Abstrak
Wacana
paling populer dan tidak pernah kering dari pendapat dan perdebatan adalah tema
tentang karakteristik manusia. Konsep tentang karakteristik manusia memang
cukup penting untuk dipahami demi menemukan tujuan dan makna dari pendidikan
dan pembangunan manusia itu sendiri. Pendidikan dan pembangunan kemanusiaan tak
akan menghasilkan kesuksesan dan kemanfaatan tanpa pemahaman yang sesungguhnya
tentang karakteristik manusia.
Aspek jasmani manusia sebagai mahluk
biologis memang tidak banyak diperdebatkan karena dapat ditangkap panca indera dan secara
nyata dapat dijadikan objek penyelidikan ilmiah. Aspek rohaniah manusialah yang
banyak diperdebatkan karena ilmu pengetahuan tidak dapat membahasnya secara
tuntas, mengingat rohaniah manusia itu tidak dapat ditangkap panca indera,
sehingga lebih sulit untuk dianalisis dalam kerangka ilmu pengetahuan ilmiah
yang memberikan batasan pada gejala-gejala empiris (gejala yang dapat ditangkap
panca indera).
Para ulama dan cendekiawan muslim yang
membahas tentang manusia selalu memusatkan perhatiannya kepada aspek fitrah
yang ada pada diri manusia. Fitrah merupakan sekumpulan hal yang telah dan
hingga sekarang dikenal dengan kemanusiaan. Tidak ada satu aliran pun yang menolak adanya
nilai-nilai kemanusiaan.
Fitrah
tidak saja membawa manusia kepada kecenderungan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan tetapi juga kecenderungan manusia untuk mencari dan menemukan Yang
Tertinggi. Karena itu ketika para Rasul datang untuk menyampaikan risalah, manusia sudah dalam
potensinya sebagai mahluk yang berusaha mencari dan mendekati Yang Tertinggi. Fitrah
dapat dilupakan oleh manusia, tetapi fitrah tidak
dapat berubah dan tidak akan musnah. Karena itu fitrah ketuhanan mungkin saja dilupakan oleh manusia, tapi
sampai kapan pun tak akan musnah .Fitrah manusia
telah ditentukan karakteristiknya oleh Allah, sehingga semua manusia cenderung
kepada nilai-nilai kebenaran
Kecenderungan
untuk mendekatkan diri kepada Yang Tertinggi memerlukan cara-cara tertentu.
Karena itu tugas para rasul adalah mengingatkan dan menunjukkan cara-cara
mendekatkan diri (taqqarub) kepada Yang Tertinggi dengan mengajarkan akidah
(mengesakan Allah) dan mengabdi kepada-Nya melalui cara-cara tertentu.
Cara-cara itulah yang disebut dengan hukum. Fiqh adalah hukum yang dijadikan
pedoman praktis bagi kaum muslimin dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam
kehidupannya. Fiqh itu sendiri merupakan produk hukum yang dihasilkan dari
penalaran dan pemahaman kaum muslimin atas wahyu (Al Qur’an) yang berkaitan
langsung dengan masalah-masalah kontemporer.
Pembuat
hukum yang sesungguhnnya adalah Allah dan tujuan Allah membentuk hukum Islam
adalah untuk kemaslahatan ummat manusia. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui
taklif. Taklif merupakan perintah berbuat, larangan berbuat, maupun keizinan
berbuat untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan ummat.
Ukuran
kemaslahatan mengacu pada doktrin ushul fiqh yang dikenal dengan sebutan al
kulliyatul kahms (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan
maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan univesal syari’ah) yang terdiri dari: menjamin
kebebasan beragama, memelihara kelangsungan hidup, menjamin kreatifitas
berfikir), menjamin keturunan dan kehormatan, menjamin kepemilikan harta. Seorang
mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima
aspek pokok tersebut (terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
A.
PENDAHULUAN
Suatu
wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi pembahasan yang
menarik adalah masalah manusia. Walaupun manusia sudah berkembang demikian
modern, tetapi ia belum mampu mencapai kesimpulan lengkap mengenai dirinya
sendiri.
