Abstrak
Dominasi
budaya Barat atas budaya Timur tidak hanya mencakup transfer ilmu pengetahuan,
ekonomi serta politik tetapi juga mencakup transformasi sistem nilai. Yang
terjadi di dunia Timur, khususnya Indonesia adalah situasi anomie yaitu suatu
kondisi dimana tidak adanya sistem nilai yang bisa dijadikan pedoman perilaku,
karena ditinggalkannya nilai-nilai lama, tetapi nilai-nilai baru juga belum
diserap sepenuhnya. Bersamaan dengan itu,
fungsi kontrol sosial yang mengendalikan perilaku manusia semakin melemah. Hal
ini disebabkan sistem kekerabatan yang pada awalnya melakukan fungsi kontrol
mulai kehilangan peranannya. Lembaga keluarga yang diharapkan masih dapat
melakukan fungsi kontrol atas individu ternyata pula mengalami reduksi dalam
melakukan peranya. Mobilitas sosial yang tinggi dan alienasi (keterasingan)
menyebabkan keterikatan emosional antar keluarga menjadi berkurang. Kondisi ini
mengakibatkan lembaga keluarga tidak dapat menjadi wadah sosialisasi nilai
secara optimal. Sementara itu kemajemukan nilai di masyarakat menyebabkan
anak-anak mengalami kebingungan dalam memilih pedoman perilaku. Dalam konteks
ini keluarga Islam harus menengok kembali kepada konsep keluarga Islam ideal
agar dapat melakukan fungsi pendidikan dan pembinaan bagi anak-anak.
A.
Pendahuluan
Dalam abad 21
telah terjadi perubahan-perubahan besar dalam masyarakat internasional sebagai
akibat historis dari perkembangan sosial, terutama di Barat (yaitu pada abad 18
yang dimulai dengan renaisance). Dengan itu dominasi budaya Barat hampir tidak
terelakkan dalam seluruh pelosok negeri di dunia ini. Dengan keunggulan ilmu
pengetahuan dan teknologinya, dunia Barat telah melahirkan industrialisasi dan
modernisasi di segala bidang. Industrialisasi dan modernisasi tidak hanya
merubah pelembagaan ekonomi semata, tetapi juga mempengaruhi sistem nilai dari
hampir seluruh lembaga sosial yang ada (termasuk lembaga keluarga).
Pergeseran sistem nilai merupakan salah satu akibat dari
industrialisasi dan modernisasi. Industrialisasi dan modernisasi membawa serta
sistem nilai masyarakat Barat ke dalam masyarakat Timur termasuk Indonesia. Terlepas
dari pengaruh baik atau buruk dari transformasi nilai tersebut, Islam yang
berfungsi sebagai sistem hukum normatif, yang memiliki kepentingan integratif
dengan masyarakat, mau tidak mau harus mengadakan langkah analisis evaluatif.
Bagi Islam, keluarga merupakan sub sistem penting bagi
pembentukan sistem masyarakat yang lebih luas. Penanaman nilai akan lebih
efektif jika dilakukan oleh lembaga keluarga. Hal ini disebabkan keterikatan
emosional dalam keluarga menjadikan sosialisasi dapat berjalan lebih cepat dan
mengakar.
Keluarga di dalam masyarakat Indonesia sudah mengalami
banyak perubahan dari bentuk keluarga zaman dahulu(extended family), baik dalam strukturnya maupun konsep nilainya.
