Wednesday 8 February 2012

ASPEK-ASPEK DINAMIS DALAM PERKAWINAN

Telah Diterbitkan Pada Fiqh Munakahat I, Bimbingan Perkawinan dan Manajemen Rumah Tangga oleh Lembaga Penelitian IAIN SMHB 2011

A. Proses Penyesuaian Dalam Perkawinan

     1. Komunikasi Dalam Keluarga

            Perkawinan adalah sebuah kehidupan baru bagi masing-masing pasangan. Setelah perkawinan terdapat kosa kata baru dalam kehidupan pribadi seseorang yaitu istilah “suamiku” atau “istriku”. Kosa kata baru tersebut memiliki arti penting dalam kehidupan setiap pasangan karena didalamya memiliki makna “kebersaman”. Kebersaman berarti melakukan segala sesuatu secara bersama-sama, misalnya tinggal satu rumah, tidur bersama-sama, mendidik anak-anak bersama dan segala sesuatu yang penting dalam kehidupan selalu dibicarakan bersama. Di dalam kebersamaan terdapat kesepakatan, kemampuan bekerja sama sebagai sebuah tim, kemampuan untuk menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya dan kemampuan menerima kritik dari pasangannya. Diatas semua itu, kebersamaan yang harmonis harus didukung oleh komunikasi yang baik dan efektif antara suami dan istri.
            Satu hal yang perlu diingat dalam kehidupan bersama (perkawinan) adalah bahwa tidak ada relasi yang damai seumur hidup. Jika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka selalu ada kemungkinan terjadi konflik; sekecil apapun. Karena itu, komunikasi antara suami istri mungkin saja berbentuk perbedaan pendapat, perdebatan ataupun konflik. Tetapi sebaiknya semua bentuk perdebatan dituntaskan pada waktu itu juga, jangan sampai terpendam dalam hati yang pada akhirnya akan menimbulkan ledakan emosi. Pasangan yang harmonis bukan berarti merupakan pasangan yang tanpa konflik dan pedebatan. Pasangan yang harmonis adalah pasangan yang dapat mengelola konflik tersebut ke arah yang lebih positif sehingga menciptakan keseimbangan dan kestabilan.
            Bukan hanya persoalan-persoalan yang menuntut pemecahan yang perlu dibicarakan (seperti anggaran rumah tangga, biaya pendidikan dan lain-lain), tetapi juga perasaan senang dan sedih perlu dikomunikasikan kepada pasangan. Menurut para psikolog, rasa senang tidak akan berkurang jika diceritakan pada orang tetapi sebaliknya perasan sedih akan berkurang apabila bisa diceritakan kepada orang lain. Maka fungsi komunikasi antara suami istri tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis yang membutuhkan pemecahan konkrit, tetapi juga berfungsi sebagai sarana ‘curhat’ dalam mengeluarkan beban fikiran dan perasaan, sehingga masing-masing pasangan merasakan kepuasan dan rasa nyaman dalam relasi suami-istri. Dalam proses komunikasi ini masing-masing pasangan dapat belajar untuk mendengarkan dan saling memahami.
            John Powell dalam bukunya Why I am Afraid to Tell You Who I am, menyatakan ada 5 tingkatan yang memungkinkan manusia mengadakan komunikasi[1] yaitu:
1.      Percakapan sederhana. Percakapan sederhana mencakup pertanyaan dan pernyataan seperti “apa kabar?”. “Pakaianmu bagus sekali”. “Kamu sedang memikirkan apa?”. Dalam relasi suami-istri pertanyaan dan pernyataan seperti ini cukup penting untuk menunjukkan perhatian. Setidaknya hal itu lebih baik dilakukan dari pada diam saja. Tetapi jangan berhenti pada tingkatan ini, karena percakapan demikian jika dilakukan berulang-ulang membuat seseorang menjadi jengkel.
2.      Percakapan faktual. Percakapan pada tahap ini bersifat informatif tanpa diikuti komentar atau opini, misalnya “Mau kemana?”. “Saya mendengar berita bencana alam di TV” atau “Artikel tentang ekonomi rumah tangga ini membahas tentang …” Percakapan yang informatif seperti ini dapat mendukung komunikasi yang baik dalam relasi suami istri, apalagi jika suami dan istri memiliki minat yang sama tentang satu obyek tertentu yang menarik untuk diperbincangkan.
3.      Ide-ide  dan opini. Percakapan ini mengikutisertakan peranan perasaan mengenai hal tertentu. Dengan meyampaikan perasaan dan isi hati, masing-masing pasangan akan belajar untuk saling mendengarkan dan memahami. Percakapan pada tingkat ini merupakan percakapan yang lebih intim. Relasi suami istri setidaknya harus mencapai tingkatan komunikasi ini untuk dapat saling mengerti dan memahami.
4.      Perasaan dan emosi. Percakapan pada tingkat ini melukiskan apa yang terjadi dalam diri sendiri untuk disampaikan pada orang lain (pasangannya), meliputi perasaan terhadap pasangan atau terhadap situasi tertentu seperti rasa khawatir, rasa marah/ jengkel dan rasa senang. Perasaan seperti ini mirip seperti seseorang yang sedang “curhat” kepada sahabatnya. Begitulah sebaiknya relasi suami istri. Komunikasi seperti ini dapat terjadi apabila seseorang merasa nyaman untuk bercerita kepada pasangannya. Cara berbicara, kapan pembicaraan itu dilakukan dan bagaimana situasi fikiran dan perasaan masing-masing akan sangat menentukan efek dari komunikasi tersebut. Kadang-kadang komunikasi yang dilakukan dalam cara dan waktu yang kurang tepat akan menimbulkan suasana yang kurang nyaman dan penuh ketegangan tetapi jika komunikasi seperti ini dilakukan dalam situasi yang kondusif justru akan memperkuat relasi yang akrab antara suami istri.
5.      Pandangan yang mendalam. Bila antara suami istri terdapat saling berbagi perasaan yang terdalam maka komunikasi yang mantap sudah terbina dalam lembaga perkawinan. Dalam komunikasi tingkat ini terdapat suasana saling pengertian yang timbal balik disertai rasa puas. Komunikasi seperti ini akan terjadi apabila suami istri memiliki empati dan rasa tenggang rasa yang kuat satu sama lain.

