Monday 23 July 2012

HUKUM ISLAM DALAM POLITIK HUKUM DI INDONESIA


Telah Dimuat pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 6. No.1 Januari-Juni 2012


Abstrak
                Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut sejak masa kolonialisme hingga pasca kemerdekaan. Pada jaman kerajaan dan kesultanan di Nusantara hukum Islam sudah memiliki eksistensinya sebagai hukum yang hidup (living law) pada masyarakat muslim, terutama hukum perkawinan. Sekalipun terdapat benturan dengan hukum adat terutama masalah  kewarisan tetapi tidak terdapat benturan yang signifkan. Hukum Islam yang fleksibel dapat mengakomodir hukum adat yang lebih dahulu berlaku di masyarakat.
            Melihat bahwa hukum Islam sudah merupakan hukum yang hidup maka pada jaman kolonialisme, VOC bahkan melegalkannya dengan nama Compendium Freijer. Proses penyerapan hukum Islam  pada masyarakat muslim Indonesia ini disebut dengan teori receptio in complexu. Tetapi melihat perkembangan hukum Islam yang tidak menguntungkan pihak kolonial  maka Belanda mengambil sebuah kebijakan politik baru yang dikemas  dalam konsep Het Indsche Adatrecht dimana dinyatakan bahwa orang Islam tunduk kepada hukum adat atau hukum Islam yang telah diserap oleh hukum adat yang disebut dengan teori receptie.
            Pasca kemerdekaan para pemimpin Islam kembali memperjuangkan eksistensi hukum Islam dalam hukum Negara yaitu dalam Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan mencantumkan “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam mukadimah yang terdapat dalam Piagam Jakarta. Pada akhirnya tujuh kata ini dihapuskan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian perjuangan akan eksistensi hukum Islam terus belanjut dengan dikemukakannya teori receptio a contrario yang ide utamanya adalah asumsi bahwa “hukum adat baru berlaku apabila diterima oleh hukum Islam dan hukum Islam berlaku apabila berdasarkan Al Qur’an (hukum adat bersendi syara’. hukum syara’ bersendi kitabullah). Pada perkembangan selanjutnya dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang hukum perkawinan, kewarisan, hibah, shadaqah, wakaf dan ekonomi syari’ah. Dikeluarkannya beberapa undang-undang ini sekaligus merupakan pengakuan akan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang menyangkut urusan-urusan tertentu masyarakat muslim Indonesia.   
Kata Kunci: Hukum Islam, Politik Hukum Indonesia

A.    PENDAHULUAN

Hukum dalam Islam merupakan ruh dalam aspek ajaran yang paling kuat mendominasi pemahaman umat Islam dibanding pemahaman disiplin keilmuan tradisional mapan lainnya. Al-Jabiri menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah “kebudayaan fiqh”[1]. Menempatkan kebudayaan fiqh ini sedemikian adiluhung adalah sama sahihnya dengan menyatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah “kebudayaan filsafat” dan kebudayaan barat adalah “kebudayaan iptek”. Fiqh merupakan dimensi  ajaran agama yang paling mapan dalam belahan masyarakat manapun, karena itulah usaha untuk melgalformalkan hukum Islam melalui isntitusi negara dianggap suatu hal yang penting bagi masyarakat muslim.
Melihat bagaimana pentingnya kedudukan hukum Islam bagi masyarakat muslim, maka dapat dimengerti mengapa dalam berbagai kesempatan umat Islam selalu berusaha untuk melegalpositifkan atau melegalformalkan fiqh Islam dalam hukum negara. Demikian pula halnya yang terjadi pada umat Islam Indonesia pada jaman kolonialisme dan pasca kemerdekaan. Pada dasarnya usaha melegalformalkan hukum Islam pada masyarakat muslim Indonesia selalu diawali dengan gejala living law atau hukum yang hidup. Artinya bahwa sebelum hukum Islam tersebut menjadi hukum positif yang disahkan oleh negara, hukum tersebut sudah menjadi instrumen penting dalam mengatur beberapa perkara di masyarakat. Kondisi seperti ini menguntungkan, karena ketika hukum tersebut menjadi hukum positif pemberlakuannya menjadi berfungsi maksimal pada masyarakat muslim. Demikianlah gejala ini terdapat pada eksistensi hukum Islam pada jaman kolonialisme maupun pasca kemerdekaan.
Dinamika hukum Islam dalam politik hukum Indonesia mengalami pasang surut yaitu ketika hukum Islam sudah menjadi hukum yang hidup pada jaman kerajaan atau kesultanan di Nusantara, hingga kebijakan VOC dalam melegalkan hukum Islam  dan kemudian dikerdilkan kembali oleh Belanda dengan kebijakan pemberlakuan kembali hukum adat untuk masyarakat muslim sampai kepada pasca kemerdekaan.
Kini hukum Islam semakin memiliki eksistensinya di Indonesia ketika Negara memberi kewenangan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah dan wakaf hingga perkembangan yang mutakhir yaitu kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara usaha ekonomi syari’ah.

