Wednesday 8 February 2012

KESIAPAN PERKAWINAN ISLAMI

Telah Diterbitkan Pada Fiqh Munakahat I, Bimbingan Perkawinan dan Manajemen Rumah Tangga oleh Lembaga Penelitian IAIN SMHB 2011

 A. Kondisi Individu Dalam Mempersiapkan Perkawinan

    1. Kematangan Fisiologis

Secara fisiologis seseorang dapat dikatakan siap melangsungkan perkawinan apabila orang tersebut sudah dapat melakukan fungsi reproduksi (membuahkan keturunan). Untuk perempuan biasanya ditandai dengan menarche (haidh yang pertama kali). Selain itu terdapat beberapa perubahan dalam  pertumbuhan fisik perempuan, misalnya pertumbuhan payudara dan tumbuhnya bulu di sekitar ketiak dan kemaluan. Pertumbuhan ini berlangsung secara bertahap yang menandakan seorang anak tumbuh menjadi perempuan dewasa. Bagi laki-laki mereka siap melakukan fungsi reproduksi apabila ditandai dengan polutio yaitu keluarnya air mani pada waktu tidur (mimpi basah). Seringkali keluarnya air mani disertai dengan mimpi. Jadi seorang perempuan yang telah mengalami haid dan seorang laki-laki yang telah mengalami polutio merupakan kondisi fisik yang telah matang secara seksual untuk melakukan perkawinan. Artinya apabila mereka mengadakan hubungan seksual maka kemungkinan akan terjadi kehamilan.
Biasanya menarche dialami oleh perempuan pada usia sekitar 11-16 tahun. Cepat atau lambat seorang gadis mengalami menarche ditentukan oleh konstitusi fisik individual (kesehatan, gizi dan sebagainya), selain itu juga dipengaruhi oleh faktor ras, suku bangsa dan cara hidup. Polutio (keluarnya air mani) pertama kali dialami oleh laki-laki pada umur 11-15 tahun. Tanda-tanda lainnya yang menunjukkan bahwa seorang anak telah menjadi laki-laki dewasa adalah tumbuhnya bulu disekitar ketiak dan kemaluan serta perubahan suara yang membesar.
Selain matang secara fisiologis, kesehatan fisik secara umum merupakan salah satu syarat bila seseorang hendak melangsungkan perkawianan. Kesehatan fisik yang terganggu secara terus menerus kemungkinan akan mengganggu seseorang untuk menjalankan peran-perannya sebagai sorang suami atau istri. Penyakit yang perlu diwaspadai dalam kehidupan perkawinan adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin atau STD (Sexually Transmitted Diseases) seperti sifilis gonorhoe dan AIDS.
Salah satu tujuan perkawinan adalah memperoleh keturunan. Bagi beberapa pasangan memperoleh keturunan mungkin bukan tujuan mutlak sebuah perkawinan. Tanpa adanya anak, perkawinan dapat berjalan langgeng dan bahagia. Dalam kondisi serupa, pasangan lain mungkin menganggap tanpa anak perkawinan mereka akan   bermasalah. Jadi apakah kemampuan memperoleh keturunan akan menjadi masalah atau tidak, tergantung dari masing-masing pasangan dalam memahami perkawinan. Kemampuan memperoleh keturunan juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan masing-masing pasangan. Kemampuan melakukan hubungan seksual juga dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis seseorang.
Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan sebaiknya terlebih dahulu memeriksakan kondisi kesehatannya agar segala sesuatu yang mengganggu kesehatan fisik  dapat dihindari atau diantisipasi. Kematangan fisiologis bukanlah satu-satunya syarat agar seseorang dapat melangsungkan perkawinan. Kondisi psikologis dan sosial ekonomi harus pula menjadi pertimbangan . Seorang gadis yang berusia 12 tahun dan sudah haidh bukanlah usia yang ideal untuk melangsungkan perkawinan, karena walaupun sudah matang secara fisiologis, kondisi psikologisnya belum memungkinkan  untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawianan nomor 1 tahun 74 pasal 9 ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan apabila laki-laki sudah berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Selanjutnya dalam pasal 9 ayat 2 dinyatakan jika perkawinan terpaksa harus dilakukan kurang dari umur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan maka kedua orang tua pihak laki-laki dan perempuan harus mengajukan dispensasi kepada pengadilan atan pejabat lain yang ditunjuk.
Di Indonesia pada umumnya perkawinan dilakukan minimal pada umur 20 tahun. Hal ini disebabkan pada umur 20 tahun anak yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan SMU (Sekolah Menengah Umum). Bahkan banyak pula yang menunda perkawinan hingga umur 25 tahun ketika seorang anak telah menyelesaikan pendidikan S1.
Pada kasus-kasus tertentu seringkali orang tua tidak mengizinkan anaknya untuk menikah sebelum selesai pendidikan SMU atau S1. Mereka mempertimbangkan kesiapan anak dalam aspek sosial ekonomi (belum memiliki penghasilan). Beberapa pasangan yang ingin segera menikah, kondisi seperti ini seringkali menimbulkan masalah. Alasan mereka ingin menikah mungkin karena libido yang memuncak, tidak ingin kehilangan pasangannya atau alasan-alasan lainnya. Karena orang tua bersikeras melarang maka beberapa pelanggaran mungkin dilakukan seperti hubungan seks dan hamil di luar nikah. Sarlito Wirawan Sarwono seorang psikolog mengusulkan jika perkawinan memang harus dilaksanakan karena kondisi-kondisi tertentu yang tidak dapat dihindari maka sebaiknya orang tua mendukung perkawinan tersebut tetapi dalam hal ini KB (Keluarga Berencana) memegang peranan penting[1]. Dengan alat kontrasepsi maka pasangan yang belum mapan secara ekonomi dan sedang menyelesaikan studinya dapat menunda kehamilan.