Sebaiknya suami/ istri tidak takut atau malas untuk berkomunikasi dengan pasangannya hanya karena menghindari perdebatan/ pertengkaran. Sikap diam atau membisu justru akan menimbulkan prasangka yang bermacam-macam dari pasangannya. Di lain pihak perasaan kecewa, marah atau tidak puas yang dipendam akan menimbulkan ledakan emosi pada suatu waktu atau mengarah pada bentuk kompensasi-kompensasi lain yang justru dapat merusak relasi suami istri. Selain itu cara berkomunikasi pun sebaiknya dipelajari agar tidak menyinggung perasaan pasangan. Kadangkala karena diliputi perasaan kecewa atau marah, seseorang menjadi tidak terkontrol dalam mengungkapkan perasaannya. Dr Bonnie Eaker Weil, penasehat perkawinan dari Amerika memberikan pelatihan praktis tentang membina hubungan keakraban cinta antara suami istri[2]. Disitu para peserta diajarkan bagaimana mengungkapkan atau mengatakan perasaan dan keinginan, harapan, impian, ketakutan dan ketidaksukaan termasuk keluhan yang sepele. Misalnya para pasangan belajar mengatakan “Sebaiknya jangan meletakkan handuk basah di tempat tidur setelah mandi,” tanpa nada menyalahkan. Pekataan demikian lebih baik daripada mengucapkan “Kamu jorok sekali, meletakkan handuk basah di tempat tidur.” Para ahli ilmu masalah keluarga yang bergerak dalam bimbingan dan penyuluhan mengakui bahwa sebagian besar kesulitan yang timbul dalam keluarga, yang mengakibatkan keretakan dan perceraian dalam keluarga adalah akibat persoalan komunikasi[3]. Kadangkala pertengkaran hanya menyangkut masalah sepele, tetapi masing-masing mempertahankan egonya, tidak mau mengalah karena gengsi. Nancy Van Pelt dalam bukunya The Complete Marriage menyatakan bahwa komunikasi baru dikatakan lengkap apabila pasangan yang bersangkutan dapat mengikuti tiga prinsip secara konsisten[4]. Pertama, apabila mereka dapat menggunakan secara efektif dasar-dasar yang berkaitan dengan percakapan dan pendengaran. Kedua, apabila mereka dapat menyelesaikan konflik dengan metode yang konstruktif. Ketiga, apabila mereka menggunakan waktu bersama dalam kehidupan sehari-hari untuk saling berbagi perasaan.
            Komunikasi yang efektif tidak akan tercipta apabila percakapan hanya dilakukan atau didominasi satu arah. Komunikasi adalah proses memberi dan menerima informasi. Pihak yang menerima informasi akan menafsirkan apa yang didengarnya dan memberi reaksi dengan tingkah laku tertentu. Inti permasalahan dari komunikasi dua arah ini adalah sejauhmana penerima informasi memahami maksud pemberi informasi. Dari kesalahan pemahaman penerima informasi inilah yang kadang-kadang menimbulkan permasalahan baru bagi pasangan suami istri. Kadang-kadang ungkapan yang disampaikan seseorang diterima dengan pemahaman yang salah oleh pasangannya (tidak sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan oleh orang yang bersangkutan). Karena itulah setiap pasangan harus belajar untuk menyampaikan sesuatu dengan cara yang tepat. Dialog dalam relasi suami istri perlu dibina terus menerus untuk terciptanya hubungan yang akrab, lebih intim dan nyaman.
            Dalam keluarga, struktur hubungan bukan hanya melibatkan pasangan suami istri tetapi juga anak-anak. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hubungan antar anggota keluarga adalah sebuah proses. Jadi relationship dalam keluarga bukan being tapi becoming, sebuah proses pertumbuhan yang terus menerus[5]. Relationship mengandung makna perubahan yang terus menerus terjadi. Perubahan-perubahan keluarga dapat terjadi dalam jangka pendek ataupun jangka panjang misalnya perubahan ritme kerja, perubahan cara pandang, pertumbuhan anak-anak menjadi remaja dan banyak lagi. Perubahan-perubahan ini potensial menimbulkan masalah apabila tidak didukung dengan keterampilan komunikasi dalam keluraga. Ada 3 strategi komunikasi dalam keluarga[6]. Pertama, merupakan strategi komunikasi  yang mendasar (base line communication strategy) yaitu dengan cara monitoring communication. Disini keluarga (antar anggota keluarga) harus mempunyai waktu khusus untuk berbincang-bincang tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dan membicarakannya secara terbuka. Misalnya suami yang biasanya banyak bercerita kepada istrinya sepulang kerja kini lebih banyak diam. Pada saat seperti ini pasangan suami istri harus meninjau kembali pola-pola hubungan mereka. Si istri jangan menyimpannya dalam hati atau mengabaikan masalah ini karena takut menyinggung perasaan pasangannya. Perubahan pada anak-anak juga harus senantiasa terpantau oleh orang tua dan membicarakannya dengan anak-anak. Dengan bentuk komunikasi seperti ini, kondisi-kondisi yang potensial menimbulkan masalah akan dapat dihindari.
            Pertama, yang termasuk dalam base line communication strategy adalah communication climate (iklim komunikasi). Ciptakan iklim komunikasi dalam suasana mengobrol. Kini banyak keluarga yang tidak dapat merasakan kenikmatan mengobrol. Jika situasi seperti ini terjadi dalam keluarga maka sebaiknya diusahakan utuk menghidupkan kembali keakraban berkomunikasi. Kadang-kadang suami istri terjebak dalam rutinitas, berkomunikasi untuk hal-hal yang praktis dan kehilangan ungkapan ekspresinya dalam berkomunikasi. Ada pilihan dialog untuk istri yang membutuhkan kebersamaan ketika suaminya sangat sibuk di luar rumah, misalnya “Kenapa pulang selalu larut malam, sama sekali tidak punya waktu untuk saya dan anak-anak.” Atau “Kami sangat tergantung kepadamu, saya dan anak-anak sangat kangen untuk dapat mengobrol santai dengan mu.” Tentu saja pilihan dialog yang terakhir merupakan dialog yang lebih baik dalam menciptakan iklim komunikasi yang lebih akrab. Iklim komunikasi yang baik juga harus diciptakan antara orang tua dengan anak-anak. Kadang-kadang orang tua sangat instruktif. Komunikasi kebanyakan bersifat satu arah dan berisi instruksi-instruksi yang harus dan tidak boleh dilakukan. Unsur ekspresif dari rasa sayang kurang terungkap dalam bentuk komunikasi seperti ini. Karena itu anggota keluarga membutuhkan saat-saat dimana mereka dapat menghabiskan waktu bersama dalam kesempatan yang lebih santai misalnya nonton tv bersama, minum teh sore hari atau makan malam bersama. Situasi kebersamaan seperti itu akan menciptakan suasana keakraban dan pada saat seperti inilah orang tua dan anak-anak dapat saling bertukar informasi, mengungkapkan keinginan, harapan dan sebagainya.
            Kedua, intimate communication strategy. Komunikasi dalam keluarga memerlukan keterlibatan emosi. Keluarga masa kini seringkali kehilangan unsur emosi dan mereka hanya berbicara yang perlu-perlu saja. Dalam kehidupan sekarang ini dimana hubungan sosial cenderung individualistik, justru lembaga keluarga yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan akan hubungan sosial yang akrab. Setiap pasangan perlu mengucapkan rasa cinta dengan melibatkan unsur emosinya, tidak hanya sekedar rutinitas setiap pagi. Mengucapkan rasa sayang dengan getaran emosi  sangat baik pengaruhnya terhadap jiwa seseorang. Orang tua sebaiknya lebih ekspresif terhadap anaknya terutama dalam mengungkapkan rasa sayangnya. Tingkah laku yang ekspresif orang tua dalam mengungkapkan rasa sayangnya akan membuat anak merasa nyaman dan dialog akan menjadi lebih komunikatif. Dengan dialog yang komunikatif, maka kontrol orang tua terhadap anak akan lebih mudah dijalankan. Selain itu orang tua akan lebih mudah menyampaikan pesan-pesan (berupa larangan, keharusan, anjuran) kepada anak. Setiap orang sebaiknya berlatih untuk mengekspresikan emosinya demi hubungan yang lebih baik dengan orang-orang terdekatnya, terutama dengan pasangannya dan anak-anaknya.
            Ketiga, revitalizing communication strategy. Strategi komunikasi pada tahap ini merupakan usaha untuk memperbaiki kembali komunikasi antar anggota keluarga yang sudah terasa hambar. Biaya pendidikan dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi, kesibukan anak-anak dan orang tua dengan urusannya masing-masing menyebabkan intensitas interaksi menjadi berkurang, berkomunikasi untuk hal-hal penting yang bersifat praktis saja sehingga jarak emosi menjadi renggang. Revitalisasi komunikasi dapat dilakukan dengan memberi kejutan-kejutan yang menyenangkan untuk anggota keluarga atau melakukan acara liburan bersama dengan anggota keluarga. Untuk pasangan suami istri, revitalisasi komunikasi dapat dilakukan misalnya dengan menghabiskan waktu berdua saja mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan atau hanya sekedar mengobrol ringan setelah anak-anak tidur.