Dalam mobilitas geografis dan mobilitas sosial yang tinggi, intensitas
interaksi lebih terlihat pada keluarga inti ( yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak) daripada keluarga besar (kerabat)[1]. Perubahan struktur ini
sangat berarti secara kultural. Hukum adat yang mekanismenya banyak bersandar
pada bangun keluarga besar (extended family) tidak lagi banyak
berfungsi, apalagi pada masyarakat heterogen di perkotaan, dimana penduduknya
terdiri dari berbagai macam suku dan latar belakang. Karena proses urbanisasi,
mereka pada umumnya adalah penduduk pendatang. Dengan demikian sistem
kekerabatan tidak mungkin dipergunakan lagi. Dalam kondisi seperti ini dengan
sendirinya kontrol sosial oleh sistem kekerabatan terhadap keluarga dan
individu tidak dapat dilakukan lagi. Pada tahap inilah terjadi proses
individuasi. Dalam masyarakat individualis ini bukan hanya kontrol sosial yang
melemah tetapi juga kepedulian terhadap orang lain. Kontrol terhadap individu
hanya dapat dilakukan oleh keluarga inti. Jadi justru lembaga keluarga dalam
masyarakat perkotaan (masyarakat heterogen) memiliki tugas lebih berat dalam
mengendalikan perilaku individu. Hal ini sisebabkan fungsi kontrol sosial yang
semula dilakukan oleh hukum adat dan sistem kekerabatan harus diambil
sepenuhnya oleh keluarga inti. Dapatkah keluarga inti mengambil alih fungsi kontrol ini? Di
dalam keluargapun ternyata mengalami perubahan sistem nilai. Yang terjadi dalam
keluarga adalah alienasi (keterasingan). Antara anggota keluarga merasa asing
satu sama lain. Mungkin kontrol perilaku masih dapat dilakukan oleh orangtua
dalam derajat tertentu, tetapi apakah keluarga yang mengalami alienasi dapat
memenuhi kebutuhan emosional anggota keluarga seperti merasa disayangi,
solidaritas dan empati? Tentu saja tidak semua keluarga Indonesia mengalami hal
ini. Tetapi jika fenomena sosial ini sedang terjadi, maka perlu diwaspadai agar
tidak menimbulkan masalah yang lebih besar dan meluas. Salah satu cara untuk
mengantisipasi hilangnya pengaruh kekuatan keluarga terhadap individu adalah
dengan cara menengok kembali konsep keluarga Islam ideal dan mencoba menerapkan
dalam kenyataan sosial sekarang ini.
Perubahan sistem nilai
dalam keluarga dan anggota keluarganya amat memperihatinkan, tidak hanya secara
kultural tetapi juga secara mental spiritual.
B.
Konsep Keluarga Islam
Yang dimaksud dengan
keluarga disini adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ada
beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh setiap muslim dalam membentuk bangun rumah tangganya
atau keluarganya. Pertama, sebelum
melangsungkan perkawinan, seorang muslim haruslah memiliki suatu konsep atau
satu pemahaman tentang bentuk keluarga Islam, dan hal ini harus disepakati oleh
calon suami ataupun calon istri. Dengan penuh kesadaran keduanya melangkah
menuju pembinaan suatu keluarga muslim yang ideal, terutama bagi laki-laki yang
memiliki kewajiban memimpin istri dan anak-anaknya. Tidak ada pilihan lain bagi
tiap muslim kecuali meniti hidupnya untuk selalu menuju keluarga muslim yang
ideal itu. Kedua, adalah pembagian
peran yang jelas, seperti tercantum dalam Al-Qur’an, Surah 2, (Al-Baqarah: 233)
yang artinya:
Para
ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyususan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
ibu dengan cara yang ma’ruf
Jadi, tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri
yang utama adalah mengurus rumah tangga. Ketiga,
menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bagi terbinanya pribadi
muslim yang takwa. Suasana keluarga harus senantiasa kental dengan nilai-nilai
agama. Hendaknya rumah selalu diterangi dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an
dan shalat berjamaah, sehingga suasana seperti itu mengendap dalam ingatan dan
jiwa anak-anak sehingga
mempengaruhi pembentukan kepribadian sampai
dewasa. Keempat, untuk perkembangan kejiwaan setiap anggota keluarga sikap kasih sayang dan
kebersamaan harus senantiasa diaplikasikan. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrid meriwayatkan:
dari Aisyah r.a bahwa orang-orang Badwi
datang kepada Nabi, lalu Nabi bertanya: “Apakah kalian mencium pipi anak
kalian?” “Tidak” jawab mereka. Lalu Nabi berkata “Ataukah aku berdo’a agar
Allah mencabut kasih sayang dari kalian.”