B.     HUKUM ISLAM JAMAN KOLONIALISME

Potret sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia dapat mulai ditelusuri mulai dari masuknya Islam ke Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Akulturasi hukum Islam dengan hukum adat berjalan harmonis. Di beberapa daerah seperti Sulawesi, Aceh, Minangkabau dan Riau, hukum Islam diterima sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan sebuah pepatah “adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah dan syara mengata, adat memakai”. Sifat fleksibel dari hukum Islam memungkinkan akulturasi hukum Islam terhadap hukum adat lebih harmonis hampir tanpa benturan.
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini dijalankan oleh lembaga tahkim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar dapat ditegakkan untuk dapat memberikan layanan kepada masyarakat dan merupakan penjabaran dari tugas keulamaan. Dalam sejarahnya muncul berbagai lembaga pengadilan Islam di berbagai tempat seperti Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah Syar’iyah di Sumatra dan Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak. Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak hanya menuntaskan persoalan perdata saja tapi dalam batas-batas tertentu juga menangani persoalan pidana.
Dukungan untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam pada waktu itu bukan hanya dari ulama-ulama tetapi juga dari penguasa politik para raja dan sultan. Tercatat dalam sejarah, kerajaan-kerajaan seperti Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar, Ternate danTidore, juga Kesultanan Banten, Cirebon, Surakarta dan Yogyakarta. Kerajaan-kerajaan tersebut telah menggunakan hukum Islam terutama hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif di negerinya[2].
Pelaksanaan hukum Islam juga dijalankan oleh para kadi dan para kadi yang diangkat oleh masyarakat, jika kekuasaan politik formal tidak mendukung pelaksanaan hukum Islam. Hal ini terjadi sekitar abad 17 di Batavia. Penghulu dan kadi diangkat oleh masyarakat pendatang sekitar Batavia yang sebagian besar beragama Islam karena pada waktu itu Batavia berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda.
Di Pulau Jawa, seperti di Yogyakarta, Surakarta, Madura, Sunda dan Banten, hukum Islam dikembangkan melalui jalur pendidikan di pondok pesantren. Bahkan dalam struktur kekuasaan kerajaan Mataram (yang kemudian pecah menjadi Yogyakarta dan Surakarta) telah masuk dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat Kesultanan menjalankan fungsi kordinasi dengan penghulu-penghulu di desa-desa dan kabupaten dalam pelaksanaan hukum Islam terutama di bidang hukum keluarga dan perdata.
Di Jawa memang terdapat benturan antara hukum Islam dan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Tetapi di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dipraktekan. Benturan antara hukum Islam dan hukum adat juga terjadi di Minangkabau, namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni.
Realitas yang mengambarkan bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup, membuat pemerintahan kolonial Belanda mengakui eksistensi hukum Islam. Melalui kantor dagang Belanda VOC (1602-1880) pada 25 Mei 1760 mengeluarkan Resolutie der Indische Regeering yang berisi ketentuan diberlakukannya sekumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi yang terkenal dengan nama Compendium Freijer ini dalam batas-batas tertentu bisa dikatakan sebagai legislasi hukum Islam pertama di Indonesia[3].
Pada periode yang sama di Cirebon juga dikenal sebuah produk legislasi yang disebut Papakem Cirebon. Papakem Cirebon ini merupakan kompilasi berbagai kitab hukum jawa kuno yang meliputi Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara Konter Menara dan Adidullah[4]. Legislasi ini dipakai oleh enam menteri pelaksana kekuasaan pengadilan yang mewakili tiga sultan (Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon). Karena efektifnya Papakem Cirebon ini maka Sultan Bone dan Goa mengadopsinya dengan nama Compendium Indianche Wettern bij de Hoven van Bone an Goa[5].