     2. Beberapa Aspek Perbedaan dan Persamaan Individu Dalam Keluarga.

            Perkawinan merupakan penyatuan dua pribadi dalam sebuah kehidupan bersama. Untuk menciptakan sebuah kehidupan besama yang harmonis, penyesuaian diri satu sama lain merupakan sebuah keharusan. Pasangan suami istri pasti memiliki persamaan dan perbedaan yang mungkin akan mendukung  keharmonisan atau justru menjadi pemicu konflik dalam perkawinan. Persamaan dan perbedaan ini mencakup karakter, minat, latar belakang pendidikan, lingkungan keluarga dan sistem nilai.
            Sebagian orang berpendapat, apabila pasangan suami istri memiliki banyak persamaan, perkawinannya akan lebih harmonis. Asumsi ini tidak selalu benar. Persamaan karakter pasangan suami istri mungkin akan mempermudah proses penyesuaian diri dalam perkawinan. Pasangan suami istri yang sama-sama memiliki sifat terbuka (ekstrovert) akan lebih mudah menjalin komunikasi secara terbuka dan jujur. Sebaliknya pasangan suami istri yang sama-sama memiliki sifat tertutup (introvert), tidak terlatih untuk mengungkapkan perasaan dan fikirannya, sehingga semua bentuk kekecewaan dipendam dalam hati, akan menjadi penghambat proses komunikasi dan dapat menjadi pemicu konflik dalam perkawinan.
            Perbedaan karakter suami istri dapat saling melengkapi, misalnya sifat suami yang pendiam dengan istri yang humoris dan periang. Interaksi antara keduanya akan memberikan nuansa baru bagi masing-masing pribadi. Tetapi perbedaan sifat juga seringkali dapat memicu konflik, misalnya istri yang hidup serba teratur, terjadwal dan cenderung kaku dengan suami yang menghadapi keseharian dengan lebih santai, rileks dan mengalir apa adanya.
            Yang terpenting dalam perkawinan adalah kedewasaan menerima perbedaan dan keunikan pribadi pasangannya. Kepribadian dapat berubah atau berkembang. Dalam perkawinan dimana relasi antara pasangan berjalan intens dan intim, proses saling mempengaruhi kepribadian masing-masing sangatlah kuat. Sebaiknya biarkanlah proses saling mempengaruhi ini berjalan alami dan tidak memaksakan pasangannya untuk berubah sesuai keinginannya. Individu memerlukan proses dan waktu yang cukup lama untuk berubah dan berkembang. Tetapi diharapkan pasangan suami istri akan dapat saling mendukung untuk perkembangan pribadi ke arah yang lebih positif. Berkembang ke arah yang lebih positif dalam segala hal, itulah salah satu makna perkawinan.
            Persamaan minat atau hobi, dapat juga menunjang kelancaran komunikasi dan harmonisasi relasi suami istri. Dengan hobi dan minat yang sama, suami istri memiliki pokok bahasan yang menarik untuk diperbincangkan dan melakukan kegiatan itu bersama-sama. Misalnya suami istri yang memiliki minat yang sama dalam bidang tanaman, dapat menghabiskan waktu bersama-sama dengan menata halaman rumahnya. Jika suami memiliki hobi yang tidak disukai istri atau sebaliknya, maka diperlukan rasa toleransi dengan memberikan kesempatan pada pasangannya untuk menyalurkan minat atau hobinya sejauh tidak menyita waktu yang dapat mengesampingkan pekerjaan atau kebersamaan dengan keluarga. Dapat pula terjadi, istri atau suami yang memiliki hobi atau minat baru karena pengaruh pasangannya. Hal demikian terjadi apabila keterlibatan satu sama lain dalam segi emosi atau pertukaran pengalaman sangat kuat.
            Jika pasangan suami istri memiliki perbedaan yang tajam dalam tingkat pendidikan mungkin akan terjadi kesenjangan dalam komunikasi, cara berfikir dan wawasan, sekalipun hal ini tidak mutlak. Dalam kondisi seperti ini komunikasi suami istri mungkin terbatas pada hal-hal yang praktis dan emosional saja. Untuk orang-orang tertentu, dialog yang dibutuhkan tidak hanya menyangkut hal-hal yang praktis keseharian atau masalah perasaan saja, tetapi juga tentang pemikiran-pemikiran tertentu misalnya mengenai masalah yang terjadi di lingkungan kerja dan sebagainya. Dialog perlu dilakukan oleh setiap pasangan, terutama bagi para suami/ istri yang mungkin mengharapkan pendapat atau saran dari masalah yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain selain kepada pasangannya. Jika suami/ istri tidak dapat mengimbangi pemikiran/ dan wawasan pasangannya maka hal ini dapat menjadi faktor penghambat dalam menjalin komunikasi yang lebih dalam. Tetapi melalui proses waktu, beberapa pasangan dapat mengatasi hal ini karena pertukaran informasi yang intens dapat ikut serta membuka atau memperluas wawasan dan pemikiran pasangannya. Banyak perempuan di Indonesia memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan tidak memiliki pekerjaan di luar rumah. Hal ini berarti waktu lebih banyak dipergunakan di sektor domestik. Laki-laki pada umumnya bekerja di sektor publik. Tidak seperti sektor domestik yang terbatas pada dinding rumah dan anak-anak, sektor publik banyak memberi kesempatan untuk lebih berkembang dalam pergaulan, wawasan dan jenjang karir. Jika istri di dalam rumah stagnan dalam pergaulan, wawasan dan pemikiran, tidak demikian dengan suami yang memiliki kesempatan berkembang. Maka jika suami melesat dalam segala aspeknya meninggalkan istri dalam stagnasinya, kesenjangan akan terjadi. Selayaknya istri diberi kesempatan untuk lebih berkembang sehingga hambatan komunikasi karena kesenjangan pendidikan, pemikiran dan wawasan dapat ditanggulangi.
            Lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Hampir separuh kehidupan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Maka ketika seseorang memutuskan untuk menikah dengan pasangannya maka produk dari dua lingkungan yang berbeda akan bersatu membentuk lingkungan baru. Pasangan yang memiliki latar belakang keluarga yang tidak jauh berbeda, mungkin tidak akan menimbulkan masalah yang berarti dan proses penyesuaian diri terhadap pasangan dan keluarganya akan menjadi lebih mudah. Perbedaan kebiasaan keluarga masing-masing, pada saat-saat tertentu mungkin akan menimbulkan masalah. Salah satu contoh kasus, misalnya pihak keluarga istri terbiasa dengan keterikatan keluarga yang kuat, sedangkan pihak suami merupakan keluarga yang masing-masing memiliki kemandirian dalam menyelesaikan masalah pribadinya. Ketika ada masalah yang harus diselesaikan oleh pasangan itu, keterlibatan keluarga dari pihak istri mungkin akan dinilai oleh suami sebagai sikap ‘ingin ikut campur’ masalah rumah tangga, sedangkan bagi istri hal itu merupakan bentuk kepedulian yang memang seharusnya dilakukan sebagai sebuah keluarga besar.
            Peran seorang laki-laki sebagai suami dan ayah dalam keluarga merupakan referensi bagi anak laki-lakinya jika kelak anaknya berumah tangga. Demikian juga halnya dengan seorang ibu dan anak perempuannya. Seorang anak, melalui proses sosialisasi dalam keluarga, akan mempelajari peran-peran ayah dan ibu dalam keluarga. Proses sosialisasi selama puluhan tahun sampai anak siap menikah adalah waktu yang cukup lama untuk dapat mempelajari peran-peran itu. Jika seorang anak tumbuh dalam keluarga ‘yang normal’ dimana peran ayah dan ibu sudah terkonsep dengan jelas maka tidak sulit bagi seorang anak untuk dapat menjalankan peran-perannya nanti dalam rumah tangga. Tetapi jika seorang anak hidup dalam keluarga yang tidak utuh, maka mungkin anak harus belajar lebih keras dari pengalaman dan wawasan untuk menjadi pasangan dan orang tua yang mampu menjalankan peran-perannya dengan baik.
            Sistem nilai merupakan seperangkat ide, kepercayaan dan aturan yang mempengaruhi cara pandang dan mengendalikan perilaku seseorang. Pasangan suami istri yang memiliki sistem nilai yang sama akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah rumah tangga karena memiliki cara pandang yang sama terhadap sebuah kenyataan, sehingga lebih cepat menemukan kesepakatan-kesepakatan dalam memecahkan masalahnya tersebut.
            Dalam tradisi  perkawinan masyarakat Indonesia seringkali dikenal istilah bibit, bebet, bobot artinya dalam mencari jodoh hendaklah diperhatikan kedudukan sosial, keturunan, kekayaan dan kepandaiannya. Kesamaan derajat dalam bibit, bebet, bobot ini diharapkan dapat mendukung proses penyesuaian dan harminosasi  antara suami istri. Didalam wacana perkawinan Islam terdapat istilah  kafa’ah atau kufu (kesamaan derajat). Tetapi tolok ukur kufu dalam perkawinan Islam memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemahaman bibit bebet bobot dalam tradisi masyarakat. Imam Ibnu Hazm berpendapat:
“Kafa’ah (kufu) yaitu kesamaan derajat, status dan keadaan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah, sebenarnya tidak ada dalam Islam. Semua orang Islam itu kufu dengan yang lainnya. Siapapun laki-laki muslim adalah kufu’ dengan siapapun perempuan muslimah selama perempuannya tidak berzinah”[7].
Jadi pengertian kufu dalam wacana perkawinan Islam adalah kufu (sederajat) dalam akhlak dan agama bukan dari kedudukan sosial, keturunan, kepandaian atau kekayaan.
            Jika ditarik dalam konteks yang lebih umum, maka agama adalah merupakan sebuah sistem nilai. Sedangkan akhlak memiliki pengertian yang sama dengan istilah attitude (sikap) dan behavioral (tingkah laku). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa harmonisasi perkawinan lebih mudah terwujud  bila terdapat kesamaan dalam sistem nilai (agama), sikap serta perilaku (akhlak).