Pertanyaan sentral tentang “apakah manusia itu” sangat penting untuk
dijawab karena apabila manusia tidak dimengerti dan didefinisikan secara
meyakinkan maka pendidikan, bagaimanapun modernnya tidak akan menghasilkan
kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya. Berbagai konsep tentang manusia telah
dipaparkan demi untuk menemukan jati diri manusia yang sesungguhnya. Mengutip
pandangan Sartre tentang manusia, ia berpendapat bahwa eksistensi manusia
mendahului esensinya[1]. Hal ini
tentu berbeda dengan mahluk lain yang esensinya mendahului eksistensi. Sebuah
benda jika akan dibuat maka telah ditentukan dahulu fungsinya (esensi), baru
kemudian benda itu bereksistensi jika ia sudah ada dalam bentuk konkrit. Tetapi
manusia bereksistensi (ada) dahulu, kemudian ia melakukan pencarian esensinya.
Dari pendapat Sartre ini dapatlah dimengerti mengapa manusia tidak pernah
berhenti bertanya dan mencari tentang dirinya sendiri.
Sedangkan aspek jasmani manusia tidak banyak
dibicarakan karena dapat ditangkap panca indera dan dengan mudah dapat
dijadikan objek penyelidikan. Aspek rohaniah manusialah yang banyak
diperdebatkan karena ilmu pengetahuan tidak dapat membahasnya secara tuntas.
B.
TEORI
FITRAH DAN TIGA DAYA BAWAAN MANUSIA
Menurut
Murtadha Muthahhari lafal fitrah berkaitan dengan keadaan manusia dan
hubungan keadaan tersebut dengan agama[2]
seperti yang disebutkan dalam Al Qur’an Surat Ar Rum (30):30. Lafal fitrah
dalam ayat ini mengandung arti sebagai keadaan yang dengan itu manusia
diciptakan. Artinya Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu,
yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam
dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Berkaitan
dengan pemahaman tentang fitrah maka terdapat tiga istilah yang perlu dibedakan
pengertiannya yaitu: watak, naluri dan fitrah[3].
Pertama, watak atau sifat dasar manusia (ath-thabi’ah) yang
biasanya untuk menyebut berbagai karakteristik asal benda-benda. Manusia,
dengan pemikiran filosofisnya berpendapat bahwa dua benda yang sama dalam
segala seginya tidak mungkin memiliki karakter yang berbeda. Jika karakternya
berbeda maka hal itu membuktikan bahwa dua benda tersebut memiliki perbedaan
dalam satu segi atau lebih.
Kedua,
Naluri (al-gharizah). Istilah ini lebih banyak digunakan untuk binatang
dan jarang sekali digunakan untuk manusia dan tidak pernah digunakan untuk
tumbuh-tumbuhan dan benda mati. Di dalam naluri tersebut terdapat kondisi
setengah sadar yang dengan itu binatang-binaatang dapat dibedakan cara
kehidupannya. Kondisi tersebut bukan muktasabah (diperoleh dengan usaha)
tetapi merupakan sifat dasar yang ada pada binatang. Kemampuan binatang dalam
mempertahankan diri, tumbuh dan berkembang serta memiliki keterampilan sesuai
perkembangan umurnya, merupakan kemampuan yang ada pada dirinya tanpa proses
belajar.
Ketiga,
fitrah (al fitrah). Isitilah ini digunakan untuk manusia. Sebagaimana
watak dan naluri, fitrah merupakan bawaan alami. Artinya ia merupakan sesuatu
yang melekat pada diri manusia (bawaan) dan bukan merupakan sesuatu yang
diperoleh melalui usaha (muktasabah). Fitrah mirip dengan kesadaran.
Manusia mengetahui bahwa dalam dirinya terdapat sekumpulan hal yang bersifat
fitrah. Fitrah merupakan sekumpulan hal yang telah dan hingga sekarang dikenal
dengan kemanusiaan. Sementara itu tidak satu aliran pun yang menolak adanya
nilai-nilai kemanusiaan.
Fitrah
tidak saja membawa manusia kepada kecenderungan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan tetapi juga kecenderungan manusia untuk mencari dan menemukan Yang
Tertinggi. Kecenderungan ini menyebabkan manusia melakukan pencarian terhadap
Yang Tertinggi itu, yang kemudian
disebut agama. Artinya bahwa manusia
diciptakan dengan sejenis sifat dan watak dasar yang membuatnya siap
menerima agama[4].
Kembali
merujuk kepada Q. S Al-Rum (30):30, bahwa agama yang sesuai dengan fitrah
manusia adalah Islam. Karena itu menurut
Muthahhari, ketika para Rasul datang untuk
menyampaikan risalah, manusia sudah dalam potensinya sebagai mahluk yang
berusaha mencari dan mendekati Yang Tertinggi. Jadi tugas para rasul adalah
mengingatkan manusia akan fitrah itu[5]. Jadi fitrah lebih dari sekedar al hiss
atau indera, karena fitrah dapat membedakan perbuatan mana yang bermanfaat dan perbuatan
mana yang merugikan (mudarat). Kemampuan manusia untuk membedakan perbuatan
baik buruk ini merupakan potensi yang hanya dimiliki oleh manusia, sedangkan
binatang hanya bergerak semata-mata dengan nalurinya dan tidak memiliki daya
evaluasi seperti itu.