Bukti lain dari legislasi hukum Islam pada zaman kolonial Belanda terlihat dari adanya Compendium Mogharrer yang materinya diambil dari kitab Al Muharrar karya Imam Rafi’i. Compendium ini berisi hukum pidana Islam dan adat yang dipakai di daerah Karsidenan Semarang, Jawa Tengah[6].
Sampai akhir abad 19 politik kolonial Belanda pada mulanya menguntung kan posisi hukum Islam. Belanda mengeluarkan Staatsblad No. 152 tahun 1882 yang mengatur dan mengakui adanya peradilan agama di Jawa dan Madura. Dengan demikian terdapat indikasi kuat bahwa pemerintah kolonial Belanda menerima keberadaan hukum Islam.  Dari fakta ini maka seorang ahli hukum Belanda Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) mengembangkan teori Receptio in Complexu. Dalam teori ini dinyatakan bahwa orang Islam di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan.
Pada perkembangan selanjutnya kebijakan politik kolonial Belanda justru melakukan penyempitan bagi ruang gerak perkembangan hukum Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan karena Belanda melihat bahwa perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak menguntungkan bagi kepentingan kolonial Belanda bahkan menghambat ekspansi dan juga sosialisasi  dalam rangka mengeruk keuntungan  ekonomi (gold), memperluas kekuasaan (glory) dan missi agama (gospel). Penyempitan ruang gerak perkembangan hukum Islam ini dikemas dalam konsep Het Indische Adatrecht yang dikembangkan oleh Van Vollenhoven (1874-1933) dan C.S. Hurgronje (1857-1936), yang selanjutnya dikenal dengan teori Receptie. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia adalah hukum adat masing-masing. Hukum Islam berlaku apabila sudah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
Dengan munculnya teori Receptie pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Stb 1937 No.116 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kepada Landraad (Pengadilan Negeri)[7]. Secara praktis dan efektif teori Receptie ini baru berhasil dilaksanakan oleh Ter Haar, dengan cara mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup di badan-badan pengadilan negeri sepanjang tahun 1930-1942[8]. Teori Receptie ini juga jelas terlihat pada pasal 134 (2) I.S 1929 yang menyatakan bahwa jika terdapat perkara antara orang Islam dengan orang Islam maka dapat diselesaikan oleh hakim agama apabila hukum adat mereka menghendakinya.
Sedikitnya ada dua aturan yang diapungkan secara jelas dalam rangka menghambat laju hukum Islam yaitu Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan Pasal 163 IS. Pada Pasal 163 IS dinyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya terdiri atas 3 golongan yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Bumiputera. Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang substansial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan Eropa maupun penduduk asli tanah jajahan, yaitu orang Arab, India dan China. Sedangkan golongan BumiPutera terdiri dari orang Indonesia Asli.
Dalam pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di negeri Belanda (yaitu hukum Eropa atau hukum Barat) dan bagi golongan lainnya (Bumi Putera dan Timur Asing) berlaku hukum adatnya masing-masing. Selanjutnya pada Stb 1917 No.17 diatur tentang peraturan penundukan diri dengan sukarela kepada hukum perdata bagi bukan golongan orang Eropa.
Pembelakuan hukum adat bagi golongan Bumi Putera pada akhirnya menimbulkan bias negatif  terhadap hukum Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk yaitu membenamkan hukum Islam di bawah bayang-bayang hukum adat. Di sisi lain pemberlakuan hukum adat menimbulkan masalah karena adat di Indonesia sangat beragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya dan agamanya.
Pada perkembangan selanjutnya teori Receptie ini mendapat reaksi dari ilmuwan hukum Hazairin (1906-1975) dan Sajuti Tahlib (1929-1990) dengan mengemukakan teori Receptio a contrario yang menyatakan bahwa justru hukum adatlah yang berada dibawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan kata lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegislasi oleh hukum Islam.