Menunjukkan perilaku yang menggambarkan rasa kasih sayang
amat penting, agar setiap anggota keluarga benar-benar merasa dicintai oleh
orangtuanya[2]. Orang yang mendapat
kasih sayang yang cukup dari orangtuanya akan lebih dapat bertahan dalam
mengahadapi konflik internal (kejiwaaan) atau konflik eksternal (dari
lingkungan sosial). Berbagai penyakit kejiwaan dan penyimpangan perilaku
biasanya bersumber dari perasaan kurang disayangi atau dicintai oleh orang
terdekatnya, terutama orangtuanya.
Kebersamaan dalam keluarga merupakan suatu hal yang tidak
dapat diabaikan, karena keakraban dalam keluarga hanya akan tercapai dalam
kebersamaan. Sikap kasih sayang ini amat berpengaruh terhadap pola kepribadian
anak. Keluarga sebagai lembaga pendidikan utama bagi anak merupakan wadah dimana terjadi proses identifikasi dan
sosialisasi yang sangat penting. Dari sinilah nilai-nilai Islam itu dibina. Proses
identifikasi dan
sosialisasi anak dalam keluarga sebetulnya merupakan modal bagi anak untuk
mengahadapi lingkungan masyarakat yang lebih luas dan beragam.
Perlu dikritisi apakah setiap pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan telah melakukan dialog satu sama lain tentang konsep
perkawinan yang akan melandasi kehidupan rumah tangganya nanti? Jika banyak hal
dari kehidupan perkawinan tidak disepakati dan tidak memiliki pemahaman yang
sama, mungkin akan sulit bagi pasangan suami istri untu menciptakan
keluarga harmonis, terjadi banyak konflik dan sulit bertahan. Karena itu dalam proses
ta’aruf dialog-dialog tentang konsep perkawinan perlu banyak dilakukan.
Suatu hal penting yang perlu disepakati oleh calon
pasangan suami istri adalah kepemimpinan dalam keluarga. Di tengah arus
emansipasi, isu konsep persamaan hak dan masalah kepemimpinan dalam keluarga nampaknya perlu ditafsirkan lebih
detail. Secara psikologis mungkin lebih sulit bagi perempuan masa kini menerima konsep kepemimpinan dalam keluarga. Tidak
banyak wadah sosialisasi untuk perempuan agar belajar bagaimana menerima kepemimpinan suami.
Hal ini disebabkan dalam setiap aspek kehidupan di sektor publik, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang
sama. Perempuan masa
kini perlu
belajar lagi untuk menerima
kepemimpinan suami dalam
lembaga keluarga.
Mungkin penting pula dilakukan penafsiran kembali tentang
hakekat kepemimpinan dalam keluarga. Suami sebagai kepala keluarga (pemimpin)
perlu memahami peran-perannya dalam keluarga sehingga kepemimpinan yang
dilakukan tidak terjerumus pada sikap otoriter atau sebaliknya sikap permisif
(serba boleh). Tugas kepemimpinan dalam keluarga yang dilakukan oleh suami
atau ayah bersifat sakral karena memiliki nilai ibadah. Sebaliknya pengabaian
terhadap peran suami sebagai pemimpin dalam keluarga justru akan mendapat sanksi di hadapan Allah. Namun
sayang pengabaian peran suami dan ayah kadangkala tidak mendapatkan sanksi hukum yang sesuai di
masyarakat seperti tidak menafkahi lahir dan bathin anak istrinya atau
kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa kasus kriminal dalam rumah tangga memang
sudah diatur dalam UU KDRT (Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga), tetapi
tidak semua kasus terjaring oleh undang-undang ini. Yang banyak terjadi di
masyarakat tetapi tidak mendapatkan perhatian yang cukup serius adalah
pemenuhan nafkah bagi anak-abak yang orangtuanya bercerai. Seringkali anak-anak
korban perceraian mengalami pengabaian dari pihak ayah terutama jika anak-anak
belum baligh dan dalam pengasuhan ibunya.