Di bagian akhir ayat ke-30 surah ar-Rum, terdapat
kalimat: ”Tidak ada perubahan pada
penciptaan Allah” dapat ditafsirkan bahwa fitrah yang telah diberikan kepada manusia tak akan
mengalami perubahan. Fitrah ketuhanan mungkin saja dilupakan oleh manusia, tapi
sampai kapan pun tak akan musnah[6].
Pada kenyataannya, kebahagiaan atau penderitaan manusia bergantung pada
perkembangan atau terselubungnya hakikat fitrah ini, al-Qur’an mengatakan, ”Dan sungguh beruntung orang yang telah
menyucikan (diri) dan sungguh celaka orang yang telah mengotorinya”[7].
Selanjutnya
fitrah yang merupakan bawaan manusia sejak lahir itu meliputi tiga daya atau
tiga potensi. Ketiga potensi itu adalah:
1. Quwwat al-aql yaitu daya akal atau
potensi intelektual
2. Quwwat al-gadlab yaitu potensi
defensif
Ketiga
daya di atas memiliki fungsinya masing-masing. Daya akal adalah potensi
tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui Allah (ma’rifatullah)
serta mengimaninya. Daya gadlab berfungsi defensif yaitu untuk
menghindarkkan diri secara naluriah dari segala yang membahayakan. Sedangkan
daya syahwat berfungsi sebagai daya ofensif yang berfungsi untuk menginduksi
obyek-obyek yang bermanfaat dan menyenangkan.
Beberapa ayat dalam Al Qur’an menegaskan
bahwa penalaran akal atas alam semesta dan diri manusia akan menghantarkan
manusia kepada Allah, salah satunya dalam Q.S. Al-Fushshilat (41): 53.
Menurut
Al Ghazali, orientasi akal atau orientasi ilmiah sering hanya dapat menembus
pengetahuan positif saja. Dalam kerangka itu Al Ghazali meletakkan manusia
dalam tiga tingkat kesadaran yaitu: kesadaran inderawi, kesadaran akal dan
kesadaran rohani[9]. Pada
tahap awal kesadaran manusia menggantungkan diri pada kemampuan inderanya.
Manusia menerima rangsangan indera apa adanya. Tahap berikutnya manusia mulai
menyadari bahwa indera sering berdusta dan mulai menggunakan akalnya supaya
terhindar dari tipuan-tipuan indera. Melalui akal manusia memahami segala
sesuatu tidak hanya mengandalkan inderanya saja tetapi mulai mampu menalar atas
beberapa gejala, sehigga mendapatkan pengetahuan tidak hanya melalui rangsang
indera tetapi juga melalui proses berpikir. Kemudian manusia mulai menyadari
bahwa akal juga seringkali tidak jujur terutama jika berhadapan dengan norma-norma
kebenaran dan etika. Baru pada tahap jiwani (kesadaran rohani) jiwa manusia
mengenal pedoman hidup yang hak, yaitu sebuah pedoman dalam dunia rasa dan yang
tersurat.
Fitrah
manusia telah ditentukan karakteristiknya oleh Allah, sehingga semua manusia cenderung
kepada nilai-nilai kebenaran. Adapun daya gadlab yang bersifat defensif
dan daya syahwat yang bersifat ofensif dimiliki manusia dengan kadar yang
berbeda-beda[10]. Kedua
daya ini memberi kemampuan kepada manusia untuk dapat survive
(mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam aspek fisik dan psikososial) di
muka bumi bahkan dengan kemampuan ofensif manusia dapat berkembang lebih maju dalam menciptakan
fasillitas-fasilitas kehidupannya (memiliki kebudayaan yang terus berkembang).