B. Kesepakatan-kesepakatan Dalam Perkawinan

     1. Manajemen Rumah Tangga

            Manajemen dapat diartikan sebagai pengelolaan organisasi yang terkoordinir. Manajemen berhubungan dengan penetapan usaha untuk mencapai sasaran-sasaran atau target-target tertentu. Pada umumnya istilah dan pemahaman tentang manajemen dipakai pada organisasi-organisasi formal seperti perusahaan, institusi pemerintah, lembaga-lembaga sosial dan sejenisnya. Tetapi sebenarnya setiap organisasi atau kelompok apapun, baik kelompok formal maupun isnormal pasti memerlukan manajemen yang baik, selama kelompok tersebut memiliki sasaran-sasaran yang ingin dicapai.
            Keluarga atau rumah tangga sebagai sebuah kelompok informal, juga memerlukan manajemen (pengelolaan) yang baik untuk mencapai tujuan-tujuannya. Sasaran-sasaran yang ingin dicapai keluarga dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan yang bersifat kualitatif misalnya terpenuhinya kebutuhan emosional anggota keluarga seperti perasaan dicintai, rasa aman, empati, toleransi dan sebagainya. Tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif merupakan target-target yang dapat diukur secara pasti misalnya usaha untuk meningkatkan pendapat hingga jumlah tertentu, target pendidikan anak-anak, peningkatan fasilitas dalam rumah yang menunjang kemudahan pekerjaan misalnya mobil, barang-barang elektronik dan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
            Ada beberapa langkah yang harus dirumuskan untuk mencapai manajemen (pengelolaan) yang baik dalam rumah tangga yaitu: Pertama, pembagian peran dalam rumah tangga.Pembagian peran berawal dari konsep yang lebih prinsipil yang didasari pada sistem nilai tertentu sampai pada pembagian tugas harian. Layaknya sebuah kelompok, keluarga memiliki strukturnya sendiri. Adanya pemimpin dalam kelompok merupakan sebuah keharusan demi keteraturan dan kestabilan kelompok tersebut. Di dalam Islam, kepemimpinan dalam rumah tangga dibebankan kepada suami (ayah). Dari aspek spiritual suami (ayah) lebih berperan sebagai kontrol terhadap moral anggota keluarganya.  Sedangkan dari aspek ekonomi, suami (ayah) wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Tanggung jawab ekonomi suami (ayah) lebih bersifat kontekstual. Artinya masih dapat ditafsirkan lagi sesuai kasus dan situasi social yang terjadi, misalnya suami sakit atau mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sehingga tidak dapat menanggung beban ekonomi keluarga. Pada kasus lain, misalnya penghasilan suami (ayah) tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga anggota keluarga lain ikut membantu mencari nafkah. Penetapan peran sebagai pemimpin keluarga yang dibebankan kepada suami (ayah) tidak hanya bermakna sosial (untuk kestabilan keluarga sebagai sebuah kelompok) tetapi juga bersifat sakral. Di dalam Islam kepemimpin suami (ayah) dalam keluarga akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti demikian juga dengan peran-peran istri (ibu).
            Selanjutnya pembagian peran dalam rumah tangga hendaknya diterjemahkan lagi dalam konteks keseharian yang lebih operasional, misalnya pembagian peran dalam pekerjaan rumah tangga. Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam menangani pekerjaan-pekejaan rumah tangganya setiap hari. Misalnya pada pasangan yang kedua-duanya bekerja di luar rumah dan tidak memiliki pembantu rumah tangga, maka pekerjaan rumah dapat dibagi dengan adil disesuaikan dengan beban kerja dan jam kerja luar rumahnya. Anak-anak pun perlu mendapat pembagian tugas pekerjaan rumah yang disesuaikan dengan jam sekolah dan jam belajarnya. Dengan pembagian tugas di dalam rumah, maka pekerjaan-pekerjaan rumah tangga akan lebih mudah diatasi sekaligus mengajari anak-anak supaya lebih mandiri. Jika rumah tangga mampu mengupah pembantu rumah tangga, maka orang tua dapat lebih fokus pada tugas-tugas yang tidak bisa digantikan oleh orang lain seperti relasi yang lebih intim dengan anak-anak, dan tugas-tugas yang berkaitan dengan peran-perannya sebagai suami dan istri.
            Kedua, perencanaan keuangan rumah tangga. Setiap pasangan perlu memiliki rencana keuangan rumah tangga untuk kehidupan yang lebih baik dan terkendali. Menurut survey yang dilakukan Sun Life Financial Indonsia terhadap pasangan suami istri kalangan menengah atas berusia 30-44 tahun, di Jakarta dan Surabaya, tahun 2002, 85% dari mereka memiliki perencanaan keuangan dan 74% nya hanya merencanakan untuk jangka waktu 1 bulan[8]. Menurut konsultan perencanaan keuangan Safir Senduk, perencanaan keuangan adalah proses untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan yang diinginkan, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang[9]. Tujuan-tujuan keuangan tersebut antara lain mempersiapkan dana pendidikan anak, masa pensiun, membeli rumah, meningkatkan investasi dan sebagainya. Sebenarnya perencanaan keuangan bulanan saja tidak cukup. Mengapa? Karena kebutuhan hidup tidak melulu merupakan kebutuhan rutinitas seperti rekening listrik, tagihan telepon dan sebagainya. Ada beberapa kebutuhan yang bersifat insidental (tidak rutin) tetapi harus dipenuhi seperti biaya pendidikan anak masuk sekolah, biaya persalinan dan biaya tak terduga lainnya. Selain itu mungkin ada rencana-rencana lain seperti  seperti renovasi rumah, membeli barang elektronik atau kebutuhan untuk hari-hari istimewa seperti hari raya atau khitanan.
            Dengan adanya perencanaan keuangan, kehidupan ekonomi rumah tangga menjadi lebih terkendali, karena rumah tangga memiliki alasan yang kuat untuk apa menyimpan uang dan mengapa membeli suatu barang. Perencanaan keuangan akan membuat orang terhindar dari pemborosan dan terjerat hutang. Berikut beberapa saran dalam melaksanakan perencanaan keuangan:
1. Biaya pengeluaran rutin harus dari penghasilan rutin (penghasilan tetap). Sebaiknya rumah tangga mempersiapkan pembayaran rekening bulanan untuk bulan depan dari penghasilan rutin bulan ini, misalnya membayar rekening bulanan bulan Agustus dari penghasilan tetap bulan juli. Siapkan beberapa amplop untuk setiap pengeluaran rutin yang harus dibayarkan. Selain itu dianjurkan untuk mengalokasikan tabungan sebagai pos pengeluaran rutin tiap bulan. Tabungan ini dapat digunakan sebagai dana cadangan atau investasi di masa depan.
2. Jangan menggunakan penghasilan rutin (pendapatan tetap) untuk pengeluaran di luar anggaran. Sebaiknya tundalah pengeluaran tersebut sampai punya kelebihan uang atau jika tidak dapat dihindari (misalnya terkena musibah) maka gunakanlah tabungan.
