Thursday 14 August 2014

KEMUAMALATAN DALAM BERBAGAI ASPEK


KEMUAMALATAN DALAM BERBAGAI ASPEK

Oleh: Wazin Baihaqi

A. Pendahuluan

Ketika sebuah komunitas mulai terbangun dalam suatu wilayah, hal utama yang perlu dibentuk dalam komunitas itu adalah hukum. Hal ini dikarenakan hukum diperlukan untuk menjaga integritas komunitas dari benturan kepentingan antar pribadi dan juga dengan kepentingan umum. Hukum yang dibentuk harus memenuhi rasa keadilan bagi sebagian besar warga masyarakat serta memberikan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri.
Untuk komunitas Islam, adanya hukum tidaklah semata-mata untuk tujuan integritas masyarakat, tetapi lebih dari itu adalah sebagai manifestasi dari loyalitasnya kepada Allah. Bagi komunitas Islam, penyembahan kepada Tuhan tidak hanya termanifestasi dalam peribadatan ritual tetapi bahkan harus termanifestasi dalam suatu sistem kehidupan yang konkrit. Karena itu segala aspek kehidupan dimungkinkan untuk dilihat dalam perspektif Islam seperti kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Tuntutan dan tuntunan Allah bagi ummatNya adalah keharusan untuk hidup dalam Islam yang kaffah (total), dalam arti kata seluruh kehidupan setiap muslim haruslah sesuai dengan aturan atau hukum Allah. Karena itulah hukum menempati bidang yang paling penting bagi ummat Islam.
Bagaimana Al Qur’an sebagai kumpulan perintah Allah dapat meliputi semua aspek kehidupan dalam segala jaman dengan berbagai macam tipe masyarakat yang berbeda-beda? Struktur hukum Islam memungkinkan untuk diberlakukannya semua perintah Allah dalam Al Qur’an tersebut melalui ‘pelimpahan wewenang’ untuk menafsirkan lebih lanjut oleh Rasulallah melalui Sunnah, oleh ulama melalui ijma, qiyas, Istihsan, Istislah dan Istishab. Dengan struktur hukum Islam yang seperti ini maka diperlukan dan diperbolehkan untuk menafsir dan mengkaji ayat-ayat Al Qur,an dan Sunnah yang kemudian dirujukkan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat.
Hukum akan kehilangan eksistensinya jika tidak disahkan dalam suatu perundang-undangan oleh penguasa. Oleh karena apapun fatwa yang dikeluarkan oleh ulama menyangkut suatu masalah tertentu akan tetap menjadi wacana semata jika tidak disahkan melalui undang-undang.
Bidang ekonomi adalah dalah aspek kehidupan manusia yang sangat penting karena menyangkut keberlangsungan hidup individu dan masyarakat. Tidak ada manusia dewasa dan berakal yang tidak pernah melakukan kegiatan ekonomi. Tentunya segala kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia memiliki aturan dan hukumnya tersendiri. Demikian juga dengan ummat Islam, memiliki aturan dan hukum ekonominya tersendiri dalam melakukan kegiatan ekonominya. Dalam khasanah keilmuan Islam segala aturan yang menyangkut kehidupan ekonomi diatur dalam fiqh muamalah.