Tiga daya bawaan manusia ini secara jelas
memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki kualitas yang unik. Kualitas itu
sengaja diciptakan oleh Allah untuk dalam rangka peran-peran manusia di dunia
(sebagai khalifah fil ard). Tentang bagamana kemampuan akal
(intelektual) mendapat penghargaan cukup tinggi dalam Islam, terlihat dari
kisah tentang penciptaan Adam. Dalam Islam, penciptaan Adam dimulai ketika
Tuhan menyatakan kepada para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakilNya di
muka bumi. Dari pernyataan Tuhan tentang misi manusia terlihatlah betapa mulia
nilai manusia dalam pandangan Islam ini. Setelah Tuhan menciptakan Adam
kemudian Tuhan mengajarkan nama-nama pada Adam. Apa yang dimaksud dengan
pelajaran tentang nama-nama? Apapun penafsiran tentang “nama-nama” tersebut, yang
jelas pengajaran tentang nama-nama menyiratkan gagasan tentang pendidikan. Jadi
guru pertama manusia adalah Tuhan itu sendiri dan pendidikan manusia yang
pertama bermula dengan menyebutkan nama[11].
Karena merasa terganggu dengan perlakuan istimewa Tuhan kepada manusia, maka
para malaikat memprotes bahwa mereka diciptakan dari cahaya. Tetapi Tuhan
mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui, kemudian Tuhan memerintahkan para
malaikat bersujud kepada manusia[12].
Demikianlah
Islam mengangkat derajat manusia, menempatkan diatas para malaikat walaupun
secara inheren sebenarnya para malaikat lebih unggul karena diciptakan dari
cahaya. Inilah makna sebenarnya dari humanisme dalam Islam. Dalam Islam karunia
intelektual (akal) manusia dibuktikan lebih unggul daripada para malaikat dan
terbukti bahwa manusia adalah mahluk superior diantara segala ciptaan. Tuhan
menguji malaikat untuk menyebutkan nama-nama, tetapi mereka tidak mengetahui
nama-nama sedangkan Adam dapat mengingat semuanya. Dengan demikian malaikat
dikalahkan dalam ujian itu dan Adam memperoleh kemenangannya atas para malaikat
dalam ilmu pengetahuan. Jadi pengetahuan menjadi sumber keunggulan manusia.
Sujudnya malaikat di hadapan Adam membuktikan kenyataan bahwa dalam pandangan
Islam keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas para malaikat terletak
pada ilmu pengetahuannya bukan pada pertimbangan rasial apapun juga[13].
Salah
satu keistimewaan manusia adalah kesanggupan dan kemampuannya untuk menjadi
pemegang dan pengemban Amanat Tuhan. Ketika Tuhan menawarkan tugas ini kepada
seluruh mahlukNya, langit, bumi, gunung, flora, fauna dan seluruh fenomena
alam, maka tidak ada yang sanggup menerima Amanat tersebut. Karena manusia
memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban Amanat Tuhan, penjaga
karuniaNya yang paling berharga, maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi
keberanian dan keutamaan serta kebijakan di alam semesta. Apa pengertian Amanat
itu? Ali Shariati menyetujui pendapat Jalal al Din Rumi bahwa yang dimaksud
Amanat itu adalah kehendak bebas (free
will) manusia[14].
Kehendak bebas atau kekuatan
iradahnya manusia inilah yang merupakan kemampuan paling menonjol dari manusia
selain intelektualitasnya. Dengan memiliki kehendak bebas ini, manusia
merupakan satu-satunya mahluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya.
Hewan maupun tumbuh-tumbuhan hidup semata-mata mengikuti dorongan instingnya
tetapi manusia dapat melakukan perbuatan yang melawan dorongan instingnya
seperti berpuasa, bunuh diri atau memilih apakah akan bertindak rasional atau irrasional.
Dengan demikian pernyataan Tuhan
bahwa manusia lahir atau diciptakan dari bagian Ruh Tuhan ditafsirkan sebagai
adanya kesamaan antara mahluk dan khalik yaitu kehendak bebas. Tuhan
satu-satunya Zat dengan kemauan mutlak,
telah meniupkan sebagian RuhNya kepada manusia dan mengantarkan manusia
kepada kehidupan ini agar manusia dapat memanifestasikan sifat-sifatNya di muka
bumi. Jadi manusia dapat berbuat mirip Tuhan tetapi dalam batas-batas tertentu[15].
Jadi kedekatan manusia dengan Tuhan berasal dari keutamaan yang sama yaitu
kehendak bebas.
Dalam pemahaman yang lengkap
dapatlah disimpulkan bahwa Amanat-Nya kepada manusia adalah berupa kehendak
bebas tersebut. Dengan kehendak bebas (free
will) inilah manusia menjadi khalifah di muka bumi selain bahwa manusialah
satu-satunya mahluk Tuhan yang memiliki kemampuan intelektual.