3. Siapkan dana pendidikan anak. Dana pendidikan anak dapat diperoleh dari tabungan yang memang dipersiapkan untuk itu.
4. Carilah penghasilan tambahan. Penghasilan tambahan perlu diusahakan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi rumah tangga. Apalagi jika pengeluaran rutin tidak dapat diatasi oleh penghasilan rutin.  
            Yang perlu diperhatikan oleh setiap rumah tangga adalah tindakan mengkonsumsi. Kesulitan bagi setiap rumah tangga adalah mengurangi pengeluaran rutin. Yang sering terjadi justru sebaliknya pengeluaran rutin meningkat, sementara penghasilan rutin tidak meningkat, sehingga mencari penghasilan tambahan merupakan suatu keharusan. Meningkatnya pengeluaran rutin bisa disebabkan kasus-kasus tertentu, misalnya meningkatnya biaya pendidikan anak seiring dengan peningkatan jenjang pendidikan, bertambahnya anggota keluarga atau keinginan menikmati fasilitas-fasilitas tertentu seperti rekreasi. Tetapi meningkatnya pengeluaran rutin belum tentu disebabkan karena rumah tangga lebih banyak melakukan tindakan konsumsi. Boleh jadi tindakan konsumsi tidak meningkat tetapi harga-harga barang konsumsilah yang meningkat sehingga pengeluaran rutin untuk konsumsi ikut meningkat, misalnya kenaikan harga BBM mempengaruhi kenaikan harga barang-barang pokok dan jasa.
Ekonomi rumah tangga memiliki kecenderungan pola konsumsi tertentu. Jika rumah tangga memiliki penghasilan lebih, cenderung lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi bukan pada tabungan atau investasi, tetapi jika penghasilan berkurang maka sulit untuk mengurangi konsumsi sehingga harus mengurangi alokasi untuk tabungan atau justru mengambil tabungan untuk menutupi kebutuhan konsumsi[10]. Yang dimaksud dengan konsumsi adalah penggunaan akhir barang-barang dan jasa-jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pengurangan barang dan jasa tersebut memiliki pengertian pengurangan utility (guna) barang dan jasa tersebut. Membeli sayuran dan buah-buahan untuk dimakan berarti tindakan mengkonsumsi. Jika seseorang membeli mobil untuk kemudahan dan kepentingan pribadinya maka itu pun merupakan tindakan mengkonsumsi, karena mengendarai mobil berarti mengurangi guna (utilty) barang. Tetapi mengkonsumsi makanan tentu berbeda dengan mengkonsumsi mobil. Jika makanan, guna barangnya habis dalam jangka pendek, sedangkan guna (utility) mobil habis dalam jangka waktu lama, bahkan dapat dianggap sebagai investasi karena memiliki nilai jual yang tinggi. Harga mobil bekas tentu lebih murah dibanding mobil baru karena guna (utility) mobil tersebut sudah berkurang.
Membuat rencana pengeluaran sangatlah penting dalam ekonomi rumah tangga. Rencana pengeluaran dapat dibuat dalam periode tertentu misalnya perminggu atau perbulan. Manfaat dari rencana pengeluaran adalah agar dapat mengontrol pengeluaran.  Dengan rencana pengeluaran, ekonomi rumah tangga akan lebih terfokus pada skala prioritas dalam mengkonsumsi. Pada akhir periode tertentu hitunglah rencana pengeluaran dengan pelaksanaan pengeluaran tersebut agar dapat dievaluasi apakah pengeluaran yang dilakukan sesuai dengan rencana pengeluaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat diketahui rumah tangga dapat mengetahui sejauh mana kemampuannya dalam mengendalikan pengeluaran dan menghitung biaya tak terduga dalam periode tertentu.
Apabila pendapatan lebih kecil maka prosentase untuk konsumsi lebih besar. Satu contoh kasus, apabila seseorang (rumah tangga) memiliki pendapatan Rp 5.000.000,00 perbulan mungkin ¾ dari pendapatan dialokasikan untuk konsumsi sehingga kecenderungan alokasi pada tabungan hanya ¼ dari pendapatan. Tetapi jika pendapatan Rp 10.000,00 perbulan kemungkinan alokasi untuk konsumsi hanya ½ dari pendapatan sehingga setengah dari pendapatan dapat ditabung. Demikian juga bila pendapatan meningkat maka kecenderungan konsumsi rata-rata turun. Satu contoh kasus, apabila pendapatan Rp 10.000.000,00 perbulan seseorang (rumah tangga) akan mengalokasikan untuk konsumsi sebanyak Rp. 5000.000,00, tetapi ketika pendapatan meningkat Rp 10.700.000,00 mungkin seseorang (rumah tangga) akan mengkonsumsi sebesar Rp5.200.000,00 (jadi persentase pengeluaran konsumsi lebih kecil dari persentase peningkatan pendapatan), sehingga alokasi dana untuk tabungan bertambah. Kemungkinan-kemungkinan ini berlaku apabila tingkat konsumsi stabil (tetap). Terkadang tingkat konsumsi tidak stabil atau terjadi peningkatan pengeluaran konsumsi. Mungkin saja pengeluaran konsumsi meningkat karena kenaikan yang cukup signifikan pada barang-barang konsumsi atau meningkatnya biaya pendidikan anak-anak dari tahun ke tahun.
Kemungkinan yang terjadi pada rumah tangga yang memiliki pendapatan yang rendah adalah pengeluaran konsumsi lebih besar dari pendapatan. Dalam kondisi demikian mungkin rumah tangga akan berhutang atau menarik tabungannya. Menurut Micawaber seorang ahli ekonomi, mengatakan bahwa setiap orang memerlukan konsumsi dan jarang sekali atau hampir tidak ada orang yang mengkonsumsi lebih besar dari pendapatannya untuk selamanya[11]. Sehingga dalam jangka panjang tidak ada orang mengkonsumsi melebihi total pendapatannya. Apabila pendapatan nol, maka tidak mungkin konsumsi nol, bila ini terjadi berarti kelaparan dan mati. Sistem sosial biasanya mengatasi hal ini dengan jaminan sosial atau kemurahan hati orang yang mampu sehingga konsumsi tidak nol. Dalam kondisi demikian berarti pendapatan tidak nol, meskipun pendapatan itu diperoleh dari belas kasihan pihak-pihak tertentu. Berkaitan dengan kemampuan sistem sosial dalam mengatasi kemiskinan, Islam memerintahkan agar setiap rumah tangga muslim menyisihkan sebagian pendapatannya untuk sedekah dan zakat. Dalam hal ini tentu saja sedekah dan zakat termasuk dalam anggaran pengeluaran konsumsi, mengingat secara ekonomi dianggap sebagai “pembelanjaan” atau “mengurangi” pendapatan.
Bagi rumah tangga muslim, motivasi religius tidak hanya terlihat dari alokasi dana untuk sedekah dan zakat tetapi juga pada pilihan barang-barang yang akan dikonsumsi misalnya menghindari makanan yang ham atau subhat. Selain itu menghindari pemborosan dan usaha untuk mengontrol keuangan tidak hanya dilatarbelakangi alasan-alasan rasional, ttapi juga bernilai religius, karena Islam tidak menyukai orang yang bersikap boros.
¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ  
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
                 

