Telah Dimuat pada AL-AHKAM Jurnal Hukum, Sosial dan Keagamaan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN SMHB Vol 6. No.1 Januari-Juni 2012
Abstrak
Pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia mengalami pasang surut sejak masa kolonialisme hingga pasca
kemerdekaan. Pada jaman kerajaan dan kesultanan di Nusantara hukum Islam sudah
memiliki eksistensinya sebagai hukum yang hidup (living law) pada masyarakat
muslim, terutama hukum perkawinan. Sekalipun terdapat benturan dengan hukum
adat terutama masalah kewarisan
tetapi tidak terdapat benturan yang signifkan. Hukum Islam yang fleksibel
dapat mengakomodir hukum adat yang lebih dahulu berlaku di masyarakat.
Melihat
bahwa hukum Islam sudah merupakan hukum yang hidup maka pada jaman
kolonialisme, VOC bahkan melegalkannya dengan nama Compendium Freijer. Proses
penyerapan hukum Islam pada masyarakat
muslim Indonesia ini disebut dengan teori receptio in complexu. Tetapi melihat
perkembangan hukum Islam yang tidak menguntungkan pihak kolonial maka Belanda mengambil sebuah kebijakan politik
baru yang dikemas dalam konsep Het
Indsche Adatrecht dimana dinyatakan bahwa orang Islam tunduk kepada hukum adat
atau hukum Islam yang telah diserap oleh hukum adat yang disebut dengan teori receptie.
Pasca kemerdekaan para pemimpin Islam kembali
memperjuangkan eksistensi hukum Islam dalam hukum Negara yaitu dalam Badan Penyelidik
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan mencantumkan “dengan
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam mukadimah yang
terdapat dalam Piagam Jakarta. Pada akhirnya tujuh kata ini dihapuskan demi
persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian perjuangan akan eksistensi hukum
Islam terus belanjut dengan dikemukakannya teori receptio a contrario yang ide
utamanya adalah asumsi bahwa “hukum adat baru berlaku apabila diterima oleh
hukum Islam dan hukum Islam berlaku apabila berdasarkan Al Qur’an (hukum adat
bersendi syara’. hukum syara’ bersendi kitabullah). Pada perkembangan
selanjutnya dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang hukum
perkawinan, kewarisan, hibah, shadaqah, wakaf dan ekonomi syari’ah. Dikeluarkannya
beberapa undang-undang ini sekaligus merupakan pengakuan akan wewenang
Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang menyangkut urusan-urusan
tertentu masyarakat muslim Indonesia.
Kata Kunci:
Hukum Islam, Politik Hukum Indonesia
A. PENDAHULUAN
Hukum
dalam Islam merupakan ruh dalam aspek ajaran yang paling kuat mendominasi
pemahaman umat Islam dibanding pemahaman disiplin keilmuan tradisional mapan
lainnya. Al-Jabiri menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah “kebudayaan fiqh”[1].
Menempatkan kebudayaan fiqh ini sedemikian adiluhung adalah sama sahihnya
dengan menyatakan bahwa kebudayaan Yunani adalah “kebudayaan filsafat” dan
kebudayaan barat adalah “kebudayaan iptek”. Fiqh merupakan dimensi ajaran agama yang paling mapan dalam belahan
masyarakat manapun, karena itulah usaha untuk melgalformalkan hukum Islam
melalui isntitusi negara dianggap suatu hal yang penting bagi masyarakat
muslim.