    2. Kematangan Psikologis

Kematangan fisiologis relatif lebih cepat berkembang dibandingkan kematangan psikologis. Seorang remaja lebih cepat mencapai kematangan fisiologis dan seksualnya dibanding kematangan psikologisnya. Masa remaja disebut juga masa transisi karena secara fisik mereka sudah dewasa tetapi secara psikologis mereka belum mencapai kedewasaan yang penuh. Kematangan psikologis umumnya dicapai pada umur 21 tahun yang sering disebut dengan masa dewasa awal. Pada usia ini kemungkinan secara fisiologi dan psikologis seseorang sudah boleh/ siap menikah. Pada dasarnya umur bukanlah patokan mutlak untuk menunjukkan kematangan psikologis. Allport menentukan indikator yang dijadikan patokan untuk menilai bahwa seseorang sudah menjadi pribadi yang dewasa yaitu:
  • Pemekaran diri sendiri (extension of self) yang ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap orang lain atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Salah satu tandanya adalah timbulnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
  • Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara obyektif (self objectification) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri. Ia mampu melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sebagai orang luar. Ia mampu mempertahankan hubungan yang positif dangan dirinya sendri dan obyek-obyek yang disenangi.
  • Memiliki filasafat hidup (weltanschauung, philosophy of life). Walaupun individu harus dapat bersikap obyektif serta mampu menikmati kehidupannya, ia harus mampu memiliki seperangkat sistem nilai  yang mendasari sikap dan perilakunya sehingga ia mampu memberi arti dan tujuan dari apa yang dikerjakannya. Religi merupakan salah satu hal penting dalam hal ini[2].
Sebelum seseorang siap melangsungkan perkawinan, sebaiknya ia sudah mencapai kematangan psikologisnya (dewasa). Kemampuan untuk mencintai orang lain (extension of self) merupakan suatu kondisi yang harus dicapai individu dewasa. Dalam perkawinan, individu harus mampu mencintai dan mengekspresikan rasa cintanya kepada suami/ istri dan anak-anaknya. Pemahaman bahwa ada faktor luar yang menjadi bagian dirinya dan menciptakan keterikatan psikologis tertentu (saling bergantung ,saling melengkapi tanggung jawab dan sebagainya) merupakan salah satu syarat mutlak agar sebuah perkawinan dapat berjalan langgeng.
Perkawinan hendaknya dipahami dan disadari sebagai sebuah kehidupan bersama. Artinya pasangan yang melakukan perkawinan  menyadari bahwa mereka adalah sebuah tim dan akan menciptakan sebuah sistem (sistem keluarga). Layaknya sebuah tim, masing-masing dari mereka bukan hanya harus mampu saling bekerja sama dan saling melengkapi tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengoreksi diri sendiri dan mampu menerima kritik dari pasangannya. Inilah yang disebut dengan self objectification. Individu yang tidak mampu melihat dirinya sendiri secara obyektif akan menjadi pribadi yang egois dan sulit bekerja sama dengan pasangannya. Kondisi seperti ini rawan menimbulkan konflik.
Salah satu indikator bahwa seseorang sudah cukup dewasa adalah apabila ia memiliki pandangan hidup (falsafah hidup). Ia memiliki seperangkat sistem nilai yang dipakai untuk menilai baik buruknya sebuah realitas. Selain itu sistem nilai ini akan dijadikan patokan perilaku, apa yang seharusnya dan sebaiknya ia lakukan serta apa yang seharusnya dihindari dan tidak boleh dilakukan. Selain dapat mengontrol emosi dan memakai logikanya, perilaku manusia dewasa didasari oleh falsafah hidupnya.
Salah satu syarat agar perkawinan berjalan langgeng adalah kuatnya falsafah hidup yang mendasari perkawinan tersebut. Konsep perkawinan Islam sudah menetapkan secara jelas tentang etika dan hukum-hukum dalam hidup berumah tangga. Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan hendaknya menyadari bahwa mereka akan memasuki wilayah baru yang memiliki rambu-rambu khusus agar sistem yang mereka bentuk bersama (baca: keluarga) dapat berjalan sesuai yang dikehendaki. Rambu-rambu khusus perkawinan itu diantaranya adalah hak dan kewajiban suami istri, akhlak dalam berumah tangga dan pengelolaan (manajemen) rumah tangga.