Seperti dibahas dalam penjelasan
sebelumnya bahwa sujudnya para malaikat kepada Adam disebabkan Adam mampu
mempelajari nama-nama yang telah diajarkan Tuhan. Sujudnya para malaikat kepada
Adam adalah simbol dari penghargaan Islam atas kemanusiaan (humanisme).
Sedangkan nama-nama itu sendiri merupakan simbol dari fakta-fakta alamiah.
Mempelajari tanda-tanda dari fakta-fakta alamiah tersebut membimbing manusia ke
arah pemahaman dan penemuan kebenaran-kebenaran faktual yang ada dalam alam
semesta. Hal ini berarti penguasaan atas fakta-fakta ilmiah. Penguasaan atas
fakta-fakta ilmiah inilah yang merupakan dasar dari kualitas intelektualisme
manusia.
Tiga
daya bawaan manusia (potensi intelektual, potensi defensif dan potensi ofensif)
ini memiliki daya picu yang berupa gerak yang disebut dengan al harakah.
Setiap manusia memiliki al harakah untuk mengambil segala yang bermanfaat dan
menolak segala yang merusak. Apabila keberadaan al harakah dalam diri
manusia ini berfungsi sebagaimana mestinya maka tujuan hukum Islam pun pasti
akan tercapai yaitu meraih kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat[16].
Jadi pengembangan tiga daya bawaan manusia ini tidak hanya berhenti pada
kemampuan survive dan kemampuan manusia berbudaya, tetapi lebih khusus
lagi adalah bermuara pada tujuan hukum Islam yaitu untuk kemaslahatan dunia dan
akhirat.
Ada
pula salah satu cara untuk memahami manusia secara komprehensif yaitu dengan
menafsirkan pengertian basyari, insani dan Al Nas dan mahluk bani Adam yang tercantum
dalam Al Qur’an[17].
Istilah basyar
dalam al-Qur’an, semuanya mengarah pada gejala umum yang nampak pada fisik atau
bentuk lahiriyah yang aktivitasnya dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiah,
seperti makan, minum, seks, berjalan, dan mati sebagai akhir kegiatannya di
dunia. Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk pada hukum alam.[18]
Istilah insan dalam
al-Qur’an, menunjuk pada potensi yang membentuk struktur kerohanian manusia dan
berfungsi sebagai modal dasar kehidupannya di dunia. Potensi itu berupa
kapasitas nafsu, akal, dan rasa.
1. Nafsu merupakan
potensi kreatifitas yang cenderung pada arah nilai positif dan nilai negatif ,
tercantum dalam Q.S. Al-Syams (91): 7-8.
2. Akal sebagai
potensi intelegensi yang dapat mengenal, memahami, memilah, meneliti, dan
memperoleh pengetahuan, tercantum dalam Q.S Al-Rahman(55) : 2, Q.S Al-‘Alaq (96): 5,
Q.S. Al-Hajj (22) : 46, Q.S.Al-Nahl (16) : 12, dan Q.S. ‘Abasa (80) : 24.
3.
Rasa merupakan potensi yang mengarah pada nilai-nilai
etika, estetika, dan agama tercantum dalam Q. S. Al-Syura (42) : 48, Al-Zumar (39) : 8, dan Al-Ma’arij (70) : 19-20).[19]
Selain itu, istilah insan mengarah pada sifat-sifat manusia, seperti mulia, ingkar, melampaui
batas, dan optimis seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Tin (95) : 4, Al-‘Adiyat (100) : 6, Al-‘Alaq (96) : 6, dan Al Fushshilat (41) : 49[20]. Jadi, dalam konteks itu, manusia adalah sebagai makhluk
psikologis atau insani.
Istilah al-Nas dalam al-Qur’an mengandung beberapa makna yaitu: pertama, obyek pembicaraannya mengenai manusia bukan secara individual, tetapi
manusia secara kelompok. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan-ungkapan Qur’ani, “aksar al-nas” [kebanyakan manusia, Q.S. Al-Rum (30) : 30], “wa min al-nas”
[dan di antara manusia, Q.S. Luqman (31) : 20], dan “al-nas
ajma’in” [Manusia
seluruhnya, Q.S.