Melihat
bagaimana pentingnya kedudukan hukum Islam bagi masyarakat muslim, maka dapat
dimengerti mengapa dalam berbagai kesempatan umat Islam selalu berusaha untuk
melegalpositifkan atau melegalformalkan fiqh Islam dalam hukum negara. Demikian
pula halnya yang terjadi pada umat Islam Indonesia pada jaman kolonialisme dan
pasca kemerdekaan. Pada dasarnya usaha melegalformalkan hukum Islam pada
masyarakat muslim Indonesia selalu diawali dengan gejala living law atau hukum
yang hidup. Artinya bahwa sebelum hukum Islam tersebut menjadi hukum positif
yang disahkan oleh negara, hukum tersebut sudah menjadi instrumen penting dalam
mengatur beberapa perkara di masyarakat. Kondisi seperti ini menguntungkan,
karena ketika hukum tersebut menjadi hukum positif pemberlakuannya menjadi
berfungsi maksimal pada masyarakat muslim. Demikianlah gejala ini terdapat pada
eksistensi hukum Islam pada jaman kolonialisme maupun pasca kemerdekaan.
Dinamika
hukum Islam dalam politik hukum Indonesia mengalami pasang surut yaitu ketika
hukum Islam sudah menjadi hukum yang hidup pada jaman kerajaan atau kesultanan
di Nusantara, hingga kebijakan VOC dalam melegalkan hukum Islam dan kemudian dikerdilkan kembali oleh Belanda
dengan kebijakan pemberlakuan kembali hukum adat untuk masyarakat muslim sampai
kepada pasca kemerdekaan.
Kini
hukum Islam semakin memiliki eksistensinya di Indonesia ketika Negara memberi
kewenangan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah dan wakaf hingga perkembangan
yang mutakhir yaitu kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara
usaha ekonomi syari’ah.
B. HUKUM
ISLAM JAMAN KOLONIALISME
Potret
sejarah legislasi hukum Islam di Indonesia dapat mulai ditelusuri mulai dari
masuknya Islam ke Indonesia. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam telah
menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Akulturasi hukum Islam dengan hukum adat
berjalan harmonis. Di beberapa daerah seperti Sulawesi, Aceh, Minangkabau dan
Riau, hukum Islam diterima sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan
dengan sebuah pepatah “adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah dan
syara mengata, adat memakai”. Sifat fleksibel dari hukum Islam memungkinkan
akulturasi hukum Islam terhadap hukum adat lebih harmonis hampir tanpa
benturan.
Seiring
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, wewenang kekuasaan yang selama ini
dijalankan oleh lembaga tahkim dipindahkan dan diberikan kepada pengadilan. Hal
ini dimaksudkan agar hukum Islam benar-benar dapat ditegakkan untuk dapat
memberikan layanan kepada masyarakat dan merupakan penjabaran dari tugas
keulamaan. Dalam sejarahnya muncul berbagai lembaga pengadilan Islam di
berbagai tempat seperti Pengadilan Serambi di Jawa, Mahkamah
Syar’iyah di Sumatra dan Kerapatan Qadi di Banjar dan Pontianak.
Lembaga-lembaga pengadilan ini tidak hanya menuntaskan persoalan perdata saja
tapi dalam batas-batas tertentu juga menangani persoalan pidana.
Dukungan
untuk melaksanakan ajaran dan hukum Islam pada waktu itu bukan hanya dari
ulama-ulama tetapi juga dari penguasa politik para raja dan sultan. Tercatat
dalam sejarah, kerajaan-kerajaan seperti Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa
dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar, Ternate
danTidore, juga Kesultanan Banten, Cirebon, Surakarta dan Yogyakarta.
Kerajaan-kerajaan tersebut telah menggunakan hukum Islam terutama hukum
keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif di negerinya[2].
Pelaksanaan
hukum Islam juga dijalankan oleh para kadi dan para kadi yang diangkat oleh
masyarakat, jika kekuasaan politik formal tidak mendukung pelaksanaan hukum
Islam. Hal ini terjadi sekitar abad 17 di Batavia. Penghulu dan kadi diangkat
oleh masyarakat pendatang sekitar Batavia yang sebagian besar beragama Islam
karena pada waktu itu Batavia berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda.
