Biaya pengeluaran rutin harus dari penghasilan rutin (penghasilan tetap).
Sebaiknya rumah tangga mempersiapkan pembayaran rekening bulanan untuk bulan
depan dari penghasilan rutin bulan ini, misalnya membayar rekening bulanan bulan
Agustus dari penghasilan tetap bulan juli. Siapkan beberapa amplop untuk setiap
pengeluaran rutin yang harus dibayarkan. Selain itu dianjurkan untuk
mengalokasikan tabungan sebagai pos pengeluaran rutin tiap bulan. Tabungan ini
dapat digunakan sebagai dana cadangan atau investasi di masa depan.
2.
Jangan menggunakan penghasilan rutin (pendapatan tetap) untuk pengeluaran di
luar anggaran. Sebaiknya tundalah pengeluaran tersebut sampai punya kelebihan
uang atau jika tidak dapat dihindari (misalnya terkena musibah) maka gunakanlah
tabungan.
3.
Siapkan dana pendidikan anak. Dana pendidikan anak dapat diperoleh dari
tabungan yang memang dipersiapkan untuk itu.
4.
Carilah penghasilan tambahan. Penghasilan tambahan perlu diusahakan untuk
meningkatkan kemampuan ekonomi rumah tangga. Apalagi jika pengeluaran rutin
tidak dapat diatasi oleh penghasilan rutin.
Yang perlu diperhatikan oleh setiap
rumah tangga adalah tindakan mengkonsumsi. Kesulitan bagi setiap rumah tangga adalah
mengurangi pengeluaran rutin. Yang sering terjadi justru sebaliknya pengeluaran
rutin meningkat, sementara penghasilan rutin tidak meningkat, sehingga mencari
penghasilan tambahan merupakan suatu keharusan. Meningkatnya pengeluaran rutin
bisa disebabkan kasus-kasus tertentu, misalnya meningkatnya biaya pendidikan
anak seiring dengan peningkatan jenjang pendidikan, bertambahnya anggota
keluarga atau keinginan menikmati fasilitas-fasilitas tertentu seperti rekreasi.
Tetapi meningkatnya pengeluaran rutin belum tentu disebabkan karena rumah
tangga lebih banyak melakukan tindakan konsumsi. Boleh jadi tindakan konsumsi
tidak meningkat tetapi harga-harga barang konsumsilah yang meningkat sehingga
pengeluaran rutin untuk konsumsi ikut meningkat, misalnya kenaikan harga BBM
mempengaruhi kenaikan harga barang-barang pokok dan jasa.
Ekonomi
rumah tangga memiliki kecenderungan pola konsumsi tertentu. Jika rumah tangga memiliki
penghasilan lebih, cenderung lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi bukan
pada tabungan atau investasi, tetapi jika penghasilan berkurang maka sulit
untuk mengurangi konsumsi sehingga harus mengurangi alokasi untuk tabungan atau
justru mengambil tabungan untuk menutupi kebutuhan konsumsi[10].
Yang dimaksud dengan konsumsi adalah penggunaan akhir barang-barang dan
jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pengurangan barang dan jasa
tersebut memiliki pengertian pengurangan utility (guna) barang dan jasa
tersebut. Membeli sayuran dan buah-buahan untuk dimakan berarti tindakan
mengkonsumsi. Jika seseorang membeli mobil untuk kemudahan dan kepentingan
pribadinya maka itu pun merupakan tindakan mengkonsumsi, karena mengendarai mobil
berarti mengurangi guna (utilty) barang. Tetapi mengkonsumsi makanan
tentu berbeda dengan mengkonsumsi mobil. Jika makanan, guna barangnya habis
dalam jangka pendek, sedangkan guna (utility) mobil habis dalam jangka
waktu lama, bahkan dapat dianggap sebagai investasi karena memiliki nilai jual
yang tinggi. Harga mobil bekas tentu lebih murah dibanding mobil baru karena
guna (utility) mobil tersebut sudah berkurang.