Perlu pula dipahami oleh setiap rumah tangga muslim  bahwa tingkat kepuasan dalam mengkonsumsi barang atau jasa sebaiknya tidak didasarkan pada keinginan tetapi didasarkan pada kebutuhan. Dengan bersandar pada asumsi ini maka skala prioritas sesuai dengan tingkat kebutuhan merupakan hal yang lebih utma dari pada pemenuhan keinginan.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa manajemen rumah tangga menyangkut 2 aspek pokok yaitu pembagian peran yang jelas dalam rumah tangga dan pengelolaan keuangan dalam rumah tangga. Dua aspek pokok ini harus dibicarakan secara terbuka antara suami dan istri sehingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang jelas. Beberapa konflik yang terjadi dalam rumah tangga justru disebabkan karena tidak adanya kesepakatan yang jelas dalam 2 aspek pokok ini.

     2. Pembinaan Dalam Keluarga

Sejak kapankah pembinaan keluarga dimulai? Pembinaan keluarga dimulai sejak seseorang memilih jodohnya. Ketika seseorang memilih jodohnya, tentunya pilihan itu diharapkan merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan pasangan seumur hidupnya. Karena itu untuk memilih pasangan hidup, tidak cukup hanya berbekal perasaan cinta. Mengapa? Karena masalah kehidupan tidak dapat diselesaikan hanya dengan perasaan cinta tetapi juga kematangan pribadi, penghayatan dan pengamalan dari sebuah sistem nilai dan pertimbangan rasional.
Dengan pemahaman dan kesadaran bahwa pembinaan dalam keluarga dimulai sejak memililih jodoh maka seseorang akan berhati-hati dalam menentukan pasangan hidupnya. Dalam hadist dinyatakan:
“Janganlah kalian mengawini karena kecantikannya, mungkin kecantikan itu akan mencelakakan. Dan janganlah kamu kawini wanita karena hartanya, mungkin hartanya itu bisa menyombongkannya. Akan tetapi kawinilah mereka karena agamanya, sesungguhnya hamba sahaya yang hitam warna kulitnya tetapi beragama, itu lebih baik utama”. (R. Ibnu Majah Al Bazzar dari Al Baihaqi dari Abdullah bin Umar[12].

Ibu adalah lingkungan pertama bagi anak-anak, yang memberikan peranan penting bagi pembantukan karakter seorang anak. Karena itu pilihlah seorang istri yang beragama agar anak-anak kelak manjadi orang-orang yang taat beragama.
            Walaupun ajaran Islam memerintahkan untuk memilih calon istri yang taat beragama, tetapi bukan berarti tidak menghargai kecenderungan manusia terhadap hal-hal yang bersifat fisik atau kebendaan.
Ketika Nabi didatangi oleh Al Mughirah bin Syu’bah yang memberitakan bahwa ia telah meminang seorang wanita, maka nabi bersabda;”Lihatlah dulu, karena hal itu dapat mengekalkan perkawinan antara kalian berdua’. (R. An Nasai dan At Turmudzi).

Dengan demikian rasa cinta atau syahwat yang merupakan unsur manusiawi, turut menjadi pertimbangan. Tetapi Islam melarang setiap muslim mengawini wanita semata-mata mengharapkan harta dan kedudukan tanpa memperhatikan agama dan akhlaknya. Dalam hadist dinyatakan:
            “Barang siapa mengawini seorang wanita karena kemuliaannya, Allah tidak akan memberikan selain kehinaan. Barang siapa mengawini seorang wanita karena hartanya, Allah tidak akan memberikan selain kemiskinan. Barang siapa mengawini wanita karena kecantikannya, Allah tidak akan memberikan selain kerendahan. Dan barang siapa mengawini wanita tidak mengharapkan sesuatu selain ingin mengekang hawa nafsu dan memelihara farjinya atau karena ingin mengikat tali silaturahmi maka Allah akan memberikan berkah kepada suami dari istrinya dan istri dari suaminya. 

            Unsur utama dalam pembinaan keluarga muslim adalah istri yang shalihah. Untuk perempuan tentu saja keutamaannya adalah memilih suami yang baik akhlak dan agamanya. Adapun kewajiban orang tua yang memiliki anak perempuan adalah mendidiknya menjadi anak shalihah dan menikahkannya dengan laki-laki yang baik akhlak dan agamanya. Pada jaman sekarang ini pada umumnya anak perempuan memilih calon suaminya sendiri. Karena itu orang tua wajib membimbing dan mengarahkan anak perempuannya agar memilih calon suami dengan mengutamakan agamanya. Rasulallah bersabda: “Apabila ada yang meminang anak gadismu dan kamu senang pada agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah. Kalau tidak kamu lakukan sama saja dengan menjadikan fitnah di muka bumi dan menimbulkan kerusakan yang luas.
            Suami adalah pemimpin keluarga. Apa jadinya jika seorang perempuan dipimpin oleh laki-laki yang dangkal imannya. Alih-alih membimbing istri agar menjadi perempuan shalihah, kedangkalan iman akan membuat suami berbuat semena-mena dalam memimpin keluarga, tidak merujuk pada konsep rumah tangga Islam yang akhirnya akan menimbulkan konflik dan keputusasaan bagi istri. Beberapa kasus yang dilakukan oleh perempuan seperti kasus bunuh diri, membunuh anak-anaknya atau membunuh suaminya, disebabkan keputusasaan dan kekecewaan yang dipendam sedemikian rupa sehingga meledak menjadi perilaku agresif yang tidak terkontrol. Hal ini juga disebabkan karena ketidakberdayaan menghadapi dominasi (suami) yang justru melakukan tindakan tidak bertanggung jawab sehubungan dengan peran-perannya sebagai kepala/pemimpin keluarga. Betapa sulit bagi seorang perempuan beriman untuk mempertahankan kebaikannya jika ia dipimpin oleh suami yang dangkal imannya dan buruk akhlaknya. Seorang perempuan salihah lebih baik menikah dengan laki-laki yang salih agar dapat mempertahankan dan meningkatkan keimanannya dan membentuk keluarga bahagia sejahtera. Istri yang salihah mengakui kepemimpinan suami dan taat kepada suaminya sedangkan suami yang saleh akan mengemban tugas kepemimpinan rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Tentu saja suami yang saleh akan menyadari bahwa kepeimpinannya dalam keluarga merupakan tugas dan amanah dari Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.
            Seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Ali R.A. dan bertanya; “Anak perempuan saya dipinang oleh banyak orang. Kepada siapa saya memberikannya?”. Jawab Hasan; “Kawinkanlah putrimu dengan orang yang takwa kepada Allah. Kalau dia menyenangi putrimu maka dia akan menghormatinya dan kalau dia benci dia tidak akan mendzalimi”(Ihya Ulumud Din. 4/133).
  