Di
Pulau Jawa, seperti di Yogyakarta, Surakarta, Madura, Sunda dan Banten, hukum
Islam dikembangkan melalui jalur pendidikan di pondok pesantren. Bahkan dalam
struktur kekuasaan kerajaan Mataram (yang kemudian pecah menjadi Yogyakarta dan
Surakarta) telah masuk dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat
Kesultanan menjalankan fungsi kordinasi dengan penghulu-penghulu di desa-desa
dan kabupaten dalam pelaksanaan hukum Islam terutama di bidang hukum keluarga
dan perdata.
Di
Jawa memang terdapat benturan antara hukum Islam dan hukum adat, terutama di
bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Tetapi di bidang hukum perkawinan,
kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dipraktekan. Benturan antara hukum Islam
dan hukum adat juga terjadi di Minangkabau, namun lama kelamaan benturan itu
mencapai harmoni.
Realitas
yang mengambarkan bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup, membuat
pemerintahan kolonial Belanda mengakui eksistensi hukum Islam. Melalui kantor
dagang Belanda VOC (1602-1880) pada 25 Mei 1760 mengeluarkan Resolutie der
Indische Regeering yang berisi ketentuan diberlakukannya sekumpulan aturan
hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan
pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi yang terkenal dengan nama Compendium
Freijer ini dalam batas-batas tertentu bisa dikatakan sebagai legislasi
hukum Islam pertama di Indonesia[3].
Pada
periode yang sama di Cirebon juga dikenal sebuah produk legislasi yang disebut
Papakem Cirebon. Papakem Cirebon ini merupakan kompilasi berbagai kitab hukum
jawa kuno yang meliputi Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya
Lengkara Konter Menara dan Adidullah[4]. Legislasi
ini dipakai oleh enam menteri pelaksana kekuasaan pengadilan yang mewakili tiga
sultan (Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon). Karena efektifnya
Papakem Cirebon ini maka Sultan Bone dan Goa mengadopsinya dengan nama Compendium
Indianche Wettern bij de Hoven van Bone an Goa[5].
Bukti
lain dari legislasi hukum Islam pada zaman kolonial Belanda terlihat dari
adanya Compendium Mogharrer yang materinya diambil dari kitab Al
Muharrar karya Imam Rafi’i. Compendium ini berisi hukum pidana Islam dan
adat yang dipakai di daerah Karsidenan Semarang, Jawa Tengah[6].
Sampai
akhir abad 19 politik kolonial Belanda pada mulanya menguntung kan posisi hukum
Islam. Belanda mengeluarkan Staatsblad No. 152 tahun 1882 yang mengatur dan
mengakui adanya peradilan agama di Jawa dan Madura. Dengan demikian terdapat
indikasi kuat bahwa pemerintah kolonial Belanda menerima keberadaan hukum
Islam. Dari fakta ini maka seorang ahli
hukum Belanda Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) mengembangkan
teori Receptio in Complexu. Dalam teori ini dinyatakan bahwa orang Islam
di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai
satu kesatuan.
Pada
perkembangan selanjutnya kebijakan politik kolonial Belanda justru melakukan
penyempitan bagi ruang gerak perkembangan hukum Islam di Indonesia. Hal ini
dilakukan karena Belanda melihat bahwa perkembangan hukum Islam di Indonesia
tidak menguntungkan bagi kepentingan kolonial Belanda bahkan menghambat
ekspansi dan juga sosialisasi dalam
rangka mengeruk keuntungan ekonomi (gold),
memperluas kekuasaan (glory) dan missi agama (gospel).
Penyempitan ruang gerak perkembangan hukum Islam ini dikemas dalam konsep Het
Indische Adatrecht yang dikembangkan oleh Van Vollenhoven (1874-1933) dan
C.S. Hurgronje (1857-1936), yang selanjutnya dikenal dengan teori Receptie.
Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia
adalah hukum adat masing-masing. Hukum Islam berlaku apabila sudah diresepsi
oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
Dengan
munculnya teori Receptie pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Stb
1937 No.116 yang berisi pencabutan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani
masalah waris dan lainnya. Perkara-perkara ini kemudian dilimpahkan kepada Landraad
(Pengadilan Negeri)[7]. Secara
praktis dan efektif teori Receptie ini baru berhasil dilaksanakan oleh Ter
Haar, dengan cara mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup di badan-badan
pengadilan negeri sepanjang tahun 1930-1942[8].
Teori Receptie ini juga jelas terlihat pada pasal 134 (2) I.S 1929 yang
menyatakan bahwa jika terdapat perkara antara orang Islam dengan orang Islam
maka dapat diselesaikan oleh hakim agama apabila hukum adat mereka
menghendakinya.
Sedikitnya
ada dua aturan yang diapungkan secara jelas dalam rangka menghambat laju hukum
Islam yaitu Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) dan Pasal 163 IS.
Pada Pasal 163 IS dinyatakan bahwa penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya
terdiri atas 3 golongan yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan
Bumiputera. Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang Jepang,
semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk
kepada hukum keluarga yang substansial memiliki asas hukum yang sama dengan
hukum Belanda. Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan
golongan Eropa maupun penduduk asli tanah jajahan, yaitu orang Arab, India dan
China. Sedangkan golongan BumiPutera terdiri dari orang Indonesia Asli.
Dalam
pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di negeri
Belanda (yaitu hukum Eropa atau hukum Barat) dan bagi golongan lainnya (Bumi
Putera dan Timur Asing) berlaku hukum adatnya masing-masing. Selanjutnya pada
Stb 1917 No.17 diatur tentang peraturan penundukan diri dengan sukarela kepada
hukum perdata bagi bukan golongan orang Eropa.
Pembelakuan
hukum adat bagi golongan Bumi Putera pada akhirnya menimbulkan bias
negatif terhadap hukum Islam yang dianut
oleh mayoritas penduduk yaitu membenamkan hukum Islam di bawah bayang-bayang
hukum adat. Di sisi lain pemberlakuan hukum adat menimbulkan masalah karena
adat di Indonesia sangat beragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya dan
agamanya.
Pada
perkembangan selanjutnya teori Receptie ini mendapat reaksi dari ilmuwan
hukum Hazairin (1906-1975) dan Sajuti Tahlib (1929-1990) dengan mengemukakan
teori Receptio a contrario yang menyatakan bahwa justru hukum adatlah
yang berada dibawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan
kata lain, hukum adat baru dapat berlaku jika telah dilegislasi oleh hukum
Islam.
C. HUKUM
ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
Usaha
untuk menempatkan kedudukan hukum Islam pada kedudukan semula terus menerus
dilakukan oleh para pemimpin Islam. Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan terbentuk untuk merumuskan dasar hukum negara Indonesia merdeka,
para pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha untuk
“mendudukkan” hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia[9].
Para pemimpin yang merancang Undang-Undang Dasar 1945 mencapai persetujuan yang
dituangkan dalam satu piagam yang dinamakan Piagam Jakarta (22-6-1945). Dalam
Piagam Jakarta tepatnya pada bagian Mukadimah atau Pembukaan antara lain dinyatakan
“berdasarkan ketuhanan yang maha Esa dengan menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir yang tercantum dalam Piagam Jakarta
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18-8-1945 diganti dengan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tentang
usaha melegal-positifkan hukum Islam pasca kemerdekaan Mahsun Fuad menuliskan:
Menilik
pada catatan sejarah yang ada pada pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam
untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan
mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam
sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada
tingkat lebih jauh yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum
Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional , bukan semata substansinya,
tetapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul
setidaknya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana
sila pertamanya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan
Syari’at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam
tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari hiruk pikuk polarisasi
dasar negara. Dengan hilang tujuh kata
tersebut maka menjadi sangat sulit bagi siapapun untuk melegalpositifkan hukum
Islam (syari’ah) dalam bingkai konstitusi negara[10].
