Wednesday 8 February 2012

KELUARGA ISLAM DAN KEMAJEMUKAN NILAI DALAM MASYARAKAT

Telah Diterbitkan Pada Fiqh Munakahat I, Bimbingan Perkawinan dan Manajemen Rumah Tangga oleh Lembaga Penelitian IAIN SMHB 2011

Abstrak

Dominasi budaya Barat atas budaya Timur tidak hanya mencakup transfer ilmu pengetahuan, ekonomi serta politik tetapi juga mencakup transformasi sistem nilai. Yang terjadi di dunia Timur, khususnya Indonesia adalah situasi anomie yaitu suatu kondisi dimana tidak adanya sistem nilai yang bisa dijadikan pedoman perilaku, karena ditinggalkannya nilai-nilai lama, tetapi nilai-nilai baru juga belum diserap sepenuhnya. Bersamaan dengan itu, fungsi kontrol sosial yang mengendalikan perilaku manusia semakin melemah. Hal ini disebabkan sistem kekerabatan yang pada awalnya melakukan fungsi kontrol mulai kehilangan peranannya. Lembaga keluarga yang diharapkan masih dapat melakukan fungsi kontrol atas individu ternyata pula mengalami reduksi dalam melakukan peranya. Mobilitas sosial yang tinggi dan alienasi (keterasingan) menyebabkan keterikatan emosional antar keluarga menjadi berkurang. Kondisi ini mengakibatkan lembaga keluarga tidak dapat menjadi wadah sosialisasi nilai secara optimal. Sementara itu kemajemukan nilai di masyarakat menyebabkan anak-anak mengalami kebingungan dalam memilih pedoman perilaku. Dalam konteks ini keluarga Islam harus menengok kembali kepada konsep keluarga Islam ideal agar dapat melakukan fungsi pendidikan dan pembinaan bagi anak-anak.