B. Sumber Hukum Islam

Filsafat hukum yang memiliki paradigma yang berbeda dari berbagai aliran filsafat hukum yang ada adalah filsafat hukum Islam. Perbedaan itu diantaranya adalah bahwa filsafat hukum Islam mengacu pada pernyataan-pernyataan Al Qur’an dan Sunnah yang kemudian ditafsirkan dan dikaji kembali melalui proses ijma,ijtihad dan qiyas. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa aliran filsafat hukum yang ada, dimana penetapan hukumnya murni diperoleh dari proses berfikir manusia semata.
Saat ini banyak praktek ekonomi atau lembaga ekonomi yang memakai istilah syari’ah dalam menyebutkan jenis kegiatan atau lembaga ekonominya seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah dan sebagainya. Syari’ah secara etimologis berarti “jalan tempat keluarnya air untuk diminum”. Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut. Menurut Manna’ Al Qathan, syari’ah berarti segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah[1]. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh Al Qur’an dan Sunnah maupun yang telah dicampur oleh pemikiran manusia[2]. Produk-produk pemikiran itulah yang disebut dengan fiqh.
Mengapa harus ada campur tangan manusia dalam merumuskan syari’at Islam? Hukum Allah dalam Al Qur’an terbagi dalam dua bagian yaitu yang terang (muhkam) dan yang mutasyabih (samar). Hukum mutasyabih yang ditemukan oleh ummat Islam di zaman Rasulallah telah dijelaskan lewat Sunnah. Namun penjelasan nabi tersebut terkait dengan dimensi kultur, situasi, kondisi, waktu dan tempat saat itu sehingga penjelasan Sunnah tersebut harus dilanjutkan melalui pengkajian dan penelitian .
Perkembangan ekonomi Islam baik dalam wacana maupun dalam praktek terus berkembang. Praktek-praktek ekonomi terus berkembang lebih kompleks dan beragam. Pada tahap inilah sangat diperlukan agar praktek ekonomi tetap sesuai dengan syari’at Islam.
Dalam wacana kelimuan di dunia akademik kini lebih banyak diperkenalkan istilah ekonomi Islam daripada istilah fiqh muamalah dan lebih banyak memakai istilah hukum Islam dibanding istilah syari’at Islam. Pengistilahan yang banyak terpengaruh oleh bahasa keilmuan Barat ini sekaligus menunjukkan keharusan pengkajian ulang fiqh muamalah kedalam bentuk ekonomi Islam kontemporer. Secara implisit perbedaan istilah yang dikaitkan dengan dimensi waktu ini memberi kesan bahwa diperlukan banyak usaha agar syari’at Islam tetap aktual dan praktek ekonomi tetap dalam bingkai syari’at.
Pada awalnya aturan mengenai perilaku ekonomi yang islami ditetapkan oleh Al Qur’an. Jadi secara etik al Qur’an mengatur perilaku ekonomi dalam bidang produksi, konsumsi, sirkulasi (distribusi).
Setelah Al Qur’an, Sunnah merupakan aturan kedua yang mengatur perilaku manusia. Sunnah adalah praktek-praktek yang dicontohkan oleh Rasulallah saw, serta ucapan-ucapannya (hadist). Keterangan-keterangan dalam sunnah memiliki formasi yang lebih operasional yang merupakan bentuk praktek dari konsep-konsep Al Qur’an. Sunnah menguraikan bagaimana tata cara zakat, bentuk kerja sama ekonomi, perdagangan, pembelanjaan harta dan sebagainya. Dalam konteks waktu, sunnah menjelaskan perilaku ekonomi masa lampau. Dengan kerangka hukum Islam yang dapat menjangkau semua dimensi waktu terdapat istilah-istilah ijma dan qiyas.
Pada wilayah ijtihad dan qiyas diperlukan pengamatan atas gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat (termasuk gejala ekonomi). Sehingga pada tahap ini ekonomi Islam ada pada tataran positif. Walaupun demikian, bukan berarti Al Qur’an dan Sunnah semuanya bersifat normatif. Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang memberi petunjuk-petunjuk praktis dan jelas misalnya pembayaran utang piutang. Bentuk petunjuk praktis ini dapat dibedakan dengan pernyataan normatif dalam Al Qur’an, misalnya tentang sikap pertengahan dalam membelanjakan harta, konsep keadilan dalam perdagangan dan sebagainya yang semuanya memerlukan penjelasan lebih operasioanl dalam sunnah dan selanjutnya ijma, ijtihad dan qiyas.
Terdapat prinsip-prinsip hukum Islam yang lain yaitu Istihsan, Istislah dan Istishab[3]. Istishan merupakan sarana yang yang efektif dalam memasukkan unsur-unsur baru dengan tujuan mencari yang terbaik. Istislah berarti melarang atau mengizinkan sesuatu hal karena semata-mata memenuhi “maksud yang baik” (maslahah). Istishab yaitu bila eksistensi sesuatu hal pernah ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keragu-raguan mengenai kelanjutan eksistensinya, ia masih tetap dianggap ada.
Praktek ekonomi yang berkembang kini semakin luas dan beragam. Karena itu diperlukan aturan-aturan hukum yang baru dan diperbaharui agar dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi yang memerlukan penanganan hukum. Hukum akan kehilangan eksistensi dan fungsinya jika tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Melalui kerangka hukum Islam (sumber-sumber hukum Islam dan metode penetapannya) yang elastis, sebenarnya hukum Islam selamanya tak akan mengalami hal itu. Tetapi jika hukum Islam hanya berhenti pada tingkat wacana dan tidak mendapat pengesahan dari pemerintah, ia tetap tidak akan memiliki kemampuan mengikat yang pada akhirnya hukum Islam tetap kurang memiliki eksistensinya dan fungsinya di masyarakat.
Berbagai masalah dibahas dalam bingkai hukum Islam dari analisa tekstual dan kontekstual Al Qur’an dan Sunnah (hadist), ijma, ijtihad, qiyas sampai kepada penetapan hukumnya. Tetapi sanksi yang dikenakan berdasarkan penetapan hukum tersebut tidak akan memiliki kemampuan mengikat jika tidak disahkan oleh pemerintah sebagai hukum yang berlaku.