Islam menganjurkan agar hubungan antar individu dalam
keluarga lebih ekspresif. Hal inilah yang terkadang sulit dilakukan, interaksi yang
lebih ekspresif hanya dimungkinkan melalui komunikasi yang face to face (langsung)[3]. Kesibukan masing-masing
anggota keluarga diluar rumah menyebabkan berkurangnya komunikasi face to face sehingga kurang mendukung
terciptanya interaksi yang lebih bersifat ekspresif. Mobilitas sosial yang
tinggi yang dialami masing-masing anggota keluarga juga menyebabkan kurangnya
kebersamaan diantara mereka. Dalam kondisi
seperti ini sosialisasi nilai-nilai dan identifikasi anak kepada
orangtua juga semakin berkurang. Situasi ini menyebabkan berkurangnya peran
keluarga (terutama orangtua) terhadap pembentukan kepribadian anak.
C.
Keluarga Islam dalam Kemajemukkan
Nilai di Masyarakat
Di dalam masyarakat kita
sekarang ini telah terjadi sebuah perubahan besar tentang nilai sebuah
perilaku. Suatu perilaku yang dulu dianggap buruk oleh masyarakat, kini sudah
mendapat kelonggaran. Contoh-contoh kasus seperti hamil diluar nikah,
perzinahan dan perselingkuhan yang dahulu memiliki sangsi sosial yang cukup
berat (pengasingan dan rasa malu) kini tidak lagi diangap aib yang sangat
memalukan. Hal ini disebabkan masyarakat kita sedang mengalami transisi dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Di dalam masyarakat transisi
dimungkinkan terjadi situasi anomie,
yaitu suatu kondisi ketika masyarakat mengalami ketidakjelasan nilai, yang
digunakan untuk pedoman perilaku. Nilai-nilai adat dan agama masih melekat
tetapi pengaruh nilai luar tidak dapat dihindari. Masyarakat umum dihadapkan pada
alternatif nilai yang majemuk. Jika tiba pada suatu kondisi, ketika keluarga
Islam mulai tidak sepakat dengan nilai di dalam lingkungan masyarakat – karena
dominasi nilai luar yang tidak sesuai dengan nilai Islam – maka terjadi situasi
saling tarik-menarik antara dua nilai tersebut.
Modernisasi
dan industrialisasi yang membawa serta
tata nilai masyarakat Barat, sedikit banyak mempengaruhi lembaga masyarakat dan
selanjutnya mempengaruhi lembaga keluarga. Modernisasi dan industrialisasi
cenderung menimbulkan sekularisasi. Dalam derajat tertentu hal ini menyebabkan
menurunnya penghayatan nilai keagamaan dalam masyarakat,
Selanjutnya, dengan adanya kesempatan perempuan untuk berkarir dan juga karena
tuntutan ekonomi keluarga, maka pembagian peran dalam keluarga menjadi kabur,
karena perempuan juga
menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja mencari nafkah. Kondisi seperti
ini menyebabkan perempuan dengan peran gandanya lebih banyak menghabiskan waktu dan
energi setiap harinya. Hasil penelitian antropolog Berry M. Popkin dan Rebecca
M. Doan di Asia dan Afrika, menunjukkan bahwa peran ganda yang dilakukan para perempuan berakibat negatif bagi
keharmonisan keluarga. Seringkali pertentangan kepentingan dari suatu peran
dengan kepentingan pada peran lainnya menyebabkan dampak negatif. Mobilitas
sosial yang tinggipun – ketika seseorang memiliki banyak aktivitas diluar rumah
– menyebabkan frekuensi kebersamaan dalam keluarga berkurang dan akhirnya
perwujudan sikap saling menyayangi antara anggota keluarga menjadi renggang.