A.    Pendahuluan

Dalam abad 21 telah terjadi perubahan-perubahan besar dalam masyarakat internasional sebagai akibat historis dari perkembangan sosial, terutama di Barat (yaitu pada abad 18 yang dimulai dengan renaisance). Dengan itu dominasi budaya Barat hampir tidak terelakkan dalam seluruh pelosok negeri di dunia ini. Dengan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologinya, dunia Barat telah melahirkan industrialisasi dan modernisasi di segala bidang. Industrialisasi dan modernisasi tidak hanya merubah pelembagaan ekonomi semata, tetapi juga mempengaruhi sistem nilai dari hampir seluruh lembaga sosial yang ada (termasuk lembaga keluarga).
            Pergeseran sistem nilai merupakan salah satu akibat dari industrialisasi dan modernisasi. Industrialisasi dan modernisasi membawa serta sistem nilai masyarakat Barat ke dalam  masyarakat Timur termasuk Indonesia. Terlepas dari pengaruh baik atau buruk dari transformasi nilai tersebut, Islam yang berfungsi sebagai sistem hukum normatif, yang memiliki kepentingan integratif dengan masyarakat, mau tidak mau harus mengadakan langkah analisis evaluatif.
            Bagi Islam, keluarga merupakan sub sistem penting bagi pembentukan sistem masyarakat yang lebih luas. Penanaman nilai akan lebih efektif jika dilakukan oleh lembaga keluarga. Hal ini disebabkan keterikatan emosional dalam keluarga menjadikan sosialisasi dapat berjalan lebih cepat dan mengakar.
            Keluarga di dalam masyarakat Indonesia sudah mengalami banyak perubahan dari bentuk keluarga zaman dahulu(extended family), baik dalam strukturnya maupun konsep nilainya. Dalam mobilitas geografis dan mobilitas sosial yang tinggi, intensitas interaksi lebih terlihat pada keluarga inti ( yang terdiri dari ayah, ibu dan anak) daripada keluarga besar (kerabat)[1]. Perubahan struktur ini sangat berarti secara kultural. Hukum adat yang mekanismenya banyak bersandar pada bangun keluarga besar (extended family) tidak lagi banyak berfungsi, apalagi pada masyarakat heterogen di perkotaan, dimana penduduknya terdiri dari berbagai macam suku dan latar belakang. Karena proses urbanisasi, mereka pada umumnya adalah penduduk pendatang. Dengan demikian sistem kekerabatan tidak mungkin dipergunakan lagi. Dalam kondisi seperti ini dengan sendirinya kontrol sosial oleh sistem kekerabatan terhadap keluarga dan individu tidak dapat dilakukan lagi. Pada tahap inilah terjadi proses individuasi. Dalam masyarakat individualis ini bukan hanya kontrol sosial yang melemah tetapi juga kepedulian terhadap orang lain. Kontrol terhadap individu hanya dapat dilakukan oleh keluarga inti. Jadi justru lembaga keluarga dalam masyarakat perkotaan (masyarakat heterogen) memiliki tugas lebih berat dalam mengendalikan perilaku individu. Hal ini sisebabkan fungsi kontrol sosial yang semula dilakukan oleh hukum adat dan sistem kekerabatan harus diambil sepenuhnya oleh keluarga inti. Dapatkah keluarga inti mengambil alih fungsi kontrol ini? Di dalam keluargapun ternyata mengalami perubahan sistem nilai. Yang terjadi dalam keluarga adalah alienasi (keterasingan). Antara anggota keluarga merasa asing satu sama lain. Mungkin kontrol perilaku masih dapat dilakukan oleh orangtua dalam derajat tertentu, tetapi apakah keluarga yang mengalami alienasi dapat memenuhi kebutuhan emosional anggota keluarga seperti merasa disayangi, solidaritas dan empati? Tentu saja tidak semua keluarga Indonesia mengalami hal ini. Tetapi jika fenomena sosial ini sedang terjadi, maka perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar dan meluas. Salah satu cara untuk mengantisipasi hilangnya pengaruh kekuatan keluarga terhadap individu adalah dengan cara menengok kembali konsep keluarga Islam ideal dan mencoba menerapkan dalam kenyataan sosial sekarang ini.
Perubahan sistem nilai dalam keluarga dan anggota keluarganya amat memperihatinkan, tidak hanya secara kultural tetapi juga secara mental spiritual.    

B.     Konsep Keluarga Islam

            Yang dimaksud dengan keluarga disini adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap muslim dalam membentuk bangun rumah tangganya atau keluarganya. Pertama, sebelum melangsungkan perkawinan, seorang muslim haruslah memiliki suatu konsep atau satu pemahaman tentang bentuk keluarga Islam, dan hal ini harus disepakati oleh calon suami ataupun calon istri. Dengan penuh kesadaran keduanya melangkah menuju pembinaan suatu keluarga muslim yang ideal, terutama bagi laki-laki yang memiliki kewajiban memimpin istri dan anak-anaknya. Tidak ada pilihan lain bagi tiap muslim kecuali meniti hidupnya untuk selalu menuju keluarga muslim yang ideal itu. Kedua, adalah pembagian peran yang jelas, seperti tercantum dalam Al-Qur’an, Surah 2, (Al-Baqarah: 233) yang artinya:
            Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyususan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf
            Jadi, tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri yang utama adalah mengurus rumah tangga. Ketiga, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bagi terbinanya pribadi muslim yang takwa. Suasana keluarga harus senantiasa kental dengan nilai-nilai agama. Hendaknya rumah selalu diterangi dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan shalat berjamaah, sehingga suasana seperti itu mengendap dalam ingatan dan jiwa anak-anak sehingga mempengaruhi pembentukan kepribadian sampai dewasa. Keempat, untuk perkembangan kejiwaan setiap anggota keluarga sikap kasih sayang dan kebersamaan harus senantiasa diaplikasikan. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrid meriwayatkan:
dari Aisyah r.a bahwa orang-orang Badwi datang kepada Nabi, lalu Nabi bertanya: “Apakah kalian mencium pipi anak kalian?” “Tidak” jawab mereka. Lalu Nabi berkata “Ataukah aku berdo’a agar Allah mencabut kasih sayang dari kalian.”