C.    HUKUM ISLAM PASCA KEMERDEKAAN

Usaha untuk menempatkan kedudukan hukum Islam pada kedudukan semula terus menerus dilakukan oleh para pemimpin Islam. Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan terbentuk untuk merumuskan dasar hukum negara Indonesia merdeka, para pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha untuk “mendudukkan” hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia[9]. Para pemimpin yang merancang Undang-Undang Dasar 1945 mencapai persetujuan yang dituangkan dalam satu piagam yang dinamakan Piagam Jakarta (22-6-1945). Dalam Piagam Jakarta tepatnya pada bagian Mukadimah atau Pembukaan antara lain dinyatakan “berdasarkan ketuhanan yang maha Esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir yang tercantum dalam Piagam Jakarta oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18-8-1945 diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  
Tentang usaha melegal-positifkan hukum Islam pasca kemerdekaan Mahsun Fuad menuliskan:
Menilik pada catatan sejarah yang ada pada pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional , bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk pikuk polarisasi dasar negara. Dengan  hilang tujuh kata tersebut maka menjadi sangat sulit bagi siapapun untuk melegalpositifkan hukum Islam (syari’ah) dalam bingkai konstitusi negara[10].
Pada tahun 1950 wacana tentang eksistensi hukum Islam dalam hukum Indonesia digulirkan oleh Prof. Mr Hazairin dengan menggugat teori receptie. Hazairin menilai bahwa teori receptie adalah teori “iblis”. Sejak saat itu perdebatan tentang eksistensi hukum Islam dan hukum adat terus bergulir.
Pada tahun 1957 dikeluarkan PP No. 45 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura. Tetapi PP No. 45 1957 ini masih mengandung teori receptie karena memuat rumusan “menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum Islam”. Artinya bahwa pencari keadilan mempunyai kebebasan memilih untuk berperkara di Pengadilan Agama ataukah di Pengadilan Negeri[11].
Selanjutnya Hazairin dan Sayuti Thalib mengemukakan tentang teori yang bernama teori receptio a contrario yang ide utamanya adalah asumsi bahwa “hukum adat baru berlaku apabila diterima oleh hukum Islam dan hukum Islam berlaku apabila berdasarkan Al Qur’an (hukum adat bersendi syara’. Hukum syara’ bersendi kitabullah). Teori ini dimunculkan dengan dasar UUD 1945 khususnya pasal 29 dan lahirnya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tentang teori receptio a contrario A Qodry Azizy berpendapat bahwa:
Jika diperhatikan apa yang dimaksud dengan receptio o contrario itu adalah tidak jauh berbeda dengan penjelasan penggunaan adat kebiasaan (‘adah/ ‘urf) dalam pembahasan ilmu ushul al-fiqh atau ilmu hukum Islam. Jadi kaidah fiqhiyah “al-‘adah muhakkamah” (adat kebiasaan dapat dijadikan sumber hukum) itu salah satu syaratnya adalah tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam atau syara’[12].
Berbagai peraturan perundang-undangan yang materinya diambil dari kitab fiqh yang dianggap representatif telah disahkan oleh pemerintah Indonesia selain UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan juga PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
Setelah lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan legalisasi hukum Islam di atas, pada tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama, yaitu sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat serta wakaf dan shadaqoh.  Undang-undang No. 7 tahun 1989 ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah memancing lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pelengkap. Pada tahun 1991 Presiden RI mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus perkara dalam lingkup peradilan agama. Beberapa peraturan perundang-undangan yang lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia, diantaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan UU No. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Pada tahun 2006 telah diberlakukan UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama. Pada pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 terdapat kewenangan baru di bidang ekonomi syari’ah, zakat dan infaq selain perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf dan shadaqoh. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat muslim akan usaha ekonomi syari’ah. Dengan demikian peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syari’ah. Selanjutnya apabila terjadi sengketa ekonomi syari’ah maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum yaitu Pengadilan Agama yang merupakan kewenangan baru  di bidang ekonomi syari’ah. Hakim pengadilan agama tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara ekonomi yang diajukan kepadanya dengan dalih tidak ada hukumnya, karena hakim wajib berijtihad menciptakan hukum untuk menyelesaikan perkara yang ditanganinya.
Berkaitan dengan UU No. 3 Tahun 2006, maka ditetapkanlah Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Peraturan ini ditetapkan untuk kelancaran pemerikasaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Diputuskannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah ini dimaksudkan agar hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah mempergunakan prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.