    3. Kematangan Sosial Ekonomi

Manusia diciptakan dengan naluri hidup berkelompok . Tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Karena itu dimanapun manusia hidup selalu memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok. Kelompok manusia itu disebut dengan kelompok sosial (masyarakat). Untuk keteraturan dari kelompok sosial diperlukan seperangkat norma yang mengatur ketertiban sosial. Fungsi norma-norma sosial diantaranya adalah mengatur perilaku individu dalam berinteraksi dengan individu yang lainnya.
Dalam setiap kelompok sosial setiap individu memiliki kedudukan dan peranan. Kedudukan (status) adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan individu-individu lainnya dalam kelompok tersebut[3]. Misalnya seorang laki-laki dalam kelompok keluarga adalah seorang ayah maka status ayah dari laki-laki tadi selalu dikaitkan dengan individu lain dalam kelompok keluarga tersebut yaitu anak-anaknya.
Peranan (role) adalah aspek dinamis dari kedudukan (status)[4]. Peranan merupakan kegiatan-kegiatan dan interaksi yang dilakukan individu dalam kaitannya dengan status yang dimiliki atau sikap dan tingkah laku yang harus dikenakan kepada siapa saja yang menduduki status itu. Masyarakat menetapkan norma-norma untuk mengatur peranan dan status. Artinya masyarakat telah menentukan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan (diperankan) seseorang sesuai dengan statusnya. Sikap dan perilaku seorang guru tentu saja harus mencerminkan statusnya sebgai seorang guru. Jika guru tersebut gagal berperan sesuai dengan status yang disandangnya maka akan ada sangsi pada tingkat tertentu misalnya sangsi pengucilan atau rasa malu sampai pada sangsi hukum yang jelas menyangkut perbuatan pidana.
Teori perkembangan sosio-kognitif menghubungkan antara tingkat kedewasaan sesorang dengan penalaran moral. Menurut Kohlberg penalaran moral dibagi dalam tiga tingkat yaitu: pre conventional, conventional dan post conventioanal. Tingkat pre conventional. Adalah tingkat kebanyakan anak usia dibawah 9 tahun, beberapa remaja dan kebanyakan perilaku kriminal. Individu pada tingkat pre conventional belum sampai pada tingkat pemahaman yang sesungguhnya mengenai kepatuhan terhadap konvensi atau aturan masyarakat. Tingkat conventional adalah tingkat kebanyakan remaja dan orang dewasa. Istilah conventional berarti sesuai dan mematuhi aturan masyarakat. Individu pada tingkat ini sudah mampu menginternalisasi (menjiwai) aturan-aturan masyarakat[5].
Jadi sesuai dengan teori perkembangan sosio-kognitif dapat disimpulkan bahwa individu dapat dikatakan dewasa secara sosial apabila ia telah mampu menjiwai dan mematuhi aturan masyarakat. Dengan demikian status yang dimiliki individu akan diperankan dengan baik sesuai norma masyarakat.
Individu-individu yang hendak melangsungkan perkawinan harus matang secara sosial. Artinya masyarakat menganggap individu tersebut tidak hanya dewasa dari segi umur tetapi juga dewasa dari aspek sosial karena mampu mematuhi norma masyarakat dan dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang baik.Orang-orang yang memiliki masalah dalam aspek-aspek sosialnya akan sulit untuk melangsungkan perkawinan, misalnya orang yang idiot (kurang mampu memahami norma sosial), pelaku tindak kriminal dan pekerja seks komersial (PSK). Mereka yang tidak matang secara sosial ini mungkin akan mendapat masalah dengan status dan peran yang akan disandangnya dalam rumah tangga.
Individu yang akan melangsungkan perkawinan harus menyiapkan dirinya dalam aspek ekonomi. Pihak laki-laki yang nanti akan menjadi kepala keluarga dan bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga hendaknya memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Suami yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap sangat potensial menimbulkan masalah dalam rumah tangga. Pada masa sekarang ini banyak perempuan yang juga memiliki penghasilan tetap sehingga mereka dapat ikut serta mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Idealnya pasangan yang akan melangsungkan perkawinan telah matang dalam aspek fisiologis, psikologis dan sosial ekonominya. Kesiapan atau kematangan dalam beberapa aspek ini tidak tumbuh secara bersamaan dan kondisi seperti ini kadangkala menimbulkan masalah dalam kasus-kasus tertentu. Perkawinan remaja (umumnya karena hamil di luar nikah) potensial menimbulkan konflik karena pasangan belum matang secara psikologis dan sosial ekonomi. Pencapaian jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan membutuhkan waktu lebih lama kadangkala juga menimbulkan masalah. Mahasiswa yang sudah matang secara fisiologis, matang secara psikologis dan sudah dewasa secara sosial mungkin saja mendapat hambatan ketika mereka berhasrat menikah karena belum mandiri secara ekonomi.