            Menunjukkan perilaku yang menggambarkan rasa kasih sayang amat penting, agar setiap anggota keluarga benar-benar merasa dicintai oleh orangtuanya[2]. Orang yang mendapat kasih sayang yang cukup dari orangtuanya akan lebih dapat bertahan dalam mengahadapi konflik internal (kejiwaaan) atau konflik eksternal (dari lingkungan sosial). Berbagai penyakit kejiwaan dan penyimpangan perilaku biasanya bersumber dari perasaan kurang disayangi atau dicintai oleh orang terdekatnya, terutama orangtuanya.
            Kebersamaan dalam keluarga merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan, karena keakraban dalam keluarga hanya akan tercapai dalam kebersamaan. Sikap kasih sayang ini amat berpengaruh terhadap pola kepribadian anak. Keluarga sebagai lembaga pendidikan utama bagi anak merupakan wadah dimana terjadi proses identifikasi dan sosialisasi yang sangat penting. Dari sinilah nilai-nilai Islam itu dibina. Proses identifikasi dan sosialisasi anak dalam keluarga sebetulnya merupakan modal bagi anak untuk mengahadapi lingkungan masyarakat yang lebih luas dan beragam.
            Perlu dikritisi apakah setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan telah melakukan dialog satu sama lain tentang konsep perkawinan yang akan melandasi kehidupan rumah tangganya nanti? Jika banyak hal dari kehidupan perkawinan tidak disepakati dan tidak memiliki pemahaman yang sama, mungkin akan sulit bagi pasangan suami istri untu menciptakan keluarga harmonis, terjadi banyak konflik dan sulit bertahan. Karena itu dalam proses ta’aruf dialog-dialog tentang konsep perkawinan perlu banyak dilakukan.
            Suatu hal penting yang perlu disepakati oleh calon pasangan suami istri adalah kepemimpinan dalam keluarga. Di tengah arus emansipasi, isu konsep persamaan hak dan masalah kepemimpinan dalam keluarga nampaknya perlu ditafsirkan lebih detail. Secara psikologis mungkin lebih sulit bagi perempuan masa kini menerima konsep kepemimpinan dalam keluarga. Tidak banyak wadah sosialisasi untuk perempuan agar belajar bagaimana menerima kepemimpinan suami. Hal ini disebabkan dalam setiap aspek kehidupan di sektor publik, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama. Perempuan masa kini perlu belajar lagi untuk menerima kepemimpinan suami dalam lembaga keluarga.
            Mungkin penting pula dilakukan penafsiran kembali tentang hakekat kepemimpinan dalam keluarga. Suami sebagai kepala keluarga (pemimpin) perlu memahami peran-perannya dalam keluarga sehingga kepemimpinan yang dilakukan tidak terjerumus pada sikap otoriter atau sebaliknya sikap permisif (serba boleh). Tugas kepemimpinan dalam keluarga yang dilakukan oleh suami atau ayah bersifat sakral karena memiliki nilai ibadah. Sebaliknya pengabaian terhadap peran suami sebagai pemimpin dalam keluarga justru akan mendapat sanksi di hadapan Allah. Namun sayang pengabaian peran suami dan ayah kadangkala tidak mendapatkan sanksi hukum yang sesuai di masyarakat seperti tidak menafkahi lahir dan bathin anak istrinya atau kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa kasus kriminal dalam rumah tangga memang sudah diatur dalam UU KDRT (Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tetapi tidak semua kasus terjaring oleh undang-undang ini. Yang banyak terjadi di masyarakat tetapi tidak mendapatkan perhatian yang cukup serius adalah pemenuhan nafkah bagi anak-abak yang orangtuanya bercerai. Seringkali anak-anak korban perceraian mengalami pengabaian dari pihak ayah terutama jika anak-anak belum baligh dan dalam pengasuhan ibunya.
            Islam menganjurkan agar hubungan antar individu dalam keluarga lebih ekspresif. Hal inilah yang terkadang sulit dilakukan, interaksi yang lebih ekspresif hanya dimungkinkan melalui komunikasi yang face to face (langsung)[3]. Kesibukan masing-masing anggota keluarga diluar rumah menyebabkan berkurangnya komunikasi face to face sehingga kurang mendukung terciptanya interaksi yang lebih bersifat ekspresif. Mobilitas sosial yang tinggi yang dialami masing-masing anggota keluarga juga menyebabkan kurangnya kebersamaan diantara mereka. Dalam kondisi  seperti ini sosialisasi nilai-nilai dan identifikasi anak kepada orangtua juga semakin berkurang. Situasi ini menyebabkan berkurangnya peran keluarga (terutama orangtua) terhadap pembentukan kepribadian anak.