D.    PENUTUP

Sejak masuknya Islam ke Indonesia, hukum Islam secara berproses sudah menjadi hukum yang hidup (living law) pada masyarakat muslim. Kebutuhan masyarakat muslim akan hukum Islam  diawali dengan kebutuhan akan aturan perkawinan dalam Islam. Hal ini dapat dimengerti karena perkawinan adalah lembaga yang paling asasi dalam kehidupan masyarakat. Karena itu hukum Islam yang pertama kali menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat muslim adalah hukum perkawinan.
 Sejarah perkembangan hukum Islam  di Indonesia diawali ketika Islam mulai masuk ke Indonesia. Selanjutnya pasang surut pemberlakuan hukum Islam dari jaman kolonialisme hingga pasca kemerdekaan dikemas dalam teori receptio in complexu, teori receptie dan kemudian teori receptio a contrario membuktikan bahwa hukum yang hidup (living law) bagaimanapun akan mencari tempatnya untuk dilegalpositifkan dalam undang dan peraturan yang disahkan negara. Demikan pula yang terjadi pada hukum Islam. Apalagi mengingat bahwa Islam memiliki “kebudayaan fiqh” yang mapan. Eksistensi fiqh yang dominan pada masyarakat muslim ini nampaknya inheren dalam Islam, karena tuntutan akan pemberlakuan hukum Islam pada masyarakat muslim, terjadi di belahan dunia manapun.
Pemberlakuan hukum Islam dalam rentang waktu jaman kolonialisme hingga pasca kemerdekaan secara umum menunjukkan perkembangan yang meluas ke berbagai aspek. Pada awalnya hukum perkawinan dan kewarisan merupakan hukum Islam yang pertama diberlakukan pada masyarakat muslim Indonesia, hingga berkembang meluas kepada pemberlakuan hukum tentang hibah, shodaqoh, wakaf hingga usaha ekonomi syari’ah.   Perluasan pemberlakuan hukum Islam ke dalam hukum positif melalui undang-undang dan peraturan yang disahkan oleh negara ini sekaligus membawa tanggung jawab besar bagi lembaga peradilan agama untuk serta merta dapat menyelesaikan perkara-perkara umat Islam.
Di sisi lain para ahli hukum Islam selayaknya senantiasa terus menerus berijtihad untuk menemukan fiqh Indonesia yang dapat  mengikuti perkembangan masyarakat muslim Indonesia tetapi tetap besendi pada Kitabullah. Perkembangan mutakhir tentang  usaha ekonomi syari’ah yang terus berkembang pesat di lapangan merupakan tanggung jawab besar bagi para fuqaha dan lembaga peradilan agama agar dapat menyelesaikan perkara-perakara usaha syari’ah yang memenuhi rasa keadilan tetapi tetap  berdasar pada Al Qur’an. 
Dengan melihat pengalaman sejarah, perkembangan hukum Islam di Indonesia di masa depan nampaknya akan banyak dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat muslim di Indonesia dalam menyelesaikan perkara-perkara tertentu ataupun dipengaruhi oleh wacana-wacana yang mengemuka di kalangan masyarakat muslim Indonesia. Penggunaan  perangkat epistemologis Fiqh Islam yang mapan diharapkan dapat dengan bersegera menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim yang berkembang sesuai jaman. Kini dituntut peran lebih besar dari pihak konseptor hukum Islam, para hakim dan pihak penguasa untuk tanggap dengan kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan pemberlakuan hukum Islam.

No comments:

Post a Comment