Membuat
rencana pengeluaran sangatlah penting dalam ekonomi rumah tangga. Rencana
pengeluaran dapat dibuat dalam periode tertentu misalnya perminggu atau
perbulan. Manfaat dari rencana pengeluaran adalah agar dapat mengontrol
pengeluaran. Dengan rencana pengeluaran,
ekonomi rumah tangga akan lebih terfokus pada skala prioritas dalam
mengkonsumsi. Pada akhir periode tertentu hitunglah rencana pengeluaran dengan
pelaksanaan pengeluaran tersebut agar dapat dievaluasi apakah pengeluaran yang
dilakukan sesuai dengan rencana pengeluaran yang telah ditetapkan. Dengan
demikian dapat diketahui rumah tangga dapat mengetahui sejauh mana kemampuannya
dalam mengendalikan pengeluaran dan menghitung biaya tak terduga dalam periode
tertentu.
Apabila
pendapatan lebih kecil maka prosentase untuk konsumsi lebih besar. Satu contoh
kasus, apabila seseorang (rumah tangga) memiliki pendapatan Rp 5.000.000,00
perbulan mungkin ¾ dari pendapatan dialokasikan untuk konsumsi sehingga
kecenderungan alokasi pada tabungan hanya ¼ dari pendapatan. Tetapi jika
pendapatan Rp 10.000,00 perbulan kemungkinan alokasi untuk konsumsi hanya ½
dari pendapatan sehingga setengah dari pendapatan dapat ditabung. Demikian juga
bila pendapatan meningkat maka kecenderungan konsumsi rata-rata turun. Satu
contoh kasus, apabila pendapatan Rp 10.000.000,00 perbulan seseorang (rumah
tangga) akan mengalokasikan untuk konsumsi sebanyak Rp. 5000.000,00, tetapi
ketika pendapatan meningkat Rp 10.700.000,00 mungkin seseorang (rumah tangga)
akan mengkonsumsi sebesar Rp5.200.000,00 (jadi persentase pengeluaran konsumsi
lebih kecil dari persentase peningkatan pendapatan), sehingga alokasi dana
untuk tabungan bertambah. Kemungkinan-kemungkinan ini berlaku apabila tingkat
konsumsi stabil (tetap). Terkadang tingkat konsumsi tidak stabil atau terjadi
peningkatan pengeluaran konsumsi. Mungkin saja pengeluaran konsumsi meningkat
karena kenaikan yang cukup signifikan pada barang-barang konsumsi atau
meningkatnya biaya pendidikan anak-anak dari tahun ke tahun.
Kemungkinan
yang terjadi pada rumah tangga yang memiliki pendapatan yang rendah adalah
pengeluaran konsumsi lebih besar dari pendapatan. Dalam kondisi demikian mungkin
rumah tangga akan berhutang atau menarik tabungannya. Menurut Micawaber seorang
ahli ekonomi, mengatakan bahwa setiap orang memerlukan konsumsi dan jarang
sekali atau hampir tidak ada orang yang mengkonsumsi lebih besar dari
pendapatannya untuk selamanya[11].
Sehingga dalam jangka panjang tidak ada orang mengkonsumsi melebihi total
pendapatannya. Apabila pendapatan nol, maka tidak mungkin konsumsi nol, bila
ini terjadi berarti kelaparan dan mati. Sistem sosial biasanya mengatasi hal
ini dengan jaminan sosial atau kemurahan hati orang yang mampu sehingga
konsumsi tidak nol. Dalam kondisi demikian berarti pendapatan tidak nol,
meskipun pendapatan itu diperoleh dari belas kasihan pihak-pihak tertentu. Berkaitan
dengan kemampuan sistem sosial dalam mengatasi kemiskinan, Islam memerintahkan
agar setiap rumah tangga muslim menyisihkan sebagian pendapatannya untuk
sedekah dan zakat. Dalam hal ini tentu saja sedekah dan zakat termasuk dalam
anggaran pengeluaran konsumsi, mengingat secara ekonomi dianggap sebagai
“pembelanjaan” atau “mengurangi” pendapatan.