C.    Keluarga Islam dalam Kemajemukkan Nilai di Masyarakat

            Di dalam masyarakat kita sekarang ini telah terjadi sebuah perubahan besar tentang nilai sebuah perilaku. Suatu perilaku yang dulu dianggap buruk oleh masyarakat, kini sudah mendapat kelonggaran. Contoh-contoh kasus seperti hamil diluar nikah, perzinahan dan perselingkuhan yang dahulu memiliki sangsi sosial yang cukup berat (pengasingan dan rasa malu) kini tidak lagi diangap aib yang sangat memalukan. Hal ini disebabkan masyarakat kita sedang mengalami transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Di dalam masyarakat transisi dimungkinkan terjadi situasi anomie, yaitu suatu kondisi ketika masyarakat mengalami ketidakjelasan nilai, yang digunakan untuk pedoman perilaku. Nilai-nilai adat dan agama masih melekat tetapi pengaruh nilai luar tidak dapat dihindari. Masyarakat umum dihadapkan pada alternatif nilai yang majemuk. Jika tiba pada suatu kondisi, ketika keluarga Islam mulai tidak sepakat dengan nilai di dalam lingkungan masyarakat – karena dominasi nilai luar yang tidak sesuai dengan nilai Islam – maka terjadi situasi saling tarik-menarik antara dua nilai tersebut.
Modernisasi dan industrialisasi yang  membawa serta tata nilai masyarakat Barat, sedikit banyak mempengaruhi lembaga masyarakat dan selanjutnya mempengaruhi lembaga keluarga. Modernisasi dan industrialisasi cenderung menimbulkan sekularisasi. Dalam derajat tertentu hal ini menyebabkan menurunnya penghayatan nilai keagamaan dalam masyarakat, Selanjutnya, dengan adanya kesempatan perempuan untuk berkarir dan juga karena tuntutan ekonomi keluarga, maka pembagian peran dalam keluarga menjadi kabur, karena perempuan juga menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja mencari nafkah. Kondisi seperti ini menyebabkan perempuan dengan peran gandanya lebih banyak menghabiskan waktu dan energi setiap harinya. Hasil penelitian antropolog Berry M. Popkin dan Rebecca M. Doan di Asia dan Afrika, menunjukkan bahwa peran ganda yang dilakukan para perempuan berakibat negatif bagi keharmonisan keluarga. Seringkali pertentangan kepentingan dari suatu peran dengan kepentingan pada peran lainnya menyebabkan dampak negatif. Mobilitas sosial yang tinggipun – ketika seseorang memiliki banyak aktivitas diluar rumah – menyebabkan frekuensi kebersamaan dalam keluarga berkurang dan akhirnya perwujudan sikap saling menyayangi antara anggota keluarga menjadi renggang. Pada akhirnya keluarga hanya dianggap sekedar performa saja. Hubungan antar pribadi kian jauh dan melemah. Individu-individu dalam keluarga tidak memperoleh rasa aman yang wajar melalui ikatan-ikatan keluarga. Suatu gaya hidup “masa kini” pun begitu gencarnya disajikan lewat media elektronika dan media massa, yang secara tidak langsung cenderung melegitimasi suatu perilaku yang semula dianggap “tidak layak” . Hal ini menjadi semacam ancaman bagi keluarga Islam terutama untuk pendidikan anak-anaknya. Semakin dewasa seorang anak, semakin luas lingkungan pergaulannya. Pada suatu saat nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga akan dibandingkan dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakatunder. Adakalanya lingkungan pergaulan lebih berpengaruh daripada lingkungan keluarga. Apabila keluarga tidak dapat menanamkan nilai secara mengakar dan apabila masyarakat mengalami ketidakjelasan nilai, maka mental dan moral anak-anak tidak akan terbina dengan baik.