Ali-‘Imran (3) :
87]. Selain itu, bentuk kalimat perintah yang berkaitan
dengan al-nas ditujukan kepada semua
orang, seperti dalam ungkapan “ya ayyuha
al-nas u’budu rabba kum” [hai manusia, sembahlah Tuhanmu sekalian, Q.S. Al-Baqarah (2) : 21] “ya ayyuha al-nas
uzkuru” [hai manusia, ingatlah kalian semuanya, Q.S. Al-Fathir
(35) : 3], dan “ya ayyuha
al-nas ittaqu” [hai manusia, bertakwalah kamu sekalian, Q.S. Luqman (31) : 33].[21]
Kedua,
istilah al-nas berkaitan dengan
petunjuk al-Qur’an yang diperuntukkan pada manusia secara komunal, sebagai
terlihat dalam ungkapan “ya ayyuha al-nas
qad jaa kum al-rasul” [hai manusia, sesungguhnya telah datang rasul kepada
kalian, Q.S. Al-Nisa (4) : 170], “wa
anjalna ilaika al-zikra li tubayyina li al-nas” [dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur’an sebagai penjelasan bagi umat manusia, Q.S. Al-Zumar (39) : 41].[22]
Ketiga, istilah al-nas dikaitkan dengan penjelasan
mengenai berbagai tipe, perilaku, atau karakter kelompok manusia. Menurut
al-Qur’an, manusia itu munafiq [Q.S. Al-Baqarah (2) : 8-13], fasiq [Q.S. Al-Maidah (5) : 49], zalim [Q.S. Yunus (10) :
44], lalai [Q.S. Yunus (10):
92], kafir [Q.S. Al-Isra’ (17) : 89], destruktif (Q.S. Al-Syu’ara’ (26) :
183], musyrik [Q.S. Yusuf (12) :
103, 106], tidak bersyukur (Q.S. Yusuf (12) : 28], beriman [Q.S. Al-Ankabut (29) : 10], materialisme [Q.S. Al-Baqarah(2) : 204], dan berpaling [Q.S. Al-Anbiya’ (21): 1][23].
Jika
dilihat dari konteksnya, istilah al-nas dalam
al-Qur’an mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial yang saling bersekutu dan
berinteraksi. Selain itu, naluri manusia cenderung bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa dalam budaya yang berbeda, dan cenderung pula untuk saling
berhubungan, membutuhkan, tolong menolong, dan memahami [Q.S. Al-Hujurat (49) :
13, al-Nisa’: 1].
Istilah bani Adam
dalam al-Qur’an, menunjukkan bahwa manusia bukan merupakan hasil evolusi dari
kera, melainkan berasal dari Adam[24]. Menurut al-Qur’an, manusia diciptakan Tuhan dari tanah
dan ruh, hal itu diungkapkan dalam Q.S Al-Hijr (15) : 28, “fa iza
sawwaituhu wa nafakhtu fi hi min ruhi” (maka ketika Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan aku meniupkan ke dalam tubuhnya ruh ciptaan-Ku).
Jadi, manusia dalam konteks bani Adam
adalah sebagai makhluk theoformis
yang tersusun dari jasad dan ruh. Jasad berasal dari tanah, sedang ruh berasal
dari Tuhan sebagai meta-energi yang menyebabkan daya basyari (biologis), daya insani (psikologis), dan daya al-nasi (hidup sosial). Daya-daya itu akan kembali tidak berfungsi setelah ruh
diambil oleh Tuhan, itulah yang disebut kematian [Q.S. Al-Jumu’ah (62) : 8].
C.
AL
FITRAH DAN AL FITRAH AL MUNAZZALAH
Untuk
memfungsikan tiga daya bawaan (akal, syahwat, gadlab) yang berifat
inheren pada diri manusia itu, diperlukan bantuan yang bersifat eksternal. Akan
tetapi faktor eksternal yang dapat memfungsikan tiga daya bawaan tersebut
haruslah yang sesuai dengan potensi yang secara inheren ada dalam diri manusia.
Faktor eksternal itu adalah al fitrah al munazzalah yaitu wahyu[25].
Penisbatan tiga daya bawaan manusia (fitrah) kepada al fitrah al munazzalah
serupa dengan penisbatan mata dengan cahaya[26].
Dengan panduan wahyu fitrah manusia lebih cepat berfungsi sehingga daya akal
segera mengetahui Allah (ma’rifatullah) dan mengimaninya serta
mengesakannya, mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, membenarkan
Allah dan Rasul-Nya.