Bagi
rumah tangga muslim, motivasi religius tidak hanya terlihat dari alokasi dana
untuk sedekah dan zakat tetapi juga pada pilihan barang-barang yang akan
dikonsumsi misalnya menghindari makanan yang ham atau subhat. Selain itu
menghindari pemborosan dan usaha untuk mengontrol keuangan tidak hanya
dilatarbelakangi alasan-alasan rasional, ttapi juga bernilai religius, karena
Islam tidak menyukai orang yang bersikap boros.
¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# (
tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Perlu pula dipahami oleh setiap rumah tangga muslim bahwa tingkat kepuasan dalam mengkonsumsi
barang atau jasa sebaiknya tidak didasarkan pada keinginan tetapi didasarkan
pada kebutuhan. Dengan bersandar pada asumsi ini maka skala prioritas sesuai
dengan tingkat kebutuhan merupakan hal yang lebih utma dari pada pemenuhan
keinginan.
Secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa manajemen rumah tangga menyangkut 2 aspek pokok
yaitu pembagian peran yang jelas dalam rumah tangga dan pengelolaan keuangan
dalam rumah tangga. Dua aspek pokok ini harus dibicarakan secara terbuka antara
suami dan istri sehingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang jelas.
Beberapa konflik yang terjadi dalam rumah tangga justru disebabkan karena tidak
adanya kesepakatan yang jelas dalam 2 aspek pokok ini.
2. Pembinaan Dalam Keluarga
Sejak
kapankah pembinaan keluarga dimulai? Pembinaan keluarga dimulai sejak seseorang
memilih jodohnya. Ketika seseorang memilih jodohnya, tentunya pilihan itu
diharapkan merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan pasangan seumur hidupnya. Karena
itu untuk memilih pasangan hidup, tidak cukup hanya berbekal perasaan cinta.
Mengapa? Karena masalah kehidupan tidak dapat diselesaikan hanya dengan
perasaan cinta tetapi juga kematangan pribadi, penghayatan dan pengamalan dari
sebuah sistem nilai dan pertimbangan rasional.
Dengan
pemahaman dan kesadaran bahwa pembinaan dalam keluarga dimulai sejak memililih
jodoh maka seseorang akan berhati-hati dalam menentukan pasangan hidupnya. Dalam
hadist dinyatakan:
“Janganlah kalian mengawini karena
kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan mencelakakan. Dan janganlah kamu
kawini wanita karena hartanya, mungkin hartanya itu bisa menyombongkannya. Akan
tetapi kawinilah mereka karena agamanya, sesungguhnya hamba sahaya yang hitam
warna kulitnya tetapi beragama, itu lebih baik utama”. (R. Ibnu Majah Al Bazzar
dari Al Baihaqi dari Abdullah bin Umar[12].
Ibu adalah
lingkungan pertama bagi anak-anak, yang memberikan peranan penting bagi
pembantukan karakter seorang anak. Karena itu pilihlah seorang istri yang
beragama agar anak-anak kelak manjadi orang-orang yang taat beragama.
Walaupun ajaran Islam memerintahkan
untuk memilih calon istri yang taat beragama, tetapi bukan berarti tidak
menghargai kecenderungan manusia terhadap hal-hal yang bersifat fisik atau kebendaan.
Ketika Nabi didatangi oleh Al Mughirah bin Syu’bah yang
memberitakan bahwa ia telah meminang seorang wanita, maka nabi
bersabda;”Lihatlah dulu, karena hal itu dapat mengekalkan perkawinan antara
kalian berdua’. (R. An
Nasai dan At Turmudzi).