Pada akhirnya keluarga hanya dianggap sekedar performa saja. Hubungan antar
pribadi kian jauh dan melemah. Individu-individu dalam keluarga tidak
memperoleh rasa aman yang wajar melalui ikatan-ikatan keluarga. Suatu gaya
hidup “masa kini” pun begitu gencarnya disajikan lewat media elektronika dan
media massa, yang secara tidak langsung cenderung melegitimasi suatu perilaku
yang semula dianggap “tidak layak” . Hal ini menjadi semacam ancaman bagi
keluarga Islam terutama untuk pendidikan anak-anaknya. Semakin dewasa seorang
anak, semakin luas lingkungan pergaulannya. Pada suatu saat nilai-nilai yang
ditanamkan dalam keluarga akan dibandingkan dengan nilai-nilai yang berlaku di
dalam masyarakatunder. Adakalanya lingkungan pergaulan lebih berpengaruh daripada
lingkungan keluarga.
Apabila keluarga tidak dapat menanamkan nilai secara mengakar dan apabila
masyarakat mengalami ketidakjelasan nilai, maka mental dan moral anak-anak
tidak akan terbina dengan baik.
D.
Mekanisme Pertahanan Keluarga
Islam
Menurut Alfin Tofler, apabila individu-individu tidak
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang
terjadi begitu cepat, maka akan timbul kesenjangan-kesenjangan yang akan
mengakibatkan ketegangan-ketegangan di dalam masyarakat. Untuk itu keluarga
sebagai lembaga alamiah haruslah menjadi peredam. Apabila keluarga Islam sudah tidak sepakat dengan
nilai-nilai
moral yang berkembang di dalam masyarakat maka diperlukan suatu mekanisme
pertahanan diri dari sistem keluarga secara keseluruhan. Mekanisme pertahanan
itu seharusnya merupakan suatu upaya untuk tetap memberlakukan konsep keluarga
Islam ideal, baik dalam pembagian peran suami istri ataupun pendidikan
anak-anak. Mengambil langkah isolasi dalam menghadapi dunia luar adalah tidak
mungkin dan kurang bijaksana. Media elektronik dan media massa menjadi alat
yang cukup penting di dalam rumah. Anak-anak tak pernah bisa dilepaskan dari
televisi, radio dan majalah maupun internet. Padahal melalui sarana inilah
nilai-nilai baru diperkenalkan, sehingga melalui sebuah benda yang ukurannya tidak
lebih dari 1 meter, anak-anak dapat melihat kemajemukkan nilai tersebut yang
mungkin dijadikan alternatif untuk dipilih sebagai sistem nilai yang diyakini, selain sistem nilai yang
disosialisasikan dalam keluarga. Tetapi menutup semua informasi luar dengan
melarang anak-anak untuk menonton televisi, membaca majalah atau membuka
internet adalah tidak mungkin, karena kelak anak-anak akan tumbuh dewasa dan
mendapatkan banyak informasi dari pergaulannya diluar rumah. Untuk itu
diperlukan suatu langkah antisipatif yang tepat dalam menghadapi kemajemukkan
nilai di dalam masyarakat. Pertama, karena
masyarakat kurang memberikan stimulus untuk lebih giat mengamalkan ketentuan
agama, maka keluarga Islam harus tetap memiliki rasa percaya diri dan
berkeinginan besar untuk mengamalkan ketentuan-ketentuan agama. Kedua, kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk bekerja di luar
rumah atau berkarir, jangan sampai membuat para istri lengah terhadap tugas
utamaya, karena hal ini akan menyebabkan lemahnya keluarga sebagai tiang
penyangga kehidupan individu. Suatu prinsip yang harus dipegang teguh oleh
setiap perempuan
muslim ialah bahwa tugas utama wanita adalah mengurus rumah tangga. Untuk
hal-hal yang sangat kritis istri harus rela meninggalkan pekerjaan luar rumahnya.
Namun begitu, dalam kondisi yang sangat mendesak, istripun siap untuk membantu
mencari nafkah sesuai dengam kadar kemampuannya (hal ini mengingat masyarakat
kita tidak memberikan jaminan sosial kepada para janda atau kepada keluarga
yang suaminya kurang atau tidak dapat berfungsi sebagai pencari nafkah). Ketiga, mobilitas sosial yang tinggi –
yang menyebabkan anggota keluarga banyak melakukan kegiatan diluar rumah –
tidak harus melemahkan ikatan emosional dalam keluarga. Untuk itu selalu harus
ada waktu yang diluangkan untuk berkumpul dalam keluarga. Keempat, keluarga adalah tempat pendidikan pertama seorang anak.