C. Ekonomi Syari’ah Dalam Fiqh Muamalah

Fiqh muamalah adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci yang mengatur hubungan keperdataan seseorang dengan orang lain dalam hal persoalan ekonomi, diantaranya: dagang, pinjam meminjam, sewa-menyewa, kerjasama dagang, simpanan barang atau uang, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pengupaham, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, barang titipan, pesanan dan lain-lain[4]. Secara lebih singkat dapat dikatakan bahwa fiqh muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan antar manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda atau lebih tepatnya aturan Islam tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia. Adapun ruang lingkup muamalah mencakup segala aspek kegiatan ekonomi manusia sebagai berikut:
1. Harta milik
2. Ba’yu (tentang jual beli)
3. Ar Rahn (gadai)
4. Hiwalah (pengalihan utang)
5. Ash-Shulhu (perdamaian bisnis)
6. Adh Dhaman (jaminan, asuransi)
7. Syirkah (tentang perkongsian)
8. Wakalah (tentang perwakilan)
9. Wadi’ah (tentang penitipan)
10. ‘Ariyah (tentang peminjaman)
11. Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak sah)
12. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)
13. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)
14. Muzara’ah (kerja sama pertanian)
15. Kafalah (penjaminan)
16. Taflis (jatuh bangkrut)
17. Al-Hajru (batasan bertindak)
18. Ji’alah (sayembara, pemberian fee)
19. Qaradh (pinjaman)
20. Ba’i Murabahah
21. Ba’i Salam
22. Ba’i s
23. Istishna’
24. Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
25. Ba’i Sharf dan transaksi valas
26. Urbun (panjar/ DP)
27. Ijarah (sewa menyewa)
28. Riba (konsep uang dan kebijakan moneter)
29. Shukuk (surat utang atau obligasi)
30. Faraidh (warisan)
31. Luqathah (barang tercecer)
32. Waqaf
33. Hibah
34. Wasiat
35. Iqrar (pengakuan)
36. Qismul fa’i wal ghanimah(pembagian fa’i dan ghanimah)
37. Qism As-Shadaqat (tentang pembagian zakat)
38. Ibrak (pembebasan utang
39. Muqasah (discount)
40. Kharaj, Jizyah, Dharibah dan Ushur
41. Baitul Mal dan Jihbiz
42. Kebijakan fiskal Islam
43. Prinsip dan perilaku konsumen
44. Prinsip dan perilaku prosusen
45. Keadilan distribusi
46. Perburuhan (hubungan buruh-majikan, upah buruh)
47. Jual beli gharar, ba’i najasy, ba’i al-‘inah, ba’i wafa, mu’athah, fudhuli dan lain-lain.
48. Ikhtikar dan monopoli
49. Pasar modal islami dan Reksadana
50. Asuransi islam, pegadaian, Bank Islam, MLM dan lain-lain[5].
Islam adalah agama yang menyeluruh. Segala aspek kehidupan manusia tak satu pun yang terlewatkan untuk dibicarakan dalam Islam baik aqidah, ibadah, ahlak maupun muamalah. Salah satu ajaran Islam yang sangat penting, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan masa kini adalah bidang muamalah (iqtishadiyah).
Husen Shahhathah, seorang pengajar di Universitas Al Azhar Kairo Mesir menyatakan: “dalam bidang muamalah maliyah, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana seharusnya ia bermuamalah sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah. Jika ia tidak memhamai muamalah maliyah maka mungkin ia akan terperosok kedalam perbuatan haram atau syubhat. Seorang muslim yang bertakwa dan takut kapad Allah harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata”[6].

D. Penutup

Demikianlah bisnis selalu memegang peranan vital dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia sepanjang masa. Karena itulah kegiatan bisnis harus senantiasa didukung dengan perangkat hukum yang jelas. Umat Islam telah lama terlibat dalam dunia bisnis sejak empat belas abad yang lalu. Fenomena ini bukanlah hal yang aneh, karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulallah SAW sendiri terlibat dalam kegiatan bisnis selaku pedagang bersama isterinya Khadijah.
Seorang ilmuwan dari Barat C.C Torrey dalam disertasinya berjudul The Commercial Theological Terms in the Koran menyatakan bahwa Al-Qur’an menggunakan terminologi bisnis sedemikian ekstensif dimana ditemukan 20 macam terminologi bisnis dalam al-Qur’an dan siulang sebanyak 370 kali dalam berbagai ayat[7].
Al-Qur’an mengatur kegiatan bisnis secara eksplisit dengan banyaknya instruksi yang sangat detail tentang hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam praktek bisnis. Para peneliti yang meneliti hal-hal yang ada dalam al-Qur’an mengakui bahwa praktek perundang-undangan al-Qur’an selalu berhubungan dengan transaksi[8]. Hal ini menandakan bahwa betapa aktivitas bisnisitu sangat penting menurut al-Qur’an.


[1] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997); hal 7.
[2] Ibid., hal 10
[3] M Abdul Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice (Teori dan Praktek Ekonomi Islam) terj. M Nastangin, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal 38.
[4] H. Zainuddin Ali, Hukum Ekonom Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hal: 119.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hal 122.
[7] http://books.google.com/books? Id=SiCYdkgDEC&pg=PA7&lpg=PA7&dq=konsep+bisnis
[8] Ibid.

Motivasi Bisnis

Friday 8 August 2014



Di presentasikan pada Pembinaan Mental Spiritual bagi Warga Binaan di LP Wanita kelas II Tanggerang

MENJADI REMAJA MUSLIM IDEAL


Di presentasikan pada Ramadhan in Campus bagi Pelajar SLTA dan MA Se-Provinsi Banten
Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat LP2M IAIN SMH Banten