B. Pemahaman Konsep Perkawinan Islam

    1. Pemahaman Tentang Tujuan Perkawinan Islam

Manusia memiliki motivasi yang melatarbelakangi perilakunya dan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai. Demikian juga halnya dengan perkawinan yang dilakukan setiap pasangan. Setiap pasangan mungkin memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda dalam melakukan perkawinan. Islam menganggap penting arti sebuah perkawinan sehingga segala sesuatu tentang kehidupan rumah tangga diatur dan diarahkan sedemikian rupa sehingga terbentuklah kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Apa yang memotivasi seseorang sehingga ada keinginan untuk melangsungkan perkawinan? Manusia dianugrahi oleh Allah naluri untuk cenderung terhadap lawan jenisnya.
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  

14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (Q.S. Ali Imran(3):14).

Ketertarikan secara seksual antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang kodrati. Ketertarikan seksual membuat laki-laki dan perempuan saling mendekati dan ingin lebih intim. Keintiman antar lawan jenis ini pada akhirnya merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan biologis manusia melalui hubungan seksual. Selain untuk pemenuhan kebutuhan biologis, hubungan seksual juga merupakan sarana agar manusia memiliki keturunan.
Kehidupan manusia dilingkupi dengan seperangkat norma/ aturan . Tanpa norma manusia tidak dapat membentuk komunitas atau kelompok sosial yang tertib dan teratur. Setiap perilaku individu dalam masyarakat harus legal (sesuai aturan sosial) atau telah dilegitimasi (disahkan) oleh norma.
Di dalam syari’at Islam, perkawinan adalah sebuah lembaga yang melegitimasi hubungan seksual antar lawan jenis (suami istri). Hubungan seksual tanpa perkawinan adalah perzinahan dan melanggar syari’at Islam. Karena itu salah satu tujuan perkawinan Islam adalah mensahkan hubungan seksual sebagai sesuatu yang halal dilakukan. Tujuan perkawinan Islam yang lain adalah untuk mendapatkan keturunan. Anak-anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang sah akan memiliki asal-usul keturunan yang jelas sehingga terdapat kejelasan hubungan orangtua-anak.
Perkawinan adalah perbuatan hukum. Di dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi suami istri. Hak dan kewajiban itu merupakan peranan yang harus dijalankan oleh masing-masing pihak termasuk masalah kebendaan (harta). Dengan perkawinan terbentuklah sebuah kelompok sosial baru yang legal, yang didalamnya terdapat unsur kerja sama (ta’awun). Secara lebih ringkas tujuan perkawinan adalah:
·         Legalisasi hubungan seksual
·         Legalisasi kerja sama (ta’awun)
·         Legalisasi keanakan (keturunan)
·         Legalisasi Sosial[6]