Dengan demikian
rasa cinta atau syahwat yang merupakan unsur manusiawi, turut menjadi
pertimbangan. Tetapi Islam melarang setiap muslim mengawini wanita semata-mata
mengharapkan harta dan kedudukan tanpa memperhatikan agama dan akhlaknya. Dalam
hadist dinyatakan:
“Barang siapa mengawini seorang wanita
karena kemuliaannya, Allah tidak akan memberikan selain kehinaan. Barang siapa mengawini
seorang wanita karena hartanya, Allah tidak akan memberikan selain kemiskinan.
Barang siapa mengawini wanita karena kecantikannya, Allah tidak akan memberikan
selain kerendahan. Dan barang siapa mengawini wanita tidak mengharapkan sesuatu
selain ingin mengekang hawa nafsu dan memelihara farjinya atau karena ingin
mengikat tali silaturahmi maka Allah akan memberikan berkah kepada suami dari istrinya
dan istri dari suaminya.
Unsur utama dalam pembinaan keluarga
muslim adalah istri yang shalihah. Untuk perempuan tentu saja keutamaannya adalah
memilih suami yang baik akhlak dan agamanya. Adapun kewajiban orang tua
yang memiliki anak perempuan adalah mendidiknya menjadi anak shalihah dan
menikahkannya dengan laki-laki yang baik akhlak dan agamanya. Pada jaman
sekarang ini pada umumnya anak perempuan memilih calon suaminya sendiri. Karena
itu orang tua wajib membimbing dan mengarahkan anak perempuannya agar memilih
calon suami dengan mengutamakan agamanya. Rasulallah bersabda: “Apabila ada
yang meminang anak gadismu dan kamu senang pada agama dan akhlaknya, maka
kawinkanlah. Kalau tidak kamu lakukan sama saja dengan menjadikan fitnah di
muka bumi dan menimbulkan kerusakan yang luas”.
Suami adalah pemimpin keluarga. Apa
jadinya jika seorang perempuan dipimpin oleh laki-laki yang dangkal imannya.
Alih-alih membimbing istri agar menjadi perempuan shalihah, kedangkalan iman
akan membuat suami berbuat semena-mena dalam memimpin keluarga, tidak merujuk
pada konsep rumah tangga Islam yang akhirnya akan menimbulkan konflik dan
keputusasaan bagi istri. Beberapa kasus yang dilakukan oleh perempuan seperti
kasus bunuh diri, membunuh anak-anaknya atau membunuh suaminya, disebabkan
keputusasaan dan kekecewaan yang dipendam sedemikian rupa sehingga meledak
menjadi perilaku agresif yang tidak terkontrol. Hal ini juga disebabkan karena
ketidakberdayaan menghadapi dominasi (suami) yang justru melakukan tindakan
tidak bertanggung jawab sehubungan dengan peran-perannya sebagai
kepala/pemimpin keluarga. Betapa sulit bagi seorang perempuan beriman untuk mempertahankan
kebaikannya
jika ia dipimpin oleh suami yang dangkal imannya dan buruk akhlaknya. Seorang
perempuan salihah lebih baik menikah dengan laki-laki yang salih agar dapat
mempertahankan dan meningkatkan keimanannya dan membentuk keluarga bahagia sejahtera.
Istri yang salihah mengakui kepemimpinan suami dan taat kepada suaminya
sedangkan suami yang saleh akan mengemban tugas kepemimpinan rumah tangga
dengan penuh tanggung jawab. Tentu saja suami yang saleh akan menyadari bahwa
kepeimpinannya dalam keluarga merupakan tugas dan amanah dari Allah yang kelak
akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang laki-laki datang kepada Hasan bin
Ali R.A. dan bertanya; “Anak perempuan saya dipinang oleh banyak orang. Kepada
siapa saya memberikannya?”. Jawab Hasan; “Kawinkanlah putrimu dengan orang yang
takwa kepada Allah. Kalau dia menyenangi putrimu maka dia akan menghormatinya
dan kalau dia benci dia tidak akan mendzalimi”(Ihya Ulumud Din. 4/133).