Gambaran
fungsi daya fitrah dengan wahyu tergambarkan dalam Q.S As-Syura (42): 52
dan Q.S Saba, (34): 50. Kedua ayat
tersebut mempertegas dua hal. Pertama, bahwa manusia dilahirkan
bersamaan dengan potensi-potensi untuk mengetahui Allah, mengenali-Nya,
mencapai kelanggengan hidup dan mempertahankannya. Kedua bahwa
kelanggengan hidup dan mempertahankannya tidaklah cukup dengan fitrah yang
inheren dalam diri manusia, melainkan memerlukan petunjuk tentang cara-cara
meraih kebahagiaan yang hal itu ada di luar diri manusia yaitu wahyu Allah yang
disampaikan melalui Rasul-Nya. Kedua hal tersebut mengarahkan pada satu
pemahaman bahwa manusia dilahirkan dengan naluri beragama dan beriman,
sedangkan wahyu menunjukkan cara bagaimana beragama dan beriman itu melalui
seperangkat aturan (hukum Islam). Dengan demikian apa yang dibawakan dan
diajarkan oleh hukum Islam adalah sesuai dengan jati diri manusia. Dengan kata
lain hukum Islam adalah hukum yang manusiawi dan universal.
Dalil
dalam Al Qur’an yang menyatakan bahwa manusia memiliki naluri beragama sejak
lahir adalah Q.S Al- A’raf (7): 172. Dalam sebuah hadist Rasulallah disebutkan
bahwa Rasulallah berkata: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,
kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau
Majusi[27]”.
Yang dimaksud “kedua orang tua” disitu adalah faktor-faktor eksternal. Unsur
inilah yang menyimpangkan fitrah menjadi agama lain.
Di
awal salah satu khotbahnya yang dimuat dalam Nahj al-Balaghah, dan
sesudah menyinggung masalah penciptaan langit dan bumi, Imam ‘Ali as berkata:
“...kemudian Allah mengutus rasul-rasulNya di tengah mereka, dan berturut-turut
mengirimkan nabi-nabi-Nya agar mereka merealisasikan janji fitrah mereka,
mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat yang telah mereka lupakan, serta agar
mereka dapat berhujjah kepada manusia bahwa mereka telah menyampaikan risalah,
membangkitkan pendaman-pendaman akal mereka dan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda kekuasaan-Nya”. Muthahhari menafsirkan khotbah Imam Ali itu sebagai
berikut:
1. Mengapa
Allah mengutus para rasul secara estafet? Di dalam khotbahnya Imam Ali
mengatakan “agar mereka merealisasikan perjanjian fitrah mereka”. Dengan
demikian para nabi tidak memulai tugas dari tempat kosong, tetapi dengan
menyalakan sesuatu yang telah ada dalam diri mereka.
2. “Dan
mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya yang terlupakan”. Dalam hubungannya
dengan fitrah, para nabi bertugas mengingatkan akan fitrah itu.
3. “Dan
membangkitkan pendaman-pendaman akal mereka” . Para nabi diutus oleh Allah
untuk memperlihatkan bahwa di dalam simpanan ruh dan akal mereka terdapat
“harta kekayaan” yang mereka lupakan.”Membangkitkan pendaman-pendaman akal”
berarti membongkar harta yang terpendam itu dan membangkitkan keheranan dalam
diri mereka akan adanya harta terpendam itu[28].
D.
HUKUM
DAN TAKLIF
Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk beriman karena
telah ditanamkan dalam dirinya fitrah. Kecenderungan untuk mendekatkan diri
kepada Yang Tertinggi itu memerlukan cara-cara tertentu. Karena itu tugas para
rasul adalah mengingatkan dan menunjukkan cara-cara mendekatkan diri (taqqarub)
kepada Yang Tertinggi dengan mengajarkan akidah (mengesakan Allah) dan mengabdi
kepada-Nya melalui cara-cara tertentu. Cara-cara itulah yang disebut dengan
hukum. Fiqh adalah hukum yang dijadikan pedoman praktis bagi kaum muslimin
dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam kehidupannya. Fiqh itu sendiri merupakan
produk hukum yang dihasilkan dari penalaran dan pemahaman kaum muslimin atas
wahyu (Al Qur’an) yang berkaitan langsung dengan masalah-masalah kontemporer.
Proses dan metode penalaran dan pemahaman inilah yang disebut dengan ijtihad.
Hasil dari ijtihad inilah yang kemudian melahirkan pedoman-pedoman praktis bagi
kaum muslimin dalam melakukan kegiatan-kegiatannya di arena kehidupan demi
untuk selalu selaras dengan hukum Al Qur’an. Jadi ijtihad merupakan produk
penalaran manusia terhadap wahyu di satu pihak dan kenyataan sosial di pihak
lain[29].