    2. Pemahaman Tentang Hukum Perkawinan Islam

            Setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya memiliki pemahaman tentang hukum perkawinan Islam, agar perkawinan maupun masalah-masalah yang yang dihadapi dalam perkawinan dapat dapat dijalankan dan diselesaikan sesuai dengan syari’at Islam.
            Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum. Dengan perkawinan setiap orang memiliki status baru (sebagai suami istri) dan menuntut dijalankannya peran-peran sesuai statusnya tersebut. Sebagai suatu perbuatan hukum, maka jika suami atau istri tidak menjalankan perannya ia dapat dituntut secara hukum.
            Tentang hukum perkawinan itu sendiri para ulama memiliki perbedaan pendapat sesuai penafsiran atas teks-teks Al Qur’an yang berhubungan dengan perkawinan.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An Nissa(4):3).

(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  

32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (Q.S.An Nuur (24):32).

Para ahli dhohir yang diprakarsai oleh Daud Dhohiri berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib dengan alasan arti dari teks Qur’an menunjukkan adanya tholab amar (tuntutan untuk dilaksanakan). Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya mandub (disunnahkan) dengan alasan tidak semua amar mempunyai arti wajib dan dalam hal ini perkawinan merupakan perintah pada tingkat anjuran. Sedangkan bagi pengikut dan para ulama malikiyah berpendapat bahwa hukum nikah itu bisa berubah-ubah menurut keadaannya. Nikah itu bisa wajib hukumnya jika seseorang telah mampu memenuhi beban nikah dan ia merasa khawatir tidak mampu mengendalikan dorongan seksualnya. Nikah itu bisa haram hukumnya jika ia tidak mampu memenuhi beban nikah sedangkan ia akan sengsara dan menyengsarakan orang lain jika ia melakukan perkawinan. Nikah itu menjadi sunnah hukumnya jika seseorang sudah memiliki kemampuan memikul beban nikah dan ia masih sanggup memelihara kehormatannya. Nikah dapat menjadi makruh hukumnya apabila seseorang hanya mampu memikul sebagian saja dari beban nikah, sedangkan ia masih mampu mengendalikan dorongan seksualnya. Menjadi mubah hukumnya apabila seseorang sudah mampu memikul seluruh beban nikah sedangkan hasrat seksual belum membahayakan dirinya.
            Beban nikah itu mencakup kemampuan materi, fisik dan psikis yang benar-benar dipersiapkan untuk mengarungi bahtera perkawinan.
            Sebelum perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu diadakan peminangan (lamaran) atau khitbah. Khitbah disyariatkan dalam Islam. Penekanan aplikasi khitbah dari nash-nash ternyata tidak jelas sehingga para mujtahid melakukan penafsiran[7].
            Selain itu terdapat rukun dan syarat pernikahan yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Rukun perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang melakukan akad) terdiri dari
a.       Wali
b.      Mempelai pria.
2. Ma’qud alaih (obyek yang diakadkan) terdiri dari
a.       Mempelai wanita
b.      Mahar (mas kawin)
3. Shighat (pernyataan serah terima) terdiri dari
a.       Ijab (pernyataan menyerahkan)
b.      Qabul (pernyataan menerima)
4. Syahadah (saksi-saksi)
Syarat-syarat perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam setiap rukun tersebut. Adapun syarat-sayarat nikah adalah sebagai berikut:
1). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali ialah:
a.       Beragama Islam
b.      Laki-laki
c.       Sudah dewasa
d.      Berakal (waras akalnya)
e.       Adil (tidak fasik)
f.       Tidak sedang dalam ihram
g.      Tidak sedang dalam pengampuan

2). Syarat yang harus dipenuhi oelah mempelai pria ialah:
a.       Beragama Islam
b.      Jelas kepriaannya
c.       Pria itu tertentu (si fulan)
d.      Pria itu halal bagi mempelai wanita
e.       Mengetahui bakal istrinya
f.       Tidak dipaksa (tidak dalam ikrab)
g.      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan wanita yang akan dikawini
h.      Tidak sedang dalam ihram
i.        Tidak mempunyai empat orang istri