Jadi pembinaan keluarga justru
dimulai sejak memilih jodoh. Selain itu kehidupan rumah tangga merupakan sebuah
proses, maka senantiasa diusahakan agar roda rumah tangga tetap berjalan di
atas rel nilai-nilai keislaman. Karena itu sebelum melangsungkan perkawinan
hendaklah
masing-masing calon pasangan membentuk kesepakatan tentang
nilai dan norma yang mereka pakai dalam kehidupan rumah tangga, misalnya tidak
mungkin keharmonisan rumah tangga akan tercipta jika suami menempatkan diri
sebagai pemimpin dalam rumah tangga tetapi istri lebih suka mereka merupakan
partner saja, tidak ada yang dipimpin dan memimpin.
Keluarga merupakan sebuah sistem
yang dinamis. Ia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Masing-masing
anggota keluarga berinteraksi dengan masyarakat sehingga mereka berkembang dan
berubah. Untuk itu, keluarga terutama menyangkut relasi suami istri hendaknya
mampu mengatasi perubahan-perubahan tersebut. Perubahan-perubahan yang mengancam keutuhan
keluarga harus mampu diantisipasi. Keluarga pun harus mampu menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang tidak dapat terhindarkan seperti, perubahan ritme
kerja sehingga intensitas komunikasi berkurang, perubahan perilaku anak karena
perkembangan fisik dan psikologisnya dan lain sebagainya. Dalam menghadapi
perubahan-perubahan inilah pembinaan menjadi salah satu faktor yang sangat
penting untuk diperhatikan demi menjaga keutuhan keluarga. Suami istri
hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana seharusnya
menciptakan rumah tangga yang islamis. Komunikasi harus senantiasa dibina,
terbuka, mampu saling melemparkan kritik yang positif dan segala bentuk konflik
mampu diatasi tanpa satu sama lain memendam rasa tidak puas. Suami istri pun hendaknya
belajar untuk mengekspresikan rasa cintanya melalui perilaku untuk merawat
cinta kasih mereka. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban membimbing istrinya,
tetapi juga dapat menerima saran-saran dari istri, bahkan dapat belajar dari istri
untuk hal-hal yang positif.
Pembinaan keluarga tidak hanya
menyangkut relasi suami istri tetapi juga relasi antara orang tua dan anak. Ketika
seorang anak masih kecil, kontrol terhadap perkembangan fisik dan perilakunya semuanya dilakukan oleh orang tua. Seiring dengan pertambahan usia
seorang anak, maka kontrol orang tua terhadap anak semakin berkurang. Pada saat
si anak memasuki sekolah, pada saat itu pula orang tua menyerahkan fungsi
pengawasannya kepada sekolah selama beberapa jam. Selain itu anak-anak akan memiliki
teman bergaul dan menerima banyak informasi dari berbagai media seperti televisi, buku/ majalah dan
intenet. Semua informasi yang di terima dari luar rumah akan mejadi pembanding
bagi seperangkat norma yang semula telah diterima anak dari orang tuanya. Dalam
waktu yang bersamaan kontrol orang tua terhadap anak semakin berkurang. Jika
penanaman nilai-nilai keagamaan di rumah lemah, maka anak-anak akan mudah labil
dan memilih sistem nilai lain yang berbeda dari yang diajarkan orang tua.
Karena itu perlu dicatat bahwa tujuan pendidikan anak adalah membentuk kontrol diri yang kuat
pada diri si anak, sehingga ketika kontrol orang tua semakin berkurang karena
usia anak yang semakin dewasa, kontrol diri mereka sudah terbentuk.
Pendidikan pada dasarnya
merupakan sebuah proses pembiasaan dan pemberian contoh yang baik. Bagi orang
tua, setiap detik adalah proses mendidik. Hal-hal kecil yang nampak tak berarti
seperti menyuapi balita, membimbing ke kamar mandi atau menghabiskan waktu
dengan bermain bersama merupakan proses mendidik.