Pada
tahun 1950 wacana tentang eksistensi hukum Islam dalam hukum Indonesia
digulirkan oleh Prof. Mr Hazairin dengan menggugat teori receptie. Hazairin
menilai bahwa teori receptie adalah teori “iblis”. Sejak saat itu
perdebatan tentang eksistensi hukum Islam dan hukum adat terus bergulir.
Pada
tahun 1957 dikeluarkan PP No. 45 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah di luar Jawa dan Madura. Tetapi PP No. 45 1957 ini masih mengandung
teori receptie karena memuat rumusan “menurut hukum yang hidup diputus menurut
hukum Islam”. Artinya bahwa pencari keadilan mempunyai kebebasan memilih untuk
berperkara di Pengadilan Agama ataukah di Pengadilan Negeri[11].
Selanjutnya
Hazairin dan Sayuti Thalib mengemukakan tentang teori yang bernama teori receptio
a contrario yang ide utamanya adalah asumsi bahwa “hukum adat baru berlaku
apabila diterima oleh hukum Islam dan hukum Islam berlaku apabila berdasarkan
Al Qur’an (hukum adat bersendi syara’. Hukum syara’ bersendi kitabullah). Teori
ini dimunculkan dengan dasar UUD 1945 khususnya pasal 29 dan lahirnya UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Tentang teori receptio a contrario A
Qodry Azizy berpendapat bahwa:
Jika
diperhatikan apa yang dimaksud dengan receptio o contrario itu adalah
tidak jauh berbeda dengan penjelasan penggunaan adat kebiasaan (‘adah/ ‘urf)
dalam pembahasan ilmu ushul al-fiqh atau ilmu hukum Islam. Jadi kaidah fiqhiyah
“al-‘adah muhakkamah” (adat kebiasaan dapat dijadikan sumber hukum) itu
salah satu syaratnya adalah tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam
atau syara’[12].
Berbagai
peraturan perundang-undangan yang materinya diambil dari kitab fiqh yang
dianggap representatif telah disahkan oleh pemerintah Indonesia selain UU No.1
tahun 1974 tentang perkawinan juga PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan yang
merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria.
Setelah
lahirnya dua undang-undang yang berhubungan erat dengan legalisasi hukum Islam
di atas, pada tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama,
yaitu sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Dalam
pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 dinyatakan bahwa peradilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan,
kewarisan, hibah, wasiat serta wakaf dan shadaqoh. Undang-undang No. 7 tahun 1989 ini mempunyai
nilai strategis, sebab keberadaannya telah memancing lahirnya peraturan-peraturan
baru sebagai pelengkap. Pada tahun 1991 Presiden RI mengeluarkan Inpres No. 1
tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI
disusun dengan tujuan memberikan pedoman bagi para hakim agama dalam memutus
perkara dalam lingkup peradilan agama. Beberapa peraturan perundang-undangan
yang lain yang memuat dan mendukung terlaksananya hukum Islam di Indonesia,
diantaranya UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan UU No. 17 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Pada
tahun 2006 telah diberlakukan UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama. Pada
pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 terdapat kewenangan baru di bidang ekonomi
syari’ah, zakat dan infaq selain perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf
dan shadaqoh. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum
dan kebutuhan masyarakat muslim akan usaha ekonomi syari’ah. Dengan demikian
peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
ekonomi syari’ah. Selanjutnya apabila terjadi sengketa ekonomi syari’ah maka
dapat diselesaikan melalui jalur hukum yaitu Pengadilan Agama yang merupakan
kewenangan baru di bidang ekonomi
syari’ah. Hakim pengadilan agama tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus
perkara ekonomi yang diajukan kepadanya dengan dalih tidak ada hukumnya, karena
hakim wajib berijtihad menciptakan hukum untuk menyelesaikan perkara yang
ditanganinya.