            Jadi pembinaan keluarga justru dimulai sejak memilih jodoh. Selain itu kehidupan rumah tangga merupakan sebuah proses, maka senantiasa diusahakan agar roda rumah tangga tetap berjalan di atas rel nilai-nilai keislaman. Karena itu sebelum melangsungkan perkawinan hendaklah masing-masing calon pasangan membentuk kesepakatan tentang nilai dan norma yang mereka pakai dalam kehidupan rumah tangga, misalnya tidak mungkin keharmonisan rumah tangga akan tercipta jika suami menempatkan diri sebagai pemimpin dalam rumah tangga tetapi istri lebih suka mereka merupakan partner saja, tidak ada yang dipimpin dan memimpin.
            Keluarga merupakan sebuah sistem yang dinamis. Ia selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Masing-masing anggota keluarga berinteraksi dengan masyarakat sehingga mereka berkembang dan berubah. Untuk itu, keluarga terutama menyangkut relasi suami istri hendaknya mampu mengatasi perubahan-perubahan tersebut.  Perubahan-perubahan yang mengancam keutuhan keluarga harus mampu diantisipasi. Keluarga pun harus mampu menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang tidak dapat terhindarkan seperti, perubahan ritme kerja sehingga intensitas komunikasi berkurang, perubahan perilaku anak karena perkembangan fisik dan psikologisnya dan lain sebagainya. Dalam menghadapi perubahan-perubahan inilah pembinaan menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk diperhatikan demi menjaga keutuhan keluarga. Suami istri hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menciptakan rumah tangga yang islamis. Komunikasi harus senantiasa dibina, terbuka, mampu saling melemparkan kritik yang positif dan segala bentuk konflik mampu diatasi tanpa satu sama lain memendam rasa tidak puas. Suami istri pun hendaknya belajar untuk mengekspresikan rasa cintanya melalui perilaku untuk merawat cinta kasih mereka. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban membimbing istrinya, tetapi juga dapat menerima saran-saran dari istri, bahkan dapat belajar dari istri untuk hal-hal yang positif.
            Pembinaan keluarga tidak hanya menyangkut relasi suami istri tetapi juga relasi antara orang tua dan anak. Ketika seorang anak masih kecil, kontrol terhadap perkembangan fisik dan perilakunya semuanya dilakukan oleh orang tua. Seiring dengan pertambahan usia seorang anak, maka kontrol orang tua terhadap anak semakin berkurang. Pada saat si anak memasuki sekolah, pada saat itu pula orang tua menyerahkan fungsi pengawasannya kepada sekolah selama beberapa jam. Selain itu anak-anak akan memiliki teman bergaul dan menerima banyak informasi dari berbagai media seperti televisi, buku/ majalah dan intenet. Semua informasi yang di terima dari luar rumah akan mejadi pembanding bagi seperangkat norma yang semula telah diterima anak dari orang tuanya. Dalam waktu yang bersamaan kontrol orang tua terhadap anak semakin berkurang. Jika penanaman nilai-nilai keagamaan di rumah lemah, maka anak-anak akan mudah labil dan memilih sistem nilai lain yang berbeda dari yang diajarkan orang tua. Karena itu perlu dicatat bahwa tujuan pendidikan anak adalah membentuk kontrol diri yang kuat pada diri si anak, sehingga ketika kontrol orang tua semakin berkurang karena usia anak yang semakin dewasa, kontrol diri mereka sudah terbentuk.
            Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah proses pembiasaan dan pemberian contoh yang baik. Bagi orang tua, setiap detik adalah proses mendidik. Hal-hal kecil yang nampak tak berarti seperti menyuapi balita, membimbing ke kamar mandi atau menghabiskan waktu dengan bermain bersama merupakan proses mendidik.
            Ketika seorang anak dilahirkan, mulailah sebuah proses dimana seorang anak belajar menjadi anggota yang berpatisipasi dalam masyarakat. Tempat belajar yang pertama adalah rumah dimana orang tua adalah guru pertama bagi si anak. Dari rumah anak mulai belajar dan memahami norma-norma yang harus dipatuhi, memahami peran masing-masing anggota keluarga dan mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang harus dilakukan. Pada awalnya  kebiasaan-kebiasaan yang harus dilakukan seorang anak mungkin dilaksanakan dengan terpaksa karena pengawasan orang tua, tanpa pemahaman yang mendalam. Tetapi kebiasaan yang dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama akan dijiwai (dihayati) sebagai bagian dari kepribadiannya atau jati dirinya. Seorang anak yang dibiasakan melakukan sholat lima waktu akan menjadi gelisah apabila ia lalai melakukannya. Jika anak sudah sampai pada tahap ini maka kontrol diri anak dalam hal sholat lima waktu sudah terbentuk. Karena itu orang tua wajib membimbing dan mengontrol untuk anak untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti sholat, mengaji, belajar serta perilaku dan tutur kata yang santun.
            Mendidik anak tidak cukup hanya dengan nasehat dan dialog antara orang tua dan anak. Contoh dari orang tua merupakan metode pendidikan yang efektif. Bagaimana mungkin orang tua mampu membuat anaknya rajin sholat sedang si anak seringkali melihat orang tuanya meninggalkan kewajiban sholat. Semakin besar seorang anak, frekuensi pertemuan dengan orang tuanya semakin berkurang. Dengan keterbatasan frekuensi pertemuan maka  hendaknya diciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak. Dialog orang tua dan anak sangat penting untuk memberi pemahaman akan nilai-nilai tertentu agar anak mengetahui norma mana yang harus mereka patuhi, misalnya tentang pergaulan remaja, cara berpakaian atau lebih jauh tentang cara pandang manusia dalam menghadapi masalah kehidupan.
            Ketika anak-anak mulai mengenal lingkungan lain selain lingkungan keluarganya, mereka akan melihat dan merasakan bahwa lebih banyak norma yang harus mereka pahami dan taati. Bahkan beberapa norma atau etika pergaulan yang mereka lihat dan baca dari berbagai media mungkin bertentangan dengan norma-norma yang selama ini diajarkan orang tua. Pada titik penting ini, sepertinya seorang anak mulai memiliki pilihan, nilai-nilai mana yang akan mereka gunakan sebagai pedoman dalam mensikapi kehidupan. Ketika godaan datang karena lingkungan pergaulan misalnya untuk meninggalkan sholat fardhu, melakukan perzinahan atau mengkonsumsi narkoba, maka pada saat inilah kontrol diri si anak teruji. Nilai-nilai keagamaan yang tertanam sejak kecil, remaja hingga dewasa akan menetap dalam fikiran dan hati, tidak hanya dipahami tetapi juga dijiwai sehingga sistem nilai tersebut mengendalikan sikap dan perilaku. Jadi membentuk kontrol diri anak pada dasarnya adalah tentang bagaimana sistem nilai itu ditanamkan melalui sebuah proses pendidikan sehingga sistem nilai tersebut memiliki kemampuan mengendalikan sikap dan perilaku anak.
            Dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak terdiri dari 3 unsur pokok yaitu bimbingan dan pengawasan terhadap kebiasaan-kebiasaan anak, contoh dari orang tua/ lingkungan terdekat dan komunikasi yang efektif sehingga pesan-pesan/ nasehat dari orang tua dapat diterima dengan baik. Apabila 3 unsur pokok ini dapat dipenuhi dalam proses pendidikan, diharapkan kontrol diri anak dapat terbentuk.

No comments:

Post a Comment