3). Syarat yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita ialah:
a.     Beragama Islam (muslimah)
b.     Jelas kewanitaannya (tidak banci)
c.     Wanita tertentu (si fulanah)
d.    Wanita itu halal bagi calon suami
e.     Tidak dalam keadaan dipaksa dan memberi persetujuannya
f.      Tidak sedang dalam ihram

4). Syarat mahar yang harus dipenuhi ialah:
a.        Harus berupa sesuatu yang dapat dinilai dengan uang (bernilai ekonomis) baik berupa uang ataupun jasa
b.      Diberikan pada waktu akad nikah, sekalipun dengan cara hutang/ tempo
c.       Tidak disandarkan pada syarat (waktu dan tempat) yang tidak mungkin terjadi
d.      Diberikan oleh mempelai pria/ kuasanya dan menjadi hak mempelai wanita.

5). Syarat-sayarat yang harus dipenuhi dalam sighat ialah:
a.     Ijab harus memenuhi syarat sebagai berikut,
·         Harus dengan kata “nakaha/ jawwaja” atau terjemahannya.
·         Dari wali atau wakilnya
·         Tidak mempunyai batas waktu/ berjangka (mu’aqqat)
·         Jelas maksudnya (tidak mengandung pengertian lain)
·         Tanpa ta’lik (bersyarat)

   b . Qabul harus memenuhi syarat:
·           Bersambung langsung dengan ijab (segera)
·  Harus sesuai (isi dan maksudnya) dengan ijab
·  Diucapkan oleh calon suami/ wakilnya
·  Tanpa ta’lik (bersyarat)
·  Harus dijelaskan nama calon istri
·  Harus tidak batas (ketentuan) waktu (mu’aqqat)
·           Tidak menggunakan kata (ungkapan) sindiran (harus jelas maksudnya).

6). Saksi (harus dua orang) syarat-syaratnya:
·    Harus beragama Islam
·    Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat
·    Dapat mendengar dan melihat (sehat panca indera)
·    Harus adil dan mempunyai maru’ah (bermoral)
·    Bukan wali yang melakukan akad (shighat)
·    Mengerti istilah ijab dan kabul

    3.Pemahaman Tentang Bagaimana Islam Mengatasi Perkawinan Yang Bermasalah

            Manusia merupakan individu-individu yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda-beda. Sikap, sifat dan kebiasaan individu dalam menghadapi lingkungan sosialnya juga berbeda-beda. Selain itu manusia bukanlah mahluk yang stagnan tetapi ia senantiasa berubah dan berkembang. Itulah sebabnya setiap kelompok yang dibentuk oleh sekumpulan individu-individu mengalami perkembangan dan perubahan. Adakalanya perubahan itu mengarah kepada kondisi yang lebih baik seperti integrasi dan solidaritas yang kuat, tetapi ada kemungkinan pula kelompok mengarah pada kondisi disintegrasi dan konflik. Demikian pula halnya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan perkawinan terbentuklah kelompok keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Sebagai sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa individu kemungkinan terjadi konflik selalu ada, apalagi keluarga merupakan kelompok yang mudah terpengaruh oleh lingkungan sosialnya.
Dalam kehidupan perkawinan setiap pasangan tentu memiliki keinginan untuk menciptakan perkawinan yang harmonis. Tetapi adakalanya pasangan menghadapi situasi yang sulit dikendalikan sehingga timbul perselisihan. Keadaan suatu perkawinan yang mengalami perselisihan dan sulit didamaikan disebut syiqoq . Berkaitan dengan syiqoq ini Al Qur’an menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan hendaknya dibantu oleh kerabat dari kedua belah pihak.
Ÿwur (#öq¨YyJtGs? $tB Ÿ@žÒsù ª!$# ¾ÏmÎ/ öNä3ŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ 4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4 (#qè=t«óur ©!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ¨bÎ) ©!$# šc%Ÿ2 Èe@ä3Î/ >äó_x« $VJŠÎ=tã ÇÌËÈ  

32. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Q.S. An Nisaa (4): 32).