Berkaitan
dengan UU No. 3 Tahun 2006, maka ditetapkanlah Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Peraturan ini ditetapkan untuk kelancaran pemerikasaan dan penyelesaian
sengketa ekonomi syari’ah. Diputuskannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah ini
dimaksudkan agar hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah mempergunakan prinsip syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
D.
PENUTUP
Sejak
masuknya Islam ke Indonesia, hukum Islam secara berproses sudah menjadi hukum
yang hidup (living law) pada masyarakat muslim. Kebutuhan masyarakat
muslim akan hukum Islam diawali dengan
kebutuhan akan aturan perkawinan dalam Islam. Hal ini dapat dimengerti karena
perkawinan adalah lembaga yang paling asasi dalam kehidupan masyarakat. Karena
itu hukum Islam yang pertama kali menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat
muslim adalah hukum perkawinan.
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia diawali ketika Islam mulai masuk
ke Indonesia. Selanjutnya pasang surut pemberlakuan hukum Islam dari jaman
kolonialisme hingga pasca kemerdekaan dikemas dalam teori receptio in complexu,
teori receptie dan kemudian teori receptio a contrario membuktikan bahwa hukum
yang hidup (living law) bagaimanapun akan mencari tempatnya untuk
dilegalpositifkan dalam undang dan peraturan yang disahkan negara. Demikan pula
yang terjadi pada hukum Islam. Apalagi mengingat bahwa Islam memiliki
“kebudayaan fiqh” yang mapan. Eksistensi fiqh yang dominan pada masyarakat
muslim ini nampaknya inheren dalam Islam, karena tuntutan akan pemberlakuan
hukum Islam pada masyarakat muslim, terjadi di belahan dunia manapun.
Pemberlakuan
hukum Islam dalam rentang waktu jaman kolonialisme hingga pasca kemerdekaan
secara umum menunjukkan perkembangan yang meluas ke berbagai aspek. Pada
awalnya hukum perkawinan dan kewarisan merupakan hukum Islam yang pertama
diberlakukan pada masyarakat muslim Indonesia, hingga berkembang meluas kepada
pemberlakuan hukum tentang hibah, shodaqoh, wakaf hingga usaha ekonomi
syari’ah. Perluasan pemberlakuan hukum Islam ke dalam
hukum positif melalui undang-undang dan peraturan yang disahkan oleh negara ini
sekaligus membawa tanggung jawab besar bagi lembaga peradilan agama untuk serta
merta dapat menyelesaikan perkara-perkara umat Islam.
Di
sisi lain para ahli hukum Islam selayaknya senantiasa terus menerus berijtihad
untuk menemukan fiqh Indonesia yang dapat
mengikuti perkembangan masyarakat muslim Indonesia tetapi tetap besendi
pada Kitabullah. Perkembangan mutakhir tentang
usaha ekonomi syari’ah yang terus berkembang pesat di lapangan merupakan
tanggung jawab besar bagi para fuqaha dan lembaga peradilan agama agar dapat
menyelesaikan perkara-perakara usaha syari’ah yang memenuhi rasa keadilan
tetapi tetap berdasar pada Al
Qur’an.
Dengan
melihat pengalaman sejarah, perkembangan hukum Islam di Indonesia di masa depan
nampaknya akan banyak dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat muslim di Indonesia
dalam menyelesaikan perkara-perkara tertentu ataupun dipengaruhi oleh
wacana-wacana yang mengemuka di kalangan masyarakat muslim Indonesia.
Penggunaan perangkat epistemologis Fiqh
Islam yang mapan diharapkan dapat dengan bersegera menjawab kebutuhan-kebutuhan
masyarakat muslim yang berkembang sesuai jaman. Kini dituntut peran lebih besar
dari pihak konseptor hukum Islam, para hakim dan pihak penguasa untuk tanggap
dengan kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan pemberlakuan hukum Islam.
No comments:
Post a Comment