Orangtua sebagai tokoh identifikasi dan keluarga sebagai wadah sosialisasi,
akan menjadi bekal utama seorang anak untuk mengarungi kehidupan selanjutnya.
Orangtua dan kondisi keluarga harus mempuyai pengaruh yang lebih kuat bagi anak
daripada figur lain dan lingkungan lain. Dengan kekuatan pengaruh lingkungan
keluarga untuk “membentuk” anggotanya, maka sikap selektif dalam menghadapi
lingkungan luar akan tumbuh dengan sendirinya.
Alfin Tofler seorang futuris, meramalkan tentang hancur
dan hilangnya lembaga keluarga[4]. Shills menyatakan
kemungkinan hilangnya ikatan primordial dalam hubungan antar individu. Ramalan
dan pernyataan ini akan sangat logis, apabila dilihat dari prosesnya. Di dalam
masyarakat terjadi individuasi keluarga inti dari kerabat, sehingga intensitas interaksi
hanya ada pada keluarga inti. Ini disebabkan karena mobilitas geografis.
Individuasi keluarga ini akan mungkin berubah menjadi alienasi ketika individu secara psikis merasa sendirian dan terasing serta tidak
mempunyai ikatan emosional dengan individu lainnya (Alfin Tofler menyebutnya
dengan insan modular)[5]. Tak disangkal lagi, apa
yang diramalkan oleh Alfin Tofler dan yang dinyatakan oleh Shills adalah
konsekuensi dari perkembangan sosial yang orang menyebutnya dengan
industrialisasi dan modernisasi.
Uraian diatas tampak berkesan apriori terhadap proses
modernisasi dan industrialisasi. Maksud penulis tidaklah untuk bersikap curiga
terhadap kondisi ini, tapi hanya berusaha untuk memaparkan sebagai suatu
tindakan untuk mengamati lingkungan dan selanjutnya bersikap mawas diri
terhadap nilai-nilai yang secara laten dan perlahan berpengaruh negatif
terhadap keluarga Islam.
Satu kiat khusus sangat diperlukan oleh keluarga Islami
dalam mengahadapi lingkungan luar. Keluarga Islam hendaknya berusaha menanamkan
nilai-nilai Islami tetapi tidak bersikap isolatif, melainkan harus bersikap
selektif. Dengan kata lain, era industrialsasi dan modernisasi harus diikuti
secara aktif, tetapi nilai dan norma Islam tetap bertahan dan dipertahankan.
E.
Kesimpulan
Pada saat
sistem kekerabatan masih demikian kental, kontrol sosial terhadap tingkah laku
dan moral individu dapat dilakukan bersama-sama oleh keluarga dan kerabat.
Tetapi karena faktor-faktor urbanisasi, mobilitas sosial yang tinggi,
heterogenitas masyarakat dan individualisasi, hal ini tidak dapat dilakukan
lagi, sehingga fungsi kontrol itu dibebankan hanya pada keluarga inti.
Bersamaan dengan
berkurangnya peran kerabat terhadap kontrol sosial, keluarga inti yang
seharusnya mengambil alih sepenuhnya fungsi kontrol itu justru mengalami
perubahan. Mobilitas sosial yang tinggi setiap anggota keluarga menyebabkan
berkurangnya sosialisasi nilai yang seharusnya dilakukan keluarga terhadap
anggotanya. Situasi ini ditambah lagi situasi anomie dan kemajemukkan nilai
dalam masyarakat sehingga anak-anak dihadapkan pada beberapa alternatif sistem nilai. Dalam kondisi seperti ini keluarga Islam hendaknya
memiliki mekanisme pertahanan dalam menghadapi penerpaan nilai-nilai luar yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mekanisme pertahanan itu berupa usaha
untuk menerapkan konsep keluarga Islam ideal baik dalam pembagian peran suami-
isteri maupun pendidikan anak-anak
.
No comments:
Post a Comment