Salah satu masalah perkawinan yang seringkali dibicarakan adalah poligami. Perkawinan bukan semata-mata kontrak sosial dan ekonomi antara seorang laki-laki dan perempuan bukan pula semata-mata legalitas hubungan seksual. Selain bahwa perkawinan itu memiliki tujuan yang mulia, dua orang yang mengikatkan diri dalam tali perkawinan diliputi perasaan cinta satu sama lain. Perwujudan cinta itu bukan hanya berupa perasaan ingin berbagi, kebutuhan akan kebersamaan, hubungan seksual dan ikatan emosional lainnya, tetapi juga ego dalam diri individu bahwa hanya dialah yang dicintai pasangannya. Karena itu setiap individu (laki-laki dan perempuan) dalam kaitannya dengan dengan perasaan cinta sangat tidak menyukai perselingkuhan dan tidak ingin diduakan. Setiap suami tidak ingin istrinya memiliki suami lain (poliandri) demikian juga setiap istri tidak ingin suaminya memiliki istri lain (poligini atau lebih dikenal dengan poligami). Poliandri jelas dilarang Islam, tetapi mengapa Islam memberi “peluang “ untuk berpoligami?
Pembahasan tentang poligami disini tidak untuk menjelaskan kedudukan hukum poligami tetapi lebih kepada pemaparan dalam konteks sosialnya. Melihat latar belakang psikologis yang sama tentang perasaan laki-laki dan perempuan (bahwa mereka tidak ingin diduakan) maka poligami hendaklah dipahami bukan sebagai fasilitas istimewa yang diberikan kepada laki-laki. Poligami hendaknya dipahami  justru sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan sebuah masalah dalam perkawinan dan bukan malah menimbulkan masalah baru. Hikmah poligami dapat dirasakan apabila poligami tersebut ditempatkan sebagai salah satu solusi untuk beberapa masalah seperti:
Pertama apabila istri mandul atau apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. Dalam beberapa kasus adapula pasangan yang menganggap masalah keturunan bukanlah tujuan utama perkawnan. Sehingga bagi mereka tidak memiliki keturunan bukanlah suatu masalah. Pada kasus seperti ini maka poligami tidak diperlukan.
Karena faktor kesehatan, seorang istri mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami. Kondisi seperti ini potensial menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan semakin rumit. Pada kasus seperti ini poligami dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mungkin pula terjadi seorang laki-laki yang hiperseks, sehingga tidak dapat menunggu ketika istrinya haidh atau nifas, atau istri tidak dapat memenuhi kebutuhan suami yang hiperseks.
Kedua, apabila terjadi jumlah perempuan yang jauh lebih besar daripada laki-laki, yang pada kondisi seperti itu diindikasikan akan timbul masalah sosial baru yang mengganggu stabilitas osial masyarakat. Fakta sosial seperti ini mungkin saja terjadi pada negara yang telah mengalami masa perang berkepanjangan sehingga banyak laki-laki yang meninggal dan banyak janda yang ditinggal suami serta para gadis yang sulit mendapat jodoh. Dalam kasus seperti ini poligami dilakukan demi kepentingan kolektif (kepentingan masyarakat).
Ketiga, terdapat suatu kebijakan dalam suatu negara muslim untuk menambah jumlah penduduk. Hal ini dilakukan apabila dengan perkawinan monogami dan kebijakan tidak adanya pembatasan kelahiran tidak juga memenuhi target pertambahan penduduk.
Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat kita, poligami seringkali bukan dijadikan suatu solusi untuk menyelasaikan masalah tetapi justru menimbulkan masalah baru sehingga tidak terlihat adanya hikmah dibalik poligami. Poligami yang salah kaprah seringkali menjerat laki-laki pada tanggung jawab material dan batiniah yang lebih besar sehingga mempersulit diri mereka sendiri. Poligami dapat pula menjebak seseorang sehingga ia mendzholimi pasangannya. Beberapa kasus pembunuhan justru dilatarbelakangi oleh kasus poligami seperti istri tua membunuh istri muda atau suami membunuh salah seorang istrinya karena lepas kontrol ketika dituduh tidak adil. Dalam beberapa kasus seringkali poligami diawali dengan perselingkuhan. Jadi sejak awal poligami tidak ditujukan untuk menyelesaikan masalah dalam rumah tangga.
Hendaknya disadari bahwa poligami dalam wacana syari’at Islam bukanlah merupakan fasilitas istimewa yang diberikan kepada laki-laki, tetapi lebih ditujukan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah dalam rumah tangga bukan untuk menimbulkan masalah baru.

No comments:

Post a Comment