D.    Mekanisme Pertahanan Keluarga Islam

            Menurut Alfin Tofler, apabila individu-individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi begitu cepat, maka akan timbul kesenjangan-kesenjangan yang akan mengakibatkan ketegangan-ketegangan di dalam masyarakat. Untuk itu keluarga sebagai lembaga alamiah haruslah menjadi peredam. Apabila keluarga Islam sudah tidak sepakat dengan nilai-nilai moral yang berkembang di dalam masyarakat maka diperlukan suatu mekanisme pertahanan diri dari sistem keluarga secara keseluruhan. Mekanisme pertahanan itu seharusnya merupakan suatu upaya untuk tetap memberlakukan konsep keluarga Islam ideal, baik dalam pembagian peran suami istri ataupun pendidikan anak-anak. Mengambil langkah isolasi dalam menghadapi dunia luar adalah tidak mungkin dan kurang bijaksana. Media elektronik dan media massa menjadi alat yang cukup penting di dalam rumah. Anak-anak tak pernah bisa dilepaskan dari televisi, radio dan majalah maupun internet. Padahal melalui sarana inilah nilai-nilai baru diperkenalkan, sehingga melalui sebuah benda yang ukurannya tidak lebih dari 1 meter, anak-anak dapat melihat kemajemukkan nilai tersebut yang mungkin dijadikan alternatif untuk dipilih sebagai sistem nilai yang diyakini, selain sistem nilai yang disosialisasikan dalam keluarga. Tetapi menutup semua informasi luar dengan melarang anak-anak untuk menonton televisi, membaca majalah atau membuka internet adalah tidak mungkin, karena kelak anak-anak akan tumbuh dewasa dan mendapatkan banyak informasi dari pergaulannya diluar rumah. Untuk itu diperlukan suatu langkah antisipatif yang tepat dalam menghadapi kemajemukkan nilai di dalam masyarakat. Pertama, karena masyarakat kurang memberikan stimulus untuk lebih giat mengamalkan ketentuan agama, maka keluarga Islam harus tetap memiliki rasa percaya diri dan berkeinginan besar untuk mengamalkan ketentuan-ketentuan agama. Kedua, kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk bekerja di luar rumah atau berkarir, jangan sampai membuat para istri lengah terhadap tugas utamaya, karena hal ini akan menyebabkan lemahnya keluarga sebagai tiang penyangga kehidupan individu. Suatu prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap perempuan muslim ialah bahwa tugas utama wanita adalah mengurus rumah tangga. Untuk hal-hal yang sangat kritis istri harus rela meninggalkan pekerjaan luar rumahnya. Namun begitu, dalam kondisi yang sangat mendesak, istripun siap untuk membantu mencari nafkah sesuai dengam kadar kemampuannya (hal ini mengingat masyarakat kita tidak memberikan jaminan sosial kepada para janda atau kepada keluarga yang suaminya kurang atau tidak dapat berfungsi sebagai pencari nafkah). Ketiga, mobilitas sosial yang tinggi – yang menyebabkan anggota keluarga banyak melakukan kegiatan diluar rumah – tidak harus melemahkan ikatan emosional dalam keluarga. Untuk itu selalu harus ada waktu yang diluangkan untuk berkumpul dalam keluarga. Keempat, keluarga adalah tempat pendidikan pertama seorang anak. Orangtua sebagai tokoh identifikasi dan keluarga sebagai wadah sosialisasi, akan menjadi bekal utama seorang anak untuk mengarungi kehidupan selanjutnya. Orangtua dan kondisi keluarga harus mempuyai pengaruh yang lebih kuat bagi anak daripada figur lain dan lingkungan lain. Dengan kekuatan pengaruh lingkungan keluarga untuk “membentuk” anggotanya, maka sikap selektif dalam menghadapi lingkungan luar akan tumbuh dengan sendirinya.
            Alfin Tofler seorang futuris, meramalkan tentang hancur dan hilangnya lembaga keluarga[4]. Shills menyatakan kemungkinan hilangnya ikatan primordial dalam hubungan antar individu. Ramalan dan pernyataan ini akan sangat logis, apabila dilihat dari prosesnya. Di dalam masyarakat terjadi individuasi keluarga inti dari kerabat, sehingga intensitas interaksi hanya ada pada keluarga inti. Ini disebabkan karena mobilitas geografis. Individuasi keluarga ini akan mungkin berubah menjadi alienasi  ketika individu secara psikis merasa sendirian dan terasing serta tidak mempunyai ikatan emosional dengan individu lainnya (Alfin Tofler menyebutnya dengan insan modular)[5]. Tak disangkal lagi, apa yang diramalkan oleh Alfin Tofler dan yang dinyatakan oleh Shills adalah konsekuensi dari perkembangan sosial yang orang menyebutnya dengan industrialisasi dan modernisasi.
            Uraian diatas tampak berkesan apriori terhadap proses modernisasi dan industrialisasi. Maksud penulis tidaklah untuk bersikap curiga terhadap kondisi ini, tapi hanya berusaha untuk memaparkan sebagai suatu tindakan untuk mengamati lingkungan dan selanjutnya bersikap mawas diri terhadap nilai-nilai yang secara laten dan perlahan berpengaruh negatif terhadap keluarga Islam.
            Satu kiat khusus sangat diperlukan oleh keluarga Islami dalam mengahadapi lingkungan luar. Keluarga Islam hendaknya berusaha menanamkan nilai-nilai Islami tetapi tidak bersikap isolatif, melainkan harus bersikap selektif. Dengan kata lain, era industrialsasi dan modernisasi harus diikuti secara aktif, tetapi nilai dan norma Islam tetap bertahan dan dipertahankan.