Pembuat
hukum yang sesungguhnnya adalah Allah dan tujuan Allah membentuk hukum Islam
adalah untuk kemaslahatan ummat manusia[30].
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui taklif. Taklif merupakan
perintah berbuat, larangan berbuat, maupun keizinan berbuat untuk memelihara
dan mewujudkan kemaslahatan ummat[31].
Ukuran
kemaslahatan mengacu pada doktrin ushul fiqh yang dikenal dengan sebutan al
kulliyatul kahms (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan maqashid
al-syari’ah (tujuan-tujuan univesal syari’ah) yang terdiri dari[32]:
- Hifdz
al-dien (menjamin kebebasan beragama).
- Hifdz
al- nafs (memeliahara kelangsungan hidup)
- Hifdz
al-aql (menjamin kreatifitas berfikir)
- Hifdz
al-nasl (menjamin keturunan dan
kehormatan)
- Hifdz
al-mal (menjamin kepemilikakn harta,
property dan kekayaan).
Jika
perjuangan ummat Islam mengabaikan hal-hal ini maka runtuhlah nilai-nilai Islam
yang substansial[33].
Seorang
mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek
pokok tersebut (terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta),
sebaliknya ia akan merasakan mafsadat jika ia tidak dapat memelihara kelima
unsur itu dengan baik. Menurut Al Syatibi penetapan kelima hal pokok tersebut
didasarkan atas dalil-dalil Al Qur’an dan Hadist[34].
Diantara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat,
larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan
berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
Kebanyakan ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat Makkiyah yang tidak di naskh
dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah.
E.
PENUTUP
Manusia
tidak hanya memiliki instink (naluri), tetapi lebih dari mahluk lainnya ia
dikaruniai instrumen istimewa berupa fitrah yang terdiri dari daya akal, daya
defensif dan daya ofensif. Tiga instrumen ini dikaruniakan kepada manusia dalam
rangka peran-perannya di muka bumi sebagai khalifah fil ard. Dengan tiga
daya bawaan ini manusia pun kemudian diberi kewenangan untuk bergerak sesuai
kehendaknya, ini berbeda dengan hewan yang bergerak hanya melalui dorongan
naluri nya saja dan tidak dapat berkreasi. Manusia dapat melawan dorongan
instinknya bahkan lebih jauh dapat berkreasi dan memiliki kemampuan mencipta
atau mengolah alam.
Kemampuan
manusia mencipta ini bukan saja dalam aspek dunia fisik tetapi juga dunia etik
yang menyangkut penalaran dan penilaiannya tentang baik dan buruk serta
kesadarannya bahwa perlu diciptakan aturan bersama (hukum) agar komunitas
manusia tersebut stabil dan terintegrasi. Maka dibuatlah aturan berupa
hukum-hukum itu.
Dalam
Islam, kewenangan manusia dalam membuat hukum tidak secara total diberikan
keleluasaannya. Penciptaan hukum oleh manusia harus merujuk kepada hukum Tuhan
(Al Qur’an) dan kemudian dalam bentuk yang lebih operasional dalam Sunnah
(hadist). Selanjutnya manusia diberi kewenangan untuk berijtihad dengan
menafsirkan lebih lanjut antara teks dan konteks Al Qur’an serta hadist terkait
dengan masalah-masalah realitas kehidupan yang dihadapi.
Penciptaan
hukum yang diusahakan agar tetap pada tuntunan Tuhan inilah yang menciptakan
metode-metode tertentu dalam penetapan hukum. Penetapan hukum tersebut dimulai
dengan pemahaman tentang taklif dan lima hal pokok yang perlu dipelihara
atau dijaga oleh hukum tentang keberlangsungannya yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta (al kulliyatul khams atau maqashid al syari’ah).
Penetapan
hukum yang harus sesuai dengan hukum Tuhan itu
dimaksudkan agar hukum yang dibuat manusia sesuai dengan fitrahnya.
Allah yang menetapkan fitrah itu dan menciptakan hukum sesuai dengan fitrah.
Oleh karena itu penciptaan hukum yang dilakukan oleh manusia juga harus
disesuaikan dengan fitrah sehingga tercapailah kemaslahatan manusia.
Demikianlah,
jika kaum muslimin dengan bersungguh-sungguh dan ikhlas dalam melakukan ijtihad
dengan menafsirkan hukum yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah untuk mengatasi
masalah-masalah kehidupannya, niscaya akan tercipta keselarasan antara fitrah
manusia dengan hukum yang berlaku.
No comments:
Post a Comment