Ketika seorang anak dilahirkan,
mulailah sebuah proses dimana seorang anak belajar menjadi
anggota yang berpatisipasi dalam masyarakat. Tempat belajar yang pertama adalah
rumah dimana orang tua adalah guru pertama bagi si anak. Dari rumah anak mulai
belajar dan memahami norma-norma yang harus dipatuhi, memahami peran
masing-masing anggota keluarga dan mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang harus
dilakukan. Pada awalnya
kebiasaan-kebiasaan yang harus dilakukan seorang anak mungkin
dilaksanakan dengan terpaksa karena pengawasan orang tua, tanpa pemahaman yang
mendalam. Tetapi kebiasaan yang dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama
akan dijiwai (dihayati) sebagai bagian dari kepribadiannya atau jati dirinya.
Seorang anak yang dibiasakan melakukan sholat lima waktu akan menjadi gelisah apabila ia
lalai melakukannya. Jika anak sudah sampai pada tahap ini maka kontrol diri
anak dalam hal sholat lima
waktu sudah terbentuk. Karena itu orang tua wajib membimbing dan mengontrol
untuk anak untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti sholat, mengaji, belajar
serta perilaku dan tutur kata yang santun.
Mendidik anak tidak cukup hanya
dengan nasehat dan dialog antara orang tua dan anak. Contoh dari orang tua merupakan
metode pendidikan yang efektif. Bagaimana mungkin orang tua mampu membuat
anaknya rajin sholat sedang si anak seringkali melihat orang tuanya meninggalkan
kewajiban sholat. Semakin besar seorang anak, frekuensi pertemuan dengan orang
tuanya semakin berkurang. Dengan keterbatasan frekuensi pertemuan maka hendaknya diciptakan suasana komunikatif
antara orang tua dan anak. Dialog orang tua dan anak sangat penting untuk
memberi pemahaman akan nilai-nilai tertentu agar anak mengetahui norma mana
yang harus mereka patuhi, misalnya tentang pergaulan remaja, cara berpakaian
atau lebih jauh tentang cara pandang manusia dalam menghadapi masalah
kehidupan.
Ketika anak-anak mulai mengenal
lingkungan lain selain lingkungan keluarganya, mereka akan melihat dan
merasakan bahwa lebih banyak norma yang harus mereka pahami dan taati. Bahkan
beberapa norma atau etika pergaulan yang mereka lihat dan baca dari berbagai
media mungkin bertentangan dengan norma-norma yang selama ini diajarkan orang
tua. Pada titik penting ini, sepertinya seorang anak mulai memiliki pilihan,
nilai-nilai mana yang akan mereka gunakan sebagai pedoman dalam mensikapi
kehidupan. Ketika godaan datang karena lingkungan pergaulan misalnya untuk
meninggalkan sholat fardhu, melakukan perzinahan atau mengkonsumsi narkoba,
maka pada saat inilah kontrol diri si anak teruji. Nilai-nilai keagamaan yang
tertanam sejak kecil, remaja hingga dewasa akan menetap dalam fikiran dan hati,
tidak hanya dipahami tetapi juga dijiwai sehingga sistem nilai tersebut
mengendalikan sikap dan perilaku. Jadi membentuk kontrol diri anak pada
dasarnya adalah tentang bagaimana sistem nilai itu ditanamkan melalui sebuah
proses pendidikan sehingga sistem nilai tersebut memiliki kemampuan
mengendalikan sikap dan perilaku anak.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan
anak terdiri dari 3 unsur pokok yaitu bimbingan dan pengawasan terhadap
kebiasaan-kebiasaan anak, contoh dari orang tua/ lingkungan terdekat dan
komunikasi yang efektif sehingga pesan-pesan/ nasehat dari orang tua dapat
diterima dengan baik. Apabila 3 unsur pokok ini dapat dipenuhi dalam proses
pendidikan, diharapkan kontrol diri anak dapat terbentuk.
No comments:
Post a Comment