E.     Kesimpulan

Pada saat sistem kekerabatan masih demikian kental, kontrol sosial terhadap tingkah laku dan moral individu dapat dilakukan bersama-sama oleh keluarga dan kerabat. Tetapi karena faktor-faktor urbanisasi, mobilitas sosial yang tinggi, heterogenitas masyarakat dan individualisasi, hal ini tidak dapat dilakukan lagi, sehingga fungsi kontrol itu dibebankan hanya pada keluarga inti.
Bersamaan dengan berkurangnya peran kerabat terhadap kontrol sosial, keluarga inti yang seharusnya mengambil alih sepenuhnya fungsi kontrol itu justru mengalami perubahan. Mobilitas sosial yang tinggi setiap anggota keluarga menyebabkan berkurangnya sosialisasi nilai yang seharusnya dilakukan keluarga terhadap anggotanya. Situasi ini ditambah lagi situasi anomie dan kemajemukkan nilai dalam masyarakat sehingga anak-anak dihadapkan pada beberapa alternatif sistem    nilai. Dalam kondisi seperti ini keluarga Islam hendaknya memiliki mekanisme pertahanan dalam menghadapi penerpaan nilai-nilai luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mekanisme pertahanan itu berupa usaha untuk menerapkan konsep keluarga Islam ideal baik dalam pembagian peran suami- isteri maupun pendidikan anak-anak


           
           




 

 

 

 



No comments